29 January 2012

Haru Tanpa Biru

Teruntuk, Biru.

Haru biru? Kita, haru dan biru. Aku selalu bertanya kepada seseorang yang bersemayam dalam kalbu jiwaku, pertanyaan yang mungkin akan dianggap terlewat bodoh. Aku bertanya tentang warna biru di dalam haru, ada apa dengan biru yang bersembunyi di balik kenistaan haru.

Hari berganti angin berhembus cuaca berubah dedaunan tetap tumbuh. Namun, kata hatiku tetap tak tersentuh oleh apa yang dinamakan biru dalam haru. Bukankah haru itu kelabu? Jawab! Mengapa mesti biru? Bodoh, tak akan ada orang yang tahu. Percuma aku terus bertanya kepada sebuah jalan pikiran yang ia sendiri tak pernah menjawab. Pantas saja, aku bertanya kepada sebuah jalan pikiran yang berjuluk perasaan.

Seiring dua iring waktu bergulir, dengan sedikit hembusan semilir, pencitraan anugerah Tuhan yang kumiliki pun mengalir. Gumpalan air dan lendir yang mencoba untuk berpikir, kapan sebuah pertanyaan bodoh segera berakhir. Tak ayal jika seorang tua berpandir, berpikirlah dengan logikamu lalu kau singgung sedikit dengan perasaan niscaya kau akan mahir tanpa tergelincir.

Kutinggalkan cara berpikir dengan perasaan itu, kucari logikaku. Ya, memang ia telah lama menghilang dari pola pikirku. Tak jenak aku meninggalkan perasaanku, ia datang kembali. Aku mulai dihantui perasaan kehilangan diriku yang lama, yang selalu berpikir dengan logika diiringi perasaan. Jika kau berpikir dengan logika, perasaan akan senantiasa mengiringi langkahmu, namun jika kau berpikir dengan perasaan, niscaya logika akan meninggalkanmu, ia tertelan oleh semua perasaan.

Persetan dengan perasaan, aku harus menemukan kembali logikaku. Aku menatap ke sudut lorong gelap di hati, kemudian menapaktilasi jejak ambisi menggugah logika kembali ke sisi terang pandangan mata sebuah batin. Gemerlap bintang menemani jutaan makna ambigu dari logika dan perasaan, mereka bersatu, menggumpal dalam genggaman, di antara lima jari mengepal dengan telapak tangan seorang anak manusia. Perasaan berubah, ia tak lagi hanya menguasai, sekarang ia juga melindungi, melindungi agar logika tak pergi lagi. Yap! Kembali kudapatkan logikaku.

Kupikirkan kembali apa itu biru dalam haru. Aku berjalan, tak sengaja aku membentur kaki meja di kehidupan nyata. Sakit, itu yang kurasa. Aku melihat warna di permukaan kulitku, agak kemerahan. Tak lama kemudian, merah pun berubah, perlahan berubah gelap menjadi kebiruan. Di luar, rasa sakit akibat terbentur telah menghilang. Di dalam, masih mengendap kelam.

Aku belajar dari luka. Luka tak selamanya tampak, ia juga bisa mengendap bersembunyi di balik sebuah bayangan masa lalu yang tak lagi tampak. Dari merah, kemudian biru, dan dapat lenyap sebelum menjadi hitam kelabu. Merah itu melambangkan luka, luka yang terbuka dangat lebar sehingga menyimbahkan darah, merah merekah dengan pasrah. Sepintas, ia perlahan tapi pasti menjadi biru. Biru mengartikan sebuah pilu, rasa sakit yang sungguh kelu, tanpa malu ia mengungkapkan diri dengan sedikit ragu. Ragu, akankah harus lenyap, ataukah menggelap.

Jika memang harus lenyap, ia akan pergi dengan senyap, mengepakkan sayap mengan mantap, agar tak lagi ditatap. Namun jika ia mesti menggelap, akan ada banyak orang yang menatap, memandangnya dengan gelap bagai asap yang tak terhisap dengan lahap, dengan kata lain ia merupakan luka yang menetap.

Kupahami sedikit makna biru di dalam haru itu. Mengapa biru? Karena ia masih ragu, menunggu logika menjawab sebuah keputusan yang harus ia ambil dengan makna bukan ambigu. Ia terlalu lugu dan terus menunggu. Biru walau kelu masih bisa mengubah dirinya menjadi lebih baik, dengan menghilang atau menetap. Jika hilang ia akan dikenang, jika menetap ia hanya diratap. Ya, biru menang, ia lebih memilih untuk dikenang, ia memutuskan untuk menghilang.

Biru bukan lagi warna, ia merupakan simbol. Biru, kau selalu mengisi sendu dalam batin ragu. Haru dan biru adalah rindu yang kelu, suatu huru yang terus berburu, membuat keributan tatapan sayu sebuah batin yang membisu. Biru, lenyapkanlah dirimu. Agar tercipta sebuah haru yang tersenyum.. :’)
Aku, Haru.




oleh @kyogas

diambil dari http://kyogas.tumblr.com/

No comments:

Post a Comment