27 January 2012

Cinta Kadaluarsa

Untuk cinta kadaluarsa,

Waktu itu, malam hampir berlalu. Ada kita yang memandang siluet pohon kelapa sambil berpijak pada hati hampa. Deru ombak berlalu, seperti hati yang tak pernah menyatu. Lihat ombak itu, menjejak pasir pantai tapi tak berjejak. Juga angin yang membelai langit tanpa harus berkelit.

Kudengar degup jantungmu berdetak berontak. Kamu menyatakan yang sebenarnya adalah pertanyaan. Tentang ketidakpantasan jika berharap pada kenangan. Aku masih diam karena meski aku menjawab kamu tidak akan pernah paham. Kamu melanjutkan, mendudukkan kata sayang dalam kursi pesakitan. Jika sama-sama sayang kenapa harus patah arang. Jika rasa itu tidak pernah berkurang kenapa harus terhalang.

Aku memecah diam, memang tidak pernah rasa ini berkurang, memang tidak pernah sayang ini hilang. Aku kembali diam. Lantas jika sama-sama ingin bersama kenapa justru menyiksa diri dengan logika. Benar rupanya, kamu tak akan pernah paham. Aku tidak ingin menyiksa kamu karena memori tentang masa lalu. Aku teringat luka saat kita pertama dulu.

Aku tidak ingin luka ini menjadi candu bagi kita, saling menyakiti namun tetap cinta mati. Aku tidak ingin kehilangan diriku dengan hanyut dalam luka melukai. Luka itu terasa meski tidak terlihat ada. Seperti angin yang dingin menusuk kulit tapi kita tetap tidak bisa berkutik.

Memang benar itu cinta, tapi untuk apa jika ternyata kadaluarsa? Seperti makanan yang terasa nikmat tapi bisa jadi racun yang membuat hidup kita tamat. Memang benar itu sayang, tapi kita bukan masokis yang bila menyakiti akan senang. Biarkan begini karena tak mungkin saling mengisi lagi. Biarkan memecah sebelum kita sama-sama hanyut dalam pasrah.

Diujung kata akhirnya ada setitik pengertian yang tercipta, dan kita sama-sama paham bahwa cinta kita temaram dan akhirnya karam. Pagi hadir menyapa, ombak masih menjalani ritualnya mondar-mandir menuju pasir, kita masih berhadapan. Pelukkan terakhir disematkan.




Oleh:

No comments:

Post a Comment