27 January 2012

Perempuan Nomor Satu

Dear Langit,

Kali ini aku mau cerita. Maukah kau mendengarkan?

Semalam aku bermimpi. Bertemu dengan perempuan nomor satu, as you know her, dan dia mengajakku kembali duduk di bangku taman tempat kita dulu sering menghabiskan sore. Tatapannya sendu. Aku tak tahu apa maksud dari tatapan itu. Apa dia sedang bersedih? Kenapa? Padahal dulu wajahnya selalu ceria. Tak sekalipun wajah sedih atau sendu itu dia perlihatkan padaku.

Kemana perginya wajah ceria itu? Apa dia sudah tak sayang aku lagi? Atau memang begitulah harusnya dia dulu memperlakukanku. Bahwa hidup tidak selamanya menikmati saat bahagia, tapi juga ada sedihnya.

Kita tidak banyak berkata-kata. Lebih banyak diam lalu perlahan seolah menghilang dan lalu kelam. Aku terjaga.

Kuhidupkan lagi lampu kamar dan mencuci muka. Jarang sekali aku bermimpi dan kali ini, aku memimpikannya. Buatku, segala sesuatu pasti ada sebab. Kalau misalnya dibilang alam bawah sadar, tidak juga. Karena, malam sebelum tidur aku begitu sibuk dan tertidur dengan pulas.

Apakah dia merindukanku? Ah, andai dia tahu, begitu pun aku.

Kulihat wajahku di kaca. Dan waktu seolah berhenti dan berulang.

..>>

Hujan deras membuatku memacu langkah untuk berlari kencang. Aku tak mau basah kehujanan. Tapi, air hujan membuat jalanan licin. Susah payah aku melangkah untuk tidak terpeleset namun pada akhirnya aku terjatuh juga. Waktu itu tak terasa sakit apa-apa. Namun, begitu sampai rumah, dia terkejut tapi tak marah. Meski ada darah merah yang tampak mengalir di bagian kepala.

Dia pikir kepalaku robek. Tapi tahunya, itu telinga kanan bagian atas. Dengan sigap dia membersihkan darah yang mengalir, menghisap sumber luka dengan mulutnya, lalu beranjak ke dapur. Mengambil sejumput sayur bayam lalu menaruhnya di bagian yang luka. Telinga atas itu sobek.

Hebatnya, daun sayur itu membuat darah yang mengalir seketika berhenti dan lambat laun aku pun tertidur. Kecapekan. Bangun-bangun aku dapati telingaku sudah tak terasa sakit lagi. Tapi ada yang membekas disana. Bentuknya sudah agak berbeda. Bekas luka yang menjadikannya sedikit melengkung. Beda dari telinga sisi kiriku.

Dan ingatan ini selalu berkelebat setiap kali aku berkaca. Bagaimana aku bisa melupakannya.

..>>

Suatu kali perutku sakit tak terkira. Seperti ada yang meremasnya, dipilintir dan tertindih benda yang beratnya tak terhingga. Sakit. Sakit sekali. Berasa perih sampai aku hanya ingin memejamkan mata saking sakitnya.

Kulihat dia hanya menatapku semabil tersenyum. Merangkulku erat. Dan mengusap-usap bagian perutku yang sakit. Kata dia, aku sakit maag karena telat makan. Atau masuk angin. Dia tidak membuatku khawatir. Dan sangat yakin, nanti juga bakal sembuh lagi.

Dia lalu merapatkanku dalam pelukannya. Membiarkanku tenggelam dalam usapan lembut dan nyanyiannya yang tidak begitu merdu. Tapi buatku cukup menenangkan. Sakit yang tadinya begitu hebat seolah pergi dengan enggan. Aku kembali tertidur.

Bangun-bangun, rasanya sudah kembali seperti sedia kala. Aku kembali mengusap perut dan tersenyum. Ajaib. Sungguh.

Dan ingatan ini tiap kali hinggap sampai setiap kali sakit di perut ini datang. Bagaimana aku bisa melupakannya.

…>>

Kucing-kucing itu berkejaran. Bermain-main dengan riang di ruang tamu. Pipa, Pipi, Gadun, dan Manis. Empat kucing yang masing-masing diberi nama dan diasuh oleh kami bersaudara berempat. Sementara dia memperhatikan dari jauh. Kalau kami lupa memberikan makan.

Pipa dan pipi berwarna sama, makanya diberi nama yang agak mirip. Gadun, kucing jantan besar yang garang. Sementara Manis, sesuai namanya sangat menarik dengan tiga warna hitam putih dan abu-abu. Kadang kita kerap meilhat mereka sering berkumpul bersama-sama. Atau Gadun menggodai Manis dan saling berkejaran.

Kasihnya pada kucing yang tak terhingga mengajariku satu hal. Bahwa dengan mengasihi binatang, dia mengajakku untuk mengasihi sesama. Tanpa dia sadari, aku belajar banyak dari situ.

Hingga saat ini, setiap kali melihat kucing. Tatapan mereka itu bermakna sesuatu. Dan bagaimana aku bisa melupakannya. Kalau hampir setiap saat aku melihat kucing yang sendu.

..>>

Dia, perempuan nomor satu buatku. Perempuan yang mengajariku keajaiban. Dia ibuku.

Begitulah Langit, hari ini aku merindunya. Semoga dia bahagia bersama bidadari dan cahaya di sana. Sampai saat aku tiba dan menemuinya.

wish u were here,

-Biyan


No comments:

Post a Comment