06 February 2012

120 Menit pada Sabtu Sore

Kepada pengisi sore.
Sebelum memulai, aku ingin memberi tahumu bahwa beberapa hari yang lalu aku sempat membaca sebuah tweet yang (mungkin) benar-benar terjadi padaku hari ini.
Dari @adimasimmanuel, katanya “Ketidaksengajaan pertemuan kita bisa jadi adalah salah satu bentuk kesengajaan Tuhan.
Setelah lebih dari satu tahun kita tidak bertemu dan juga tidak saling sapa meski berteman di dunia maya, akhirnya kita bertemu, saling sapa, saling tertawa, dan juga saling kaku. Waktunya kurang lebih 120 menit pada Sabtu sore tadi.
Aku sepulang membesuk temanku, kamu baru saja membesuk tetanggamu. Di sebuah kantin rumah sakit. Aku hendak mengisi perut karena lapar, kamu sedang makan. Dan kamu yang pertama menyapa dengan menyebut namaku.
Tiba-tiba saja kita berada dalam satu meja, saling menatap dan mulai menanyakan keadaan, kabar, dan beberapa orang yang kita kenal.  Sesekali juga terdiam dalam kesibukan masing-masing; mengunyah bakmi, menyeruput teh tawar panas, melihat lalat terbang, dan (mungkin) berpikir dalam hening. Waktu kita menghabiskannya: 45 menit cukup. Lalu kamu dengan baik hati bersedia mengantarku. Aku meyakinkan diriku jika ini bukan satu adegan dalam sebuah FTV atau sinetron, ini benar terjadi.
“Kan kita searah. Masa lupa sih?”, katamu.
Aku sejenak terlihat agak kaku, kamu pasti menangkap raut mukaku. Mana mungkin aku lupa, 3 tahun yang lalu selama 3 bulan kan kita selalu pulang bersama.
Aku kira perjalanan kita hanya perlu waktu 30 menit. Tapi ini Sabtu sore, mustahil terbebas macet untuk kota kita. Dan di sinilah kita semakin sebentar-sebentar hangat, sebentar-sebentar dingin, sebentar-sebentar cair, sebentar-sebentar kaku. Segala yang sebentar itu menjadi lama-kelamaan. Saat hening dan kaku tengah menyelimuti obrolan kita, aku mengutuk kemacetan yang tengah kita jalankan. Namun, ketika kita menertawai suatu hal yang kurasa begitu menhangatkan, kemacetan merupakan quality time yang menyelipkan dirinya sendiri.
Yang paling kuhindari adalah pembahasan tentang yang lalu, dan akhirnya yang lalu itu seketika akan maju dan menjadi alasan untuk kita mengisi waktu seperti ini. Ah, mengapa hal yang telah lalu selalu berhasil menjadi pembicaraan? Ini menyebalkan, tapi tidak menyesalkan. Ini menyebalkan karena dengan sendirinya kamu dan aku sama-sama membentuk senyum tentang kenangan kita, seolah kita sedang kembali memerankan kita kala itu pada waktu ini. Tapi tidak menyesalkan karena semua ini hanya akan terjadi saat ini dan (semoga) sekali, aku menikmati matamu yang sibuk mencari lagi potongan kisah tentang kita, aku menikmati tawaku di setiap lelucon takbermakna yang kau ujarkan, aku menikmati ketika kamu berhasil menangkap mataku yang mencuri-curi waktu untuk sekadar memandangmu sedikit lebih lama, aku menikmatimu. Semua.
Begitu larutnya kita, hingga taksadar waktunya telah habis. Bahkan untuk kembali berpisah dari pertemuan ini, kita terlihat begitu kikuk satu sama lain. Aku mengakhirinya dengan kata yang dulu biasa kuucapkan padamu di depan rumah sebelum kamu kembali melanjutkan perjalanan. “Terima kasih. Kamu hati-hati yah”, dengan bonus satu senyuman dan sebuah lambaian tangan kanan.
Singkat. 120 menit pada Sabtu sore.
Ketidaksengajaan pertemuan kita bisa jadi adalah salah satu bentuk kesengajaan Tuhan.” Kembali aku meyakini diriku bahwa ini bukan sepotong adegan di sebuah FTV atau sinetron. Iya, ini benar.
Satu kalimat yang aku lupa katakan padamu. “Sampai jumpa lagi.”

oleh: @sebutmawar
diambil dari: http://sebutmawar.wordpress.com/2012/02/05/120-menit-pada-sabtu-sore/

No comments:

Post a Comment