29 January 2012

Bongsor, Teman Kecil

Hai (sebut saja) Bongsor!
Rupanya masih saja kau menempati rumah nomer 11 itu. Mungkin kini rupanya sudah buruk, aku tau apa yang menimpamu dan keluargamu. Ibuku bercerita semuanya. Aku turut prihatin. Tapi tampaknya kau semakin baik, tinggal di kota B membuatmu jadi beda ya? Cantik, meski tambah bongsor!
Minggu kemarin aku melihatmu di Facebook, kamu menulis status “pathetic” rupanya sudah mahir bahasa Inggris! Kita berteman di jejaring sosial seakan tidak saling kenal, pernah mau aku sapa, takutnya kamu lupa. Aku iseng melihat profile dan foto kamu. Wajahmu berbeda tapi tidak berubah. Tahi lalat di samping kanan hidung pesekmu masih ada, lengkap dengan bekas cacar dan bekas luka jatuh terkena besi! Kamu itu hebat, tertancap besi tapi tidak nangis. Malah tertawa. Aku ingat itu loh! Ibuku yang memberikan obat merahnya.
Heh bongsor! Kamu sadar gak kita itu satu kota? Gak mungkin kamu lupa kan orang setampan aku, yang pernah kamu taksir saat masih umur 7 tahun? Hahaha. Konyol. Rumah kita bersebelahan, kakakmu itu sahabatku dan adikku itu sahabatmu, kita setiap hari main bersama. Dulu itu kulitmu cokelat dengan banyak luka di kaki akibat jatuh dari belajar sepeda. Kita berempat sering main sepeda, kamu yang selalu tertinggal karena belum bisa. Begitu sudah bisa, justru menyombong! Pamer!
Kita juga menggunakan sepeda itu untuk berkeliling komplek dan main bola. Kamu cewek, bermain bola! Bola main bola! Sepulangnya, kita mencari belalang di salah satu rumah kosong dan kamu selalu tidak bisa menangkapnya. Jadi aku yang cari, kamu yang menyimpan belalang itu di plastik. Sering aku digoda anak perempuan cantik di komplek, kamu kemudian akan terlihat marah. Pernah saking cemburunya kamu malah lari, pulang ke rumah! Aku senang melihat kamu nangis. Lucu.
Kebiasaan kita setiap hari Sabtu sore itu berenang di danau dekat rumah, mencari udang dan ikan untuk dipelihara. Kamu selalu senang dengan air, walaupun pulang nanti bau amis. Malamnya menginap di rumahku, aku tidur dengan kakakmu dan kamu tidur dengan adikku. Mengisi malam kita bermain karambol atau bermain game. Pernah waktu itu tiba-tiba pukul 4 pagi kamu merengek pulang ke rumah, dengan alasan kangen ibumu. Padahal beliau ada di sebelah rumahku. Tau-tau siang harinya, kasur yang kamu pakai tidur dijemur oleh ibu. Katanya, bekas si Bongsor ngompol! Seminggu aku ledek kau tiada henti.
Sampai akhirnya aku sekeluarga harus pindah ke kota lain. Kita bertukar surat. Namun, suratmu sudah hilang, maaf ya. Makanya aku tulis surat ini. Sebagai penggantinya. Mungkin kita akan canggung jika berbincang secara langsung, tidak seperti dulu. Masa kecil kita itu sungguh berarti ya!
Oh iya, tahun depan aku berencana untuk menikah. Waktu berjalan begitu cepat bahkan tergesa-gesa, ingin rasanya mengulang dan memperlambat waktu. Usiaku sudah matang, nanti saat aku punya anak, maka anakku harus sebahagia bapaknya dulu! Nanti kuberikan surat undangan pernikahanku padamu ya, tunggu saja!
Teman kecilmu,
(sebut saja) Irian.

oleh: @sebutmawar
diambil dari: http://sebutmawar.wordpress.com

No comments:

Post a Comment