06 February 2012

Dear Felix

Dear @felix ,

Aku hendak jujur padamu. Sesungguhnya Lix, aku lupa kapan kita pertama kali berjumpa. Maaf, tapi aku tidak bisa mengingat kapan pertama kali aku memanggil namamu, pun kapan pertama kali aku menyapamu. Kepalaku yang kecil ini tampaknya tak mampu menyimpan detil sederhana itu. Tapi hatiku Lix, hatiku mengingat setiap detil kebaikan yang kau berikan padaku. Hatiku cukup luas untuk menyimpan setiap kenangan kehangatan yang kau berikan padaku.

Felix, aku masih ingat ketika kita masih sangat sangat muda, waktu itu kita masih baru masuk usia remaja, kita tak menyukai satu sama lain. Kita menghabiskan tiga tahun kita di sana, di SMP St. Thomas 3 dengan saling menyakiti satu sama lain. Kau dan aku gemar melemparkan kritik yang sekarang acap membuatku terperangah. Bagaimana mungkin kita bisa begitu kejam satu sama lain? . Aku tak habis mengerti mengapa dahulu sulit bagi kita untuk menjalin kata sahabat. Kurasa, erat kaitannya dengan karakter dan pribadi kita yang begitu berbeda. Selain itu, kurasa kita memang punya bakat terpendam menjadi nyinyir

Kemudian Lix, ada suatu masa ketika kita beranjak SMA. Tuhan tampaknya memang memiliki kesenangangan tertentu melihat kita bersama. Dengan kuasanya, Dia menuliskan namamu dan namaku di barisan daftar murid yang diterima di SMA Negeri 4 Medan. Ya ampun Lix, ada beberapa ratus sekolah di kota kita tercinta itu, tapi di antara ratusan sekolah, toh kita terdampar pada satu komplek yang sama. Tuhan pun tak tanggung-tanggung, tak hanya ditempatkan satu sekolah, kita juga diletakkan dalam kelas yang sama.

Sayangnya pengalaman buruk semasa SMP membuat kita memilih untuk saling menghindar. Bahkan setelah kita masuk pada pelayanan yang sama di Paduan Suara dan Persekutuan Iman Kristen, kita tak jua mencair dan melebur selayaknya kawan lama. Mungkin di beberapa kesempatan aku dan kau tertawa atas lelucon-lelucon bodoh yang kita lontarkan satu sama lain, tapi tak pernah lebih dari itu. Kau dan aku memilih untuk tak terlibat terlalu dalam dalam kehidupan masing-masing. Kurasa kau bernafas lega ketika di kelas dua, kita tak lagi ada di ruangan yang sama. Hanya saja, lagi-lagi, tampaknya Tuhan tak suka kalau namamu disingkirkan dari hidupku. Tahun berganti, kelas dua terlewati dan kembali, Dia membuat kita sekelas.

Bagaikan semangkuk mie, dia membuat ceritamu dan ceritaku acap terkait. Hingga masuk pada satu masa, dimana aku menyadari aku menyangimu. Masa-masa itu adalah masa-masa kelas tiga.

Aneh sekali Lix, kita hanya menghabiskan kelas tiga selama satu tahun, tapi satu tahun itu tampaknya bisa merangkum enam tahun yang kita lewati bersama. Di sana kita saling mendukung, saling memacu, saling mengingatkan akan mimpi yang hendak kita lewati: Lulus SPMB!

Kau ingat, sepulang sekolah kita akan sangat bersemangat mengerjakan soal-soal prediksi ujian SPMB. Kita begitu bergairah menantang diri sekeras-kerasnya. Tujuannya hanya satu: masuk pada perguruan tinggi negeri. Prinsip kita saat itu, kalau tak lulus SPMB tak usah kuliah sekalian. Mantap bukan? Walaupun sebenarnya menurutku ini agak menyedihkan. Bagaimana tidak? Seluruh pendidikan dasar yang kita tempuh tak memiliki tujuan lain yang lebih besar selain: lulus SPMB.

Bersama-sama kita tenggelam dalam ketakutan sejuta umat SMA: tak lulus SPMB. Bahkan kita tak terlalu peduli pada UAN yang menjadi momok murid-murid di belahan lain Indonesia, kita hanya peduli pada SPMB, soal-soal SPMB, try out SPMB, dan kunci jawaban soal-soal SPMB. SPMB telah menjadi empat huruf yang membungkus dunia kita. Empat huruf yang menjadi fokus ketika kita berangkat sekolah ataupun pulang kembali ke rumah. Empat hururf yang membuatku dan mebuatmu semakin erat.

Empat huruf itu membuat kita menjadi lebih sering bersama. Untuk memenangkan mimpi kita pada huruf kata itu, kita memilih untuk mempercayakan masa depan pada satu instansi bernama: Bimbingan Belajar Medica. Entah apa magnet institusi itu. Tak pernah kita alpa untuk mencari bangku di ruangan-ruangan sempitnya. Bahkan sekalipun kita telah begitu lelah, tak ada niat sedikitpun untuk melalaikan tugas dan tanggung jawab untuk hadir di sana. Kita acap terkekeh-kekeh kala mengenang cara mereka memecut motivasi. “Ingat adek-adek, keringat orang tuamu, keringat ayah ibumu.” Kau adalah jagoan dalam menirukan motivasi-motivasi mereka, aku jamin tak ada yang bisa mengalahkanmu. Dalam guyonan, kita mengejek cara mereka mendorong kita. Namun jauh di dalam lubuk hati kita yang terdalam, kita menyadari bahwa kotbah-kotbah itu memang berhasil membuat kita berlari jauh lebih cepat, jauh lebih keras.

Di tengah-tengah sebuah perjuangan, Tuhan izinkan kita masuk dalam posisi yang sama: sama-sama anak janda. Kami begitu kaget menerima kabar bahwa ayahmu meninggal. Felix, aku ingat betapa kami begitu khawatir padamu. Ujian SPMB tinggal sebentar lagi, tapi kau masih harus bergelut dengan kenyataan pahit tentang ayahmu. Aku dan beberapa kawan menyiapkan scenario untuk menghiburmu, mewanti-wanti siapa saja untuk tak menyinggung kata ayah dihadapanmu. Tapi ternyata kekhawatiran kami tak beralasan. Kau secerah dan sesegar biasanya. Tawamu kembali membahana di lorong-lorong sempit Medica. Kembali kita berkejar-kejaran dengan waktu dan tantangan untuk lulus SPMB. Ah semangatmu Lix, aku masih menyimpan setiap rekamanan kenangan akan masa-masa itu. Bahkan, kita menemukan satu lagi lelucon di sela-sela padat dan penatnya jadwal bimbingan: status barumu sebagai anak janda. Sebuah kenangan yang berharga karena membawaku kembali pada satu kotak kecil yang kusimpan rapi di sudut hatiku: kesedihan menjadi anak yatim.

Kau adalah orang yang pertama kali membuatku tertawa atas status anak janda. Selama belasan tahun kehidupanku, aku selalu merasa tidak punya ayah adalah hukuman terberat yang Tuhan berikan. Kau mengajariku cara untuk menertawainya, kau membuatku mampu melihat bahwa tanpa ayahpun, hidup baik-baik saja. Aku hendak memberikan penghiburan terbaik untukmu, tapi justru kaulah yang meringankan hatiku. Bersama-sama kita membentuk Yayi: yayasan anak yatim Indonesia, tentu saja dengan aku sebagai ketuanya.

Ah, Felix, sudah hampir enam tahun sejak masa itu berlalu, tapi aku masih mengingat setiap detil tawa yang membuat Medica, tempat bimbingan kita, acap bergema. Aku masih menyimpan setiap detil ucapan yang membuat perut-perut kita berguncang

Lalu sekarang, di sinilah kita berada.

Waktu membuktikan betapa kita menjadi pribadi yang begitu berbeda. Aku telah melihatmu berubah, kaupun melihatku sebagai pribadi yang tak lagi di sana. Kita masing-masing melihat bagaimana Tuhan membentuk dan mengenyam masing-masing kita menjadi bejana untuk kemuliaanNya. Tentu jejak-jejak masa lalu masih membekas dalam kehidupan kita.

Aku ingat ketika aku pertama kali patah hati. (*blushing). Aku menangis histeris. Dari sederetan nomor yang ada, dari sejuta umat yang kukenal, aku hanya menghubungimu sembari menangis tersedu-sedu. Aku tak mengerti mengapa, kau begitu saja mampu membuatku tertawa. Kita menertawai kebodohan-kebodohan masa SMA dan tentu saja kedodolan-kedodolan sahabat kita. Kita telah menjadi pribadi yang tak sama, pribadi yang berbeda, namun aneh, perubahan itu yang membuat kita dekat.

Aku mengucap syukur untuk tiap kenangan baru yang kita jalin di Jakarta, untuk setiap cerita baru yang kita rajut bersama. Untuk satu geng baru yang kita bentuk: Geng Unyu Hura-Hura (walalupun kita harus mempertanyakan status dan keabsahan dari geng ini). Tapi setidaknya aku masih memilikimu dan Marantina di sini, di kota yang tak bisa dengan sepenuh hati kucintai. Aku juga mengucap syukur untuk setiap telepon yang diangkat, setiap sms yang dibalas, setiap pesan dinding yang diberi komentar dan setiap twit yang di reply. Seringkali kau hanya sejauh layar ponsel. Setiap kali aku berbeban berat, yang perlu kulakukan hanyalah menekan tombol-tombol pada telepon pintar. Dengan kepintaraannya, benda itu akan menghubungkanku denganmu.

Kau sering mengeluhkan aku yang moody, yang suka ngambek, yang cengeng. Aku pun acap mengeluhkan celetukanmu yang kadang tak ramah pada makhluk sensitif sepertiku. Tapi namanya juga manusia Lix, pelan-pelan berubahnya, jadi sabar sajalah ya. Pesanku, janganlah jenuh-jenuh mendengar ceritaku Lix. Janganlah jenuh-jenuh menghiburku kala aku menangis, janganlah lelah mendukungku kala aku jatuh – supaya besar upahmu di sorga *loh.



Ps: Ya ampun Lix, kita telah mengenal selama lebih dari 10 tahun. Kurasa aku memang berbakat merawat kawan-kawan lama. Maka tak heran kalau kau menikah nanti, kebayaku harus yang paling bagus


oleh: @rentalisa
diambil dari: http://merekamkenangan.wordpress.com

No comments:

Post a Comment