27 January 2012

surat kepada gadis kecil berbaju ungu tentang hujan dan nenek

Dear Gadis Kecil Berbaju Ungu,


Sudah lama kamu tidak datang . Seingat saya, terakhir kali kamu menemui saya April 2010. Malam itu, seperti biasa, kamu datang entah dari mana, tiba-tiba sudah berdiri di depan rak buku mengenakan gaun ungu yang tidak pernah kamu ganti. Wajah kamu nampak lebih sedih. Saya tahu, itu satu isyarat. Kamu meminta saya membacanya. Kamu selalu datang mendahului peristiwa besar dalam hidup saya. Kamu sahabat baik saya. Bukan. Kamu sahabat. Sahabat baik adalah pemborosan. Ada ‘baik’ dalam kata ‘sahabat’.


Seperti yang sudah saya duga, ada peristiwa besar di balik kedatanganmu malam itu. Pagi-pagi sekali telepon genggam saya menyanyikan lagu Maywood, Mother, How are You Today. Itu ringtone khusus untuk menandai telepon dari Mama. Tidak biasanya Mama menelpon sepagi itu. Kabar sedih tidak punya jadwal. Dia bisa datang kapan saja. Mama mengabarkan kematian Ayah, lelaki yang sudah lebih 20 tahun meninggalkan rumah. Mama mengetahui kabar itu dari seseorang yang saya tidak kenal—tetangga teman adik saya yang ternyata berteman dengan Ayah di perantauan.


Pagi ini, saya merindukan kamu dan Nenek. Saya rindu berbicara tentang hujan kepada kamu dan Nenek. Namun Nenek tidak tahu membaca dan dia sudah lama meninggal. Maka saya menulis surat ini untuk mengajak kamu bicara tentang hujan dan Nenek.


Ketika saya masih kecil, mungkin sampai usia sembilan atau sepuluh tahun, saya selalu membayangkan hujan sebagai gadis kecil seperti kamu. Saya membayangkan hujan sebagai gadis kecil yang senang bersedih dan menangis, entah karena apa. Saya selalu berpikir hujan membutuhkan seseorang lain yang bisa menghiburnya. Tapi saya tidak pernah tahu bagaimana cara menghibur hujan.


Pada malam hari, atau pagi buta seperti ini, ketika semua orang sedang atau masih tidur, saya sering tiba-tiba bangun karena hujan datang. Tidak ada seorang pun peduli kesedihan gadis kecil itu, kecuali saya. Kamu tahu apa yang saya lakukan? Menangis. Saya ikut menangis. Hanya itu yang mampu saya lakukan. Saya pikir, dengan menangis hujan merasa punya teman yang ikut merasakan kesedihannya.


Kepada Nenek, pernah saya menyampaikan keinginan menikahi hujan. Nenek tertawa. Dia mengatakan saya masih kecil, belum boleh menikah. Saya harus menjadi lelaki dewasa jika mau menikah. Sejak saat itu, setiap kali hujan datang, di jendela saya selalu berkata: bersabarlah, beberapa tahun lagi saya pasti sudah boleh menikahmu.


Mungkin karena keinginan menikahi hujan saat masih kecil itu, saya menjadi sangat lambat jatuh cinta kepada perempuan. Nyaris semua teman lelaki saya punya perempuan yang mereka cintai saat masih duduk di Sekolah Menengah Pertama. Beberapa di antara mereka bahkan mengaku jatuh cinta sewaktu masih di Sekolah Dasar. Saya tidak seperti mereka. Saya sering mendapat olok-olokan, disebut banci karena tidak jatuh cinta kepada perempuan. Saya jatuh cinta, dan merasa betul-betul jatuh cinta, pada saat duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Atas.


Pada suatu malam, sambil tertawa, Nenek bertanya, “kamu sudah besar, kenapa belum punya pacar?”


Jika saya harus membuat daftar lima perempuan paling baik di dunia, nama Nenek pasti ada di dalamnya. Nenek dan hujan adalah dua perempuan yang mengisi hari-hari masa kanak saya. Nenek perempuan tua sederhana yang penyayang dan pandai mendongeng. Hujan gadis kecil yang suka menangis dan membutuhkan kasih sayang. Saya mencintai mereka. Kamu bisa membayangkan betapa bingung saya andai dipaksa memilih salah satu di antara keduanya.


Saya selalu menemukan diri saya tidak berdaya di hadapan Nenek. Saya selalu tertidur dengan hangat dan lelap setelah mendengar Nenek mendongeng sambil mengelus-elus punggung saya. Namun selelap apapun tidur saya, hujan akan membuat saya bangun ketika dia datang. Begitulah, saya hidup di antara mencintai Nenek dan hujan.


Nenek seorang perempuan biasa. Amat biasa. Dia baru berusia 13 tahun ketika menikah dengan Kakek yang baru saja menceraikan istri keduanya. Kakek berusia tiga kali lipat lebih tua dari usia nenek. Perbedaan usia yang terlalu jauh. Semacam hubungan jarak jauh dalam bentuk lain. Hahaha.


Ada satu hal yang tidak pernah bisa saya lupa ketika bicara tentang Nenek. Namanya. Saya yang memberikan nama kepada Nenek. Cucu kurang ajar. Hahaha. Saya tidak bercanda. Ya, nama yang digunakan orang-orang sekampung memanggil Nenek adalah pemberian saya. Peristiwa itu terjadi pada suatu malam. Sebelum ia menceritakan kisah petualangan Sawerigading mencari seorang perempuan ke Negeri Cina. Itu salah satu bagian dari epos Lagaligo yang terkenal dan amat panjang itu.


Di rumah, saya dipanggil oleh Ibu dan dua adik saya dengan Ettang. Gigi palsu Nenek yang longgar tidak bersahabat dengan nama itu. Dia merasa giginya selalu mau melompat setiap menyebut nama itu. Dia kemudian memanggil saya Aan. Biar adil, kata saya, saya harus mengganti namanya. Anehnya, dia mau saja ketika saya mengganti namanya menjadi Enda.


Jangan tanya dari mana saya menemukan nama itu. Sejak kecil saya sering tiba-tiba menyukai sesuatu tanpa dan tak mau tahu alasannya. Mulai malam itu, saya memanggi Nenek dengan Enda. Singkirkan saja huruf ‘b’ dari kata ‘benda’ dan kamu sudah melafalkan namanya dengan benar. Entah bagaimana ceritanya, lama-kelamaan nama itu digunakan juga oleh cucu-cunya yang lain—lalu menyebar menjadi panggilan semua orang di kampung itu.


Malam itu, setelah mengganti namanya, Nenek menceritakan petualangan Sawerigading hingga bertemu We Cudai. Kata Nenek, Sawerigading awalnya jatuh cinta kepada saudara kembarnya, We Tenri Abeng. Namun, saudaranya itu takut jika mereka menikah sebab akan membuat dunia hancur. Maka, We Tenri Abeng meminta Sawerigading menikahi We Cudai yang ada di Negeri Cina. Lewat kuku We Tenri Abeng, Sawerigading bisa melihat wajah We Cudai yang cantik.


“Apakah saya nanti akan menikahi perempuan cantik?” tanya saya sebelum tidur. Nenek mengangguk. Tetapi saya harus menjadi lelaki yang baik, katanya. Berarti sekarang saya belum baik. Hahaha. Usia saya sudah banyak namun belum menemukan perempuan cantik yang akan saya nikahi.


Hingga saya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, pesantren tepatnya, saya masih suka mendengar dongeng Nenek. Tentu saja lebih jarang sebab pesantren saya jauh dari rumah. Tetapi saya selalu bersemangat pulang saat libur, salah satunya, karena merindukan dongeng Nenek.


Nenek pernah mengatakan sesuatu kepada saya. Hidup itu ibarat selimut yang terlalu pendek pada musim hujan. Jika kamu menariknya ke atas, tungkai kaki kamu akan kedinginan. Jika kamu tarik ke bawah, dada dan kepala kamu akan menggigil. Tetapi separuh kehangatan bisa kamu peroleh dari dongeng sebelum tidur. Kira-kira begitu yang dia katakan. Ah, ada penyair dalam diri Nenek yang tidak tahu membaca huruf Latin itu.


Nenek adalah bilik perpustakaan berisi buku-buku cerita bagi masa kanak saya. Sungguh bahagia saya memiliki dia. Kesukaan saya membaca dan menulis sastra saya kira salah satunya karena dongeng-dongeng Nenek. Saya ingat pernah ditertawai teman-teman saya karena bercita-cita menjadi penulis. Bukan hanya teman-teman saya di Sekolah Dasar yang menertawai saya. Sejumlah teman saya waktu kuliah pun tertawa ketika melihat saya setiap hari belajar menulis puisi. Saya ingat, seseorang di antara mereka pernah mengatakan, “makan itu puisi!” Saya sedih dan marah waktu dia mengatakan itu. Tetapi tanpa ejekan-ejekan seperti itu, saya juga tidak akan belajar lebih giat.


Oh, iya, saya ingat, kamu datang petang itu, beberapa jam sebelum Nenek meninggal. Kamu pasti ingat, selama berhari-hari setelah Nenek meninggal, hujan turun nyaris tanpa jeda. Saat itu saya teringat gadis kecil yang suka menangis—yang sebenarnya telah saya tahu dari buku-buku pelajaran bahwa itu cuma peristiwa alam. Sekolah telah membunuh gadis kecil yang ingin saya nikahi itu. Saya ingin sekali menghapus semua pelajaran ilmu pengetahuan alam dari kepala saya ketika itu. Saya berharap hujan benar-benar si gadis kecil yang senang menangis. Dia bersedih karena Nenek meninggal.


Terima kasih karena kamu tidak meninggal seperti Nenek. Kamu juga tidak meninggal seperti gadis kecil yang senang menangis itu, meski saya sudah menamatkan sejumlah sekolah. Ternyata tidak ada buku pelajaran dan sekolah yang mampu membunuh kamu. Satu hal lagi, saya sudah besar tetapi kamu tetap saja gadis kecil. Sejumlah teman saya bergidik ketika saya bercerita tentang kamu. Tetapi, bagi saya, kamu tetap sahabat seperti yang saya bilang di awal surat ini.


Kita sudah lama berteman tapi saya belum tahu siapa nama kamu. Saya selalu menyebut kamu Gadis Kecil Berbaju Ungu. Itu lebih terdengar seperti judul novel daripada nama seorang sahabat. Sebelum mengakhiri surat ini, saya punya satu pertanyaan—permintaan tepatnya. Apakah kamu keberatan jika saya menyebut kamu Hujan? Kamu boleh tidak sepakat. Itu cuma permintaan seorang sahabat yang pagi ini tiba-tiba amat merindukan masa kecilnya. Tetapi, sepakat atau tidak, saya ingin kamu datang menemui saya lagi. Ingat, jangan datang membawa kabar menyedihkan lagi.


Saya merindukan kamu.


Sahabatmu,


Aan


Oleh:

Diambil dari: http://hurufkecil.wordpress.com

No comments:

Post a Comment