Pasal I
 Suara-suara tak bernada di dapur adalah bukti bahwa sementara kami masih  sibuk membentengi diri kami dalam naungan selimut hangat, engkau sudah  berhadapan dengan panasnya hawa kompor dan dinginnya udara subuh. Dan  barangsiapa mengetahui bahwa kami masih dalam nuansa kantuk luar biasa  sebab kami adalah sepasang anak dan bapak yang menonton sepak bola pada  malam harinya, maka aduhai celakalah kami jika di pagi hari ini kami  termasuk orang-orang yang lalai lagi kesiangan ke kantor pula sekolah.  Namun alangkah spektakuler caramu membangunkankuku dengan menggelitiki  kakiku, tidak dengan menyiramkan air ke wajahku ini, hai perempuan  bermata syahdu.
 Pasal II
 Sesungguhnya sisa-sisa susu cokelat di sudut bibirku adalah artefak,  akulah orangnya yang meminum habis segelas susu kental manis cokelat itu  dan tidak perlu lagi diperdebatkan. Engkaulah yang membuatkannya  untukku, mengaduknya perlahan seolah kau datang ke bumi ini hanya untuk  menyiapkan segala yang kubutuhkan untuk menantang ratus-titik-kesalahan  yang mungkin akan ku perbuat hingga memancing amarah dari guru. Oh,  kiranya dalam gelas itu seolah kau berujar "jangan takut nak, manusia adalah sempurna...kesalahan yang membuatnya sempurna,"  betapa baiknya. Hingga aku siap menghadapi apapun hari ini, dari  monster sekecil laba-laba (dibuatnya sarang di depan rumah, dibuatnya  aku takut keluar) hingga monster sebesar-buruk Godzilla, aku siap,  engkau telah menjadikan aku lelaki terhebat dengan segelas susu cokelat.
 Pasal III
 Bapak berujar "Ibu, aku berjihad dulu..." maka engkau hanya  mengangguk kecil seraya memberikan kecupan di punggung tangan bapak, dan  ajaib, seolah bapak mengerti bahwa kepergiannya hari ini direstui  padahal englau tidak berkata apa-apa kecuali anggukan kecil dan kecupan  di punggung tangannya. Sementara aku, aku masih saja sibuk disuapi  sambil menonton acara dari kotak kecil ajaib yang berwarna-warni. Kotak  yang karenanya aku ingin sesekali menjadi kecil agar bisa masuk ke dalam  sana.
 Pasal IV
 Engkaulah yang lima tahun lalu membawaku ke sana, ke padang rumput nan  berembun pada suatu pagi. Mengajariku bagaimana manusia seharusnya  menggunakan kedua kakinya. Seolah engkau paling mengerti derita  os.pattela-ku yang terus di gerus lantai hingga meninggalkan bercak  hitam pada keduanya. Engkaulah yang menyadarkan aku bahwa mulut, ya  mulut, bisa mengeluarkan suara-suara yang kelak mengantarkan aku pada  dunia. Engkaulah yang menasihatiku pada suatu hari yang entah "bicaralah  hanya kata-kata bagus,"
 Pasal V
 Betapa sesungguhnya engkau merugi ibu, setelah aku belajar ilmu hitung,  aku tahu pastilah engkau merugi. Tapi, kenapalah engkau tidak pernah  menuntutku, mencatatnya dalam daftar hutang hingga kelak aku bisa dengan  mudah mengetahui berapa jumlah hutangku padamu? Pasti itu akan banyak  sekali angkanya. Tapi, ketahuilah ibu, kini aku sudah mulai  mempertanyakan sampai kapan aku akan terus di beri tanpa pernah memberi  kembali?
 Pasal VI
 Engkau dan bapak adalah dua orang pertama yang mendaratkan cinta di  sini, itu lebih penting dan luar biasa ketimbang suksesnya misi Apollo  11 mendaratkan manusia di bulan sana. Bulan itu jauh, ibu. Jangan  ambilkan untukku meski aku tahu engkau pasti akan melakukannya. Jangan  ambilkan jika hanya untuk menerangi tidurku, dongeng bapak cukup  menerangi alam pikirku, kecup ibu cukup untuk membuatku terlelap. Hati  itu dekat, ibu. Bulan itu, jauh. Kecuali bulan oktober, itu ada di  kalender masehi yang di paku di tembok.
 Pasal VII
 Ketika engkau memanggil namaku, ibu, aku tahu cinta tak perlu lagi ku cari-cari darimu.
oleh: @sbdrmnd
diambil dari: http://harihologram.blogspot.com
No comments:
Post a Comment