29 January 2012

Sebuah Surat di Draft, Setahun yang Lalu

Okaaay. This is the truth.
My heart just broke. That’s the point.
Untuk pertama kalinya dalam hidup ini, aku akhirnya merasakan, bahwa being in love could be that hurt. Di usia aku yang menjelang dua puluh ini, aku belajar banyak sekali hal. Untuk tidak berlebihan dalam mencintai, untuk tidak terburu-buru berharap, untuk mencintai sesuai porsinya.
Aku baru saja jatuh cinta pada seseorang yang sangat logis. Maksud logis disini adalah dia hampir memenuhi semua kriteria pria idaman aku. Logika aku dibredel habis sama pria satu ini.
Iya, dia berkualitas, tapi bukan itu intinya.
Ini adalah titik dimana semua kualitas itu tidak lagi berarti ketika dia tidak memiliki satu-satunya aset yang paling esensial… mencintai aku. Dia tidak mencintai aku. 4 kata yang memiliki arti begitu dalam. Yang memiliki efek sangat magis untuk hidup aku, di usia aku yang kesembilan belas ini.
Aku cuma mau bilang, aku tidak mau tenggelam dalam rasa cinta yang salah. Tidak mau tenggelam dalam imaji tanpa ujung tentang kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan terjadi di antara kita. Aku punya kehidupan, kamu punya kehidupan.
Mungkin aku kemarin akan berkata dengan lantang, bahwa kamu mengambil keputusan yang salah dengan tidak memilihku. Bahwa kamu tidak akan sebahagia ketika sedang bersamaku, bahwa kamu bodoh karena menyia-nyiakan cinta yang semenakjubkan yang kumiliki.
Lalu akhirnya aku sadar, bahwa itu semua bukan kebahagiaan.
Aku belajar merelakan kamu. Tidak sekedar merelakan, namun juga sadar bahwa mungkin kamu akan lebih baik jika tidak bersama aku dan aku akan lebih baik jika tidak bersamamu.
Berulang kali aku berperang dengan egoku sendiri. Menyangkal dan bersikeras bahwa kamu adalah yang terbaik bagiku. Iya, bagaimana mungkin seseorang yang sangat logis bisa tidak menjadi yang terbaik? Tentu saja dia terbaik. Aku nggak bakalan bisa menemukan yang selogis kamu.
Namun kali ini si ego harus mengalah. Kenyataannya… KAMU BUKAN YANG TERBAIK BUAT AKU. Kamu membuat puzzleku kacau, kamu tidak mampu mengapresiasi aku sebagaimana aku mengapresiasi kamu.
Itulah intinya, kita tidak saling mencintai. Kita tidak bisa bersama karena kamu tidak mencintaiku dengan cara yang sama denganku mencintaimu.
Di titik ini, aku mulai berpikir, apakah aku benar-benar mencintaimu? Aku punya sejuta alasan mengapa aku mencintaimu. Kamu kan logis banget.
Sehingga dunia pun harus bertanya, ketika kelogisan itu hilang, akankah aku tetap mencintaimu? Tidak tahu, dan juga tidak perlu dijawab.
Aku merelakanmu bahagia bersama dia. Iya, aku bohong kalo aku bilang aku telah ikhlas dan rela seratus persen. Namun aku terus berdoa kepada Tuhan semoga menganugerahkan keikhlasan itu padaku secepat mungkin.
“saat kamu berani merelakan seseorang dengan orang lain, suatu saat nanti ada seseorang yang akan berterima kasih padanya untuk tidak terus menerus menahanmu.”
Tyraz
“Terima kasih. For giving me such a great story. Now, I’m blessed we were not ended up together. Because, if we we’re still together, aku nggak bakalan bertemu dengannya :) Terima kasih yah..”
Do you want to send or save it?
Saving
Message saved to draft

oleh:

No comments:

Post a Comment