01 February 2012

Monyet Pertamaku

Dear Dian.

Aku lupa nama panjangmu, mungkin karena terlalu lamanya kita tak bertemu. Sudah 9 tahun, waktu yang cukup lama untuk melupakan sebuah nama sesingkat namamu. Namun tidak cukup singkat untuk dilupakan begitu saja. Bagaimana aku bisa melupakanmu, sementara kaulah orang pertama yang membuatku mengerti betul akan sosok malaikat yang sebenarnya. Hehehe..

Bagaimana kabarmu? Kuliah dimana kau sekarang? Sudah punya kekasihkah? Atau kau sudah memiliki momongan? Hahahaha. Konyol. Sial, Aku mulai penasaran ketika menuliskan bagian ini. Rasanya sulit sekali mencari informasi tentangmu, berulang kali aku memasukan namamu, nama orang tuamu atau nama sekolah kita ke dalam kolom pencarian yang bernama Google, berharap menemukan secuil harapan berupa namamu, namun tak juga ketemu. Kalau saja di dunia ini ada yang menjual alat pencari manusia yang metode pencariannya hanya dengan mengingat wajahmu, pasti sudah aku beli. Karena hanya wajahmu saja yang aku ingat, apalagi ketika kau tersenyum. Kau begitu lucu, semacam ada yang berlubang di pipimu. Entah mengapa kau begitu manis karena itu. Kekhasanmu itulah yang tidak bisa aku lupakan.

Dian,

Kira-kira bagaimana ya kondisi sekolah kita dulu menuntut ilmu pada saat Sekolah Dasar? Aku harap ada perubahan, karena semenjak kejadian itu aku belum berkunjung sekalipun kesana. Aku sangat ingin kesana, ingin sekali. Karena aku tahu, rumahmu tidak jauh dari sekolah kita dulu, sekiranya aku bisa berkunjung ke rumahmu untuk melepas kerinduan yang menumpuk bak gunung ini, itupun kalau kau masih ingat aku. Tapi aku yakin kau masih ingat kok, aku tahu kau gadis yang cerdas, tapi tetap saja masih cerdas aku. :p

Terbukti, saat pembagian rapot kelas 1 SD. Tiba-tiba kau melirikku sinis, seakan kau menemukan musuh baru dalam hal perebutan ranking. Kau yang posisinya 1 ranking persis dibawahku merasa tidak terima. Tak apalah, itu juga demi membuatmu berapi-api dalam belajar, pun aku tak keberatan mendapatkan saingan seanggun dirimu. Tapi nyatanya, sampai keadaan memisahkan kita pun kau masih belum mengalahkanku, selama 3 tahun aku meraih juara 1, kau juara 2, begitu seterusnya, tidak ada perubahan. Seolah-olah kita rival abadi, sampai teman-teman pun iri melihat persaingan kita dulu.

Ah, memaksaku mengingat kembali tentangmu bukan suatu perkara sulit bagiku. Aku masih ingat ketika teman-teman bersorak-sorai menyebutkan nama kita berdua di dalam kelas, mereka kira kita pacaran. Hahahaha lucu sekali, aku terlalu dini untuk mengetahui apa yang disebut pacaran, bahkan pada saat itu saja ketika aku makan, aku masih disuapi oleh sosok malaikat yang melahirkanku. Aku juga masih ingat disaat hujan lebat kau meminjamkanku payung ketika aku mulai kebingungan bagaimana aku pulang dengan kondisi seragam tetap kering begitu sampai rumahku, karena seragam ini akan dipakai esok harinya. Ketahuilah, jarak rumahku dengan sekolah kita dulu sangat jauh, dan aku jalan kaki. Kalau saja setiap langkahku diganjar pahala, mungkin tiket masuk surga sudah aku pegang sekarang. :p

Dian,

Aku minta maaf, aku minta maaf sekali padamu. Aku minta maaf, karena selain manis dan tampan, aku tahu aku egois. Egois karena terpaksa meninggalkanmu, bukan karena inginku. Tapi karena keadaan. Keluargaku yang tiba-tiba bersikeras ingin pindah rumah, tak tanggung-tanggung jauhnya. Di bagian timur jawa sana, aku sekarang di kota Ponorogo, dimana salah satu kesenian Reog lahir. Jika kau membaca surat ini, datanglah ke kota ku sekali-kali. Tidak susah kok mencariku, kau sebut saja namaku kepada setiap orang di sudut kota ini, mereka semua tahu. Karena kalau sudah jodoh pasti akan menemukan jalannya sendiri. Bukan begitu? Hehehe..

Oh ya, menjelang waktu perpindahanku dulu, apakah kau masih ingat kalau aku diberi kesempatan oleh Bu Elis untuk berbicara tentang ucapan ‘selamat tinggal’ kepada teman-teman satu kelas? Asal kau tahu saja, disitu aku menahan tangis yang luar biasa, bukan karena aku ingin meninggalkan teman-temanku. Tapi karena aku tidak bisa melihatmu lagi. Namun, aku terlalu malu untuk mengucapkan selamat tinggal di hadapan teman-teman sekelas kita, aku hanya terdiam. Mungkin jika Bu Elis menyuruhku menangis pada waktu itu, aku akan menangis sekeras-kerasnya. Ugh, rasa bersalah itu masih terasa sampai sekarang. Sudah cukup, aku tak mampu berkata-kata lagi, aku juga tahu kau sudah bosan membaca surat ini, kasihan mata kamu yang indah itu harus berlama-lama menatap layar digital ini. Sekian dulu surat dariku, Aku minta maaf.



Monyet Pertamamu,

Ghufron Gustafianto


No comments:

Post a Comment