23 January 2012

Hujan Asam

Teruntuk, kamu.

Bagaimana kabarmu? Kuharap baik-baik saja ya. Kabarku? Oh, tak perlu kau khawatirkan bagaimana kabar keadaanku saat ini, khawatirkanlah bagaimana kau menjalani kehidupan dirimu seorang diri.

Belakangan ini sering hujan ya? Hujan begitu sering hadir dalam kehidupanku belakangan ini. Mulai dari murni air yang turun dari langit jatuh bebas dari angkasa ke pjakanku, bumi. Hingga ada air yang jatuh dari sela mataku ketika berkaca, dari kaca kemudian pecah dan meleleh meleburkan diri menjadi air. Ia berangkat ketikaku mengingatmu, hingga akhirnya berlabuh jatuh ke bantalan tidur kepalaku. Tragis? Aku tak menganggapnya seperti itu.

Langit gelap datang lagi, gumpalan awan hitam menghantui sudut gelap mata batinku, semua menjadi kelabu saat itu. Aku hanya bisa bergumam dan membatin, “wah, akan mulai lagi”. Serentak aku mengingat masa kelamku.

Tawa kecilku turut serta ketika itu, diselingi semilir angin dingin nan lembab serta desiran ombak denyut jantungku. DEG! Aku mengingat semua itu. Jelas, jelas di bayanganku. Apa kau mengingatnya? Aku rasa kau berpura-pura abai.

Perlahan terdengar suara rintik air yang telah jatuh menghempaskan diri mereka ke tanah, mereka pecah, mereka yang pecah memecah diri lagi menjadi butiran kecil, butiran kecil itu pun memecah dirinya lagi menjadi yang lebih kecil, lebih kecil, lebih kecil, dan sangat kecil. Pada akhirnya keadaan ini memecahkan suatu emosi yang tertahankan. Ya, kau tahu. Aku menahan derita.

Kau manis, dahulu. Kau menyakitkan, kemudian.

Aku banyak belajar saat itu, saat ini, dan saat-saat yang akan datang. Aku belajar dari kalimat seseorang, “yang termanis kadang yang paling bisa menyakiti”, aku hanya bisa terdiam. Diamku berarti mengiyakan maksud kata-kata tersebut.

Hujan mengiringi langkah pikirku selanjutnya, pola berjalannya berbeda. Ya, kau tahu. Aku makin terhanyut dalam kondisi. Pandanganku ke luar jendela menjadi buram, kupikir berkabut. Namun, adanya malah kaca jendela mengembun karena nafasku. Kuusap kaca itu dan memandangi langit luar, aku memandang kilatan cahaya di seberang sana. Sejenak kilatan itu membuat inderaku terbelalak kaku. Aku hanya memandang kosong kilatan cahaya masa lalu yang kini telah meredup. Terjadi adegan visual dimana kita pernah saling beradu, bercumbu. Aku mengaku, ada sesal di dadaku.

Kau tahu? Pada saat aku terpaku, pilu menimpaku, yang terpikir hanyalah kamu. Embun menghiasi kaca lagi, kuusap lagi kaca itu dengan lengan bajuku. Inderaku masih menatap kaku tentang bayangan semu. Semua makin buram, bukan karena embun dari nafasku. Kali ini, sesuatu yang berbeda membasahi mataku. Aku tak mencoba mengusapnya, aku menahannya. Sayangnya pertahananku goyah, ia mengalir membasahi pipiku dengan derasnya, cairan baru muncul ke permukaan melalui lubang yang ada di hidungku. Nafasku tersandung cairan itu, ia berhembus tak beraturan.

Isak tangis tanpa gelak canda dan tawa menghiasi hari kelabu saat itu. Aku mengambil sebatang rokok saat itu, aku mencoba tenang. Kuambil secangkir kopi kemudian. Mereka saksi bisu kepiluanku saat itu. Sengaja tak kuberi gula pada kopi itu. Pahit, namun tak sepahit rindu yang kurasakan terhadapmu.

Aku beranjak dan kembali menuju jendela, kunyalakan batangan yang tadi kuambil. Aku tersadar aku duduk di bawah jendela yang berbeda. Tak apa, aku tak perlu berpindah untuk merasa hal yang sama. Namun kau tahu? Ada sudut pandang berbeda dari jendela ini. Aku melihat sebuah besi yang berkarat. Aku bertanya-tanya mengapa mereka berkarat? Aku teringat apa yang diucapkan guruku. “Asam menyebabkan besi berkarat, asam juga yang menyebabkan hati luruh karena berkarat”, aku mulai merasakan adanya karat di batinku, aku mulai tak memperdulikanmu. Aku mulai perduli pada kehidupanku, demi kebaikanku setelah hujan ini.

Hujan perlahan mereda, tangisku tak sengaja telah terhenti lama. Sejenak aku berpikir, “Air dan udara sepakat, membuat besi berkarat”, sama halnya dengan “Kamu dan hujan sepakat, membuatku berkarat”.
Sejenak, kilauan matahari kembali menyinari di balik awan yang masih kelabu. Di sisa rintikan hujan, terdapat pelangi yang mempesona jiwaku. Aku mencoba tersenyum tanpamu. Aku percaya setelah hujan asam di kehidupanku ini, ada pelangi baru menghiasi hari baruku. Kehidupan baruku dimulai dari akhir hujan di sore ini.

Selamat tinggal, kamu. :’)



oleh: @kyogas (Asta Kinan Prayoga)

diambil dari http://kyogas.tumblr.com/

No comments:

Post a Comment