29 January 2012

I’m So Sorry

Dear Bunga,

Entah bagaimana aku memulainya, perasaan ini muncul begitu saja. Saat dosen memanggil nama kamu dan mengatakan “Kamu cantik sekali setelah rambutnya dipotong..”. Aku yang saat itu duduk di paling belakang hanya tersenyum mendengarnya sambil berkata dalam hati mungkin saja apa yang dikatakan dosen itu ada benarnya juga. Ah, selama 6 bulan aku kuliah ternyata aku tidak menyadari ada bidadari yang duduk sekelas denganku.

Lalu aku ingin dekat dengan kamu dan ingin mengenalmu lebih jauh. Aku suka, saat melihat kamu tersenyum, seolah ada kedamaian dan ketenangan di dalamnya. Mungkin aku sok tau, tapi itulah yang aku lihat. Senyuman yang begitu tulus. Oke, lampu hijau telah menyala setelah aku tanya sahabat-sahabat kamu soal adakah kedekatan kamu sama cowok lain, meski saat itu kamu tidak tau kalo aku ngedeketin kamu. Kemudian semuanya berjalan baik-baik saja. Aku senang saat kamu dan teman-teman datang ke rumahku saat ulang tahunku yang ke-17. Lalu kalian menumpahkan banyak sekali tepung dan telur ke muka dan badan aku. Benar-benar sweet seventeen banget kalo kata orang-orang.

Rasa senang ini kembali hadir ketika di beberapa acara kampus kita sering tampil dan menari tarian Jerman berpasangan. Kita juga pernah pergi ke tempat latihan bareng yang saat itu sedang gerimis, kemudian sesampainya kita mengobrol berbagai hal sambil menunggu teman-teman lainnya datang. Rasanya begitu indah ketika kita menari bersama, terlebih lagi ketika di atas panggung. Bagaimana tidak? Aku menggenggam tangan wanita yang kusukai, mata yang saling bertatapan dan senyum yang berbalas. Meskipun hal itu hanya dalam gerakan tarian tapi betapa hal itu memiliki makna.

Kamu ingat tidak saat turnamen futsal jurusan antar angkatan? Aku sedang bermain dan kamu melihat di bangku penonton. Saat itu aku sedang berlari menggiring bola, kemudian terjatuh di dorong lawan yang membuat lutut kananku berdarah. Aku ditandu keluar lapangan. Luka segini sih tidak apa-apa buatku, aku masih bisa berdiri dan berlari. Tapi kemudian kamu datang dan membawa kotak medis, dan kamu mengobatinya dengan betadine. Kamu terseyum dan menyemangatiku. Aku sangat berterima kasih. Rasanya luka ini langsung sembuh setelah diobati sama kamu. Sesaat kemudian aku kembali ke lapangan dan bermain meski akhirnya tim kami kalah.

Aku pikir ini adalah awal yang baik untuk melanjutkan hubungan ini. Tapi ternyata tidak, semuanya berubah begitu cepat. Tidak! Tidak semuanya. Hanya aku yang berubah. Aku mulai menjauh. Aku tidak lagi ngedeketin kamu, kemudian kita jarang mengobrol bahkan jarang untuk bbm-an. Semua tentang diriku berubah, aku menjadi orang yang begitu pendiam, begitu defensif, dan menutup diri. Ini terjadi selama beberapa minggu. Tidak hanya sama kamu, tapi juga temen-temen lain dan bahkan sahabat dan temen-temen dekat aku. Terlebih lagi aku jadi sering tidak masuk kuliah dan tidak beri kabar sama sekali. Berulang kali sahabat-sahabat aku menanyakan apa yang terjadi, berulang kali pula aku katakan aku baik-baik saja. Tapi mereka tau aku berbohong. Pada akhirnya aku pun menyerah dan menceritakan semuanya sama sahabat aku. Semuanya dari A sampai Z hingga detil kecilnya sekalipun. Aku tidak bisa menahan air mata ini saat menceritakannya. Aku tidak bisa terus menerus memendam masalah ini sendiri. Ya, masalah ini adalah masalah internal di keluarga aku. Masalah yang begitu kompleks yang bahkan hingga saat ini aku masih takut hal itu akan terjadi lagi.

Mungkin kamu sedikit sudah tau tentang masalah yang aku hadapi ini dari temen dekat aku, tidak semuanya tapi kamu tau kalo aku sedang menghadapi problem yang rumit. Aku tidak bisa menceritakan semuanya dalam surat ini, terlalu perih untuk diceritakan. Menulis bagian ini saja hampir membuatku menangis. Yang paling aku sesali adalah aku belum menepati janji aku ke kamu. Saat itu kamu menawarkan untuk berbagi cerita. Tapi aku menolak dan berjanji akan menceritakannya suatu saat nanti. Tapi sampai sekarang aku belum menepati janjiku itu. Kamu tau kenapa? Aku tidak bisa menceritakannya ke kamu. Sudah cukup banyak orang yang mendengarkan cerita yang menyakitkan ini. Bagiku kamu adalah orang yang spesial. Aku yang menganggap kamu spesial tidak ingin melibatkan kamu ke dalam kesedihan yang aku alami. Kemudian keadaan ini semakin memburuk saat aku mengupdate status di twitter yang menyertakan cewek lain. Hal terbodoh yang pernah kulakukan. Aku telah menyakiti perasaan orang yang aku sayangi. Aku pantas kamu benci. Ditambah lagi keadaan di rumah yang semakin hari semakin panas. Aku bingung harus bagaimana. Aku merasa terpuruk. Aku merasa berada di puncak keputusasaan. Melihat Ibuku yang setiap malam menangis di kamarnya. Adikku satu-satunya yang susah sekali diatur dan suka melawan Ibuku dan suka berbohong. Ayahku yang seharusnya ada untuk mereka berdua malahan tidak melakukan apa-apa bahkan untuk memberi nasehat sekalipun. Aku benar-benar tidak mengerti semua ini.

Aku hanya tidak bisa terima, melihat wanita yang terus menangis, terlebih lagi jika wanita itu adalah seorang Ibu yang menangis karena anaknya sendiri. Aku juga tidak bisa menerima, saat hal itu terjadi, Ayahku tidak melakukan apa-apa. Seolah tidak punya waktu untuk hal ini dan membiarkan Ibuku menahan sakit. Seperti saat aku menceritakannya pada temanku, aku malah menangis menulis surat ini. Cengeng banget ya, padahal aku ini laki-laki. Seorang temanku memberikanku motivasi, dia bilang dibalik sifatku yang perasa ini, aku memiliki hati yang kuat. Dia yakin kalo aku bisa menyelesaikan ini. Jadi aku juga harus yakin, cepat atau lambat kebahagiaan di rumah ini dapat kembali.

Aku berharap kamu mengerti. Aku tau ini bukan cara yang benar, mengorbankan sesuatu untuk sesuatu yang lain. Tapi semua orang punya pilihan. Begitu pun aku.

Soal janji yang belum aku tepati. Sebenarnya aku ingin, sekali ini saja, aku ingin sharing dengan orang lain, bukan karena aku sedang dalam masalah apapun. Tapi aku ingin sharing, karena aku berhasil menyelesaikan suatu masalah atau ketika setidaknya keadaan mulai membaik. Dan aku ingin, saat semuanya telah kembali. Aku ingin kamu yang pertama kali mendengarnya.

Aku minta maaf karena menyakiti perasaanmu. Aku minta maaf karena memberi kamu sebuah harapan, lalu kemudian menjatuhkanmu. Sejujurnya aku tidak bermaksud seperti itu. Kamu terlalu baik untuk tersakiti hatinya. Kamu, teman terindah yang pernah aku miliki. Benar-benar, seperti bidadari..

Temanmu,

Gemma


Oleh:

No comments:

Post a Comment