07 February 2012

Udara dari Seberang Benua

Kepada Esti, perangkai kata yang gemar memuji,

Maaf…

Seperti sudah seharusnya aku mengawali surat ini dengan meminta maaf padamu. Kesalahan kali ini mungkin bukan karena waktu. Karena menulis surat balasan adalah kemauanku dan tak pantas jika waktu menjadi kambing hitam lagi. Sudah sering aku menyalahkan waktu, kau tahu itu. Tapi ketika aku berpikir sekali lagi, kutemukan kesalahan ada di tanganku sendiri. Akulah yang harusnya mengatur waktu, akulah yang harusnya belajar membagi dan memanfaatkannya sebaik yang aku mampu. Jadi, maafkan aku kalau baru sekarang aku sempat membalas suratmu.

Esti, kawan pena yang terpisah benua. Sepertinya kau benar, ‘sahabat’ belum jadi yang tepat untuk kita berdua. Bukan karena apa, mungkin ini hanya terlalu cepat dan belum saatnya. Aku percaya akan ada waktunya kita benar-benar merasa nyaman dengan sendirinya. Jadi untuk saat ini biarkan hubungan pertemanan kita berjalan apa adanya. Kau setuju, kan?

Surat balasanmu sudah kubaca berkali-kali. Dan selalu kurasakan ada kesenangan dan haru yang sama di tiap abjad yang kususuri. Itu adalah surat terindah yang pernah ditujukan untukku. Kau benar-benar pintar merangkai kata yang bisa memanjakan mata. Kau hebat. Kau tahu, aku suka diam-diam mampir ke blog-mu dan membaca tulisan-tulisanmu. Aku selalu iri padamu yang bisa menghasilkan karya-karya manis. Sedangkan kisahku lebih sering berakhir tragis.

Esti, sungguh aku menantikan saat kita bisa benar-benar bertemu. Berbagi cerita dan saling mencipta tawa. Melepas rasa penasaran akan masing-masing rupa di dunia nyata. Meski kuakui ada sedikit rasa takut di hati, ketakutan yang tak kumengerti. Aku takut jika Tuhan menghendaki kita berjumpa nanti, justru kecewa yang menghampiri. Ah sudahlah, anggap saja rasa takut ini hanya keisengan pikiranku yang nakal. Karena tentu saja aku berharap Tuhan sudah merencanakan pertemuan kita dengan sempurna.


Padamu udara penyejuk
Kupasrahkan cahaya hidupku untuk kau peluk
Hangatkan dirimu
Pun aku akan menghangat dalam dekapmu


Padamu udara pencinta hujan
Aku rela tubuhku basah oleh harapan
Selimuti hati dengan kasihmu yang menjuntai
Mari kita tunggu pelangi seusai badai


Kau udara yang menjelma angin
Berlarilah kalau kau memang ingin
Aku tak akan menahan ringan langkahmu
Yakinkan di sana bahagia telah menunggu


Kau udara yang menjadi embun
Merindu tarian bersama daun
Menarilah, ikuti melodi alam yang mengalun
Buat aku yang diam ini terkagum-kagum


Kau udara yang bebas
Tak hanya berputar di depan teras
Kau menyejukan seluruh alam meski tanpa balas


Aku lilin yang merindu tawa
Terus bertahan agar tetap menyala
Menunggu udara
Untuk saling mencipta lengkung ceria

***

Untuk @estipilami, yang kurindu tanpa harus didahului temu. Kabari aku ketika kau pulang ke tanah air. Akan kupaksa waktu memberi sebagian miliknya untuk kita habiskan berdua.
*peluk dari Jakarta* *untuk Hachi juga*





oleh @manggarlintang untuk @estipilami

diambil dari http://lintangnagari.wordpress.com/

No comments:

Post a Comment