06 February 2012

Surat Terakhir


Kepada, Adji..
yang pernah menitipkan sejuta inspirasi untukku.

Selamat siang, jeleg!

Aku masih suka loh, manggil kamu dengan nama itu. Karena kamu memang jeleg. Hehehe. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir kali aku memanggil namamu. Maklum, kamu tau aku kan? Aku memang pelupa. Tapi jangan salah, aku nggak pernah lupa moment-moment penting yang pernah terjadi. Aku sudah menyimpannya erat di sebuah kotak rahasia dalam otakku yang kuberi gembok ber’password, dan hanya aku yang tau passwordnya. Aku jadi ingat pertama kali aku bertemu kamu. Di ruang 7, ingat? Remidi biologi, ingat? Kalau nggak salah di pertengahan tahun 2007. Tuh kan, aku masih nggak payah-payah banget dalam mengingat sesuatu.

Waktu itu tak ada yang istimewa saat pertama kali melihatmu. Malah aku mebencimu, ya aku membencimu. Saat itu aku masih belum pandai menulis surat cinta seperti sekarang. kita pun masih belum sempat merangkai kata sedikitpun. Tapi Tuhan baik sekali, dia mengutusmu menjadi teman sebangkuku. Teman sebangkuku yang menyebalkan. Yang tak pernah ada habisnya mengerjaiku, yang tidak bisa sehari saja melihatku tenang. Hingga akhirnya, kita memutuskan untuk menjalani hidup bersama-sama, melalui sebuah komitmen yang ternyata hari ini kita terbangkan bersama layang-layang tadi pagi. Jika kau bertanya apakah aku menyesal? Dengan lantang aku akan berkata tidak! Tahukah kau, dji, semesta berbisik padaku semalam, katanya, “di mana ada permulaan, pasti ada akhirnya”. Lalu aku menjadi kuat karenanya.

Mungkin ini surat terakhirku untukmu. Aku mau menyampaikannya setengah berbisik yaa, agar tak terdengar tetangga. Jadi, pasang telingamu tajam-tajam. Bacanya juga pelan-pelan yaa, biar pesanku merayap jauh ke dalam matamu hinggap di retinamu dan terlempar ke dalam pikiranmu perlahan namun pasti.

Delapan puluh lima minggu bukanlah waktu yang sebentar dji. Dan selama itu kamu sudah mencoret kanvasku dengan warna pelangi. Sekarang sudah penuh kanvasku, hingga tak ada tempat lagi untukmu melukis. Yaa, mungkin sudah saatnya untuk mengganti kanvas yang baru. Tapi jangan khawatir lukisanmu itu akan kupajang di dinding kamarku dan kupandangi setiap pagi, ketika aku bangun tidur lalu aku berjanji akan tersenyum setelahnya. Aku sempat termotivasi, sempat terinspirasi, sempat candu, sempat juga terombang-ambik karenamu.

Berjanjilah padaku dji, jika suatu hari kamu tengah digelayuti sedih ambillah pundakku dan bersandarlah disitu. Aku tak akan pernah bosan untuk menjadi tempatmu berkeluh kesah. Jika kamu sedang bahagia jangan lupa ajak aku juga. Hehe.

Tadi pagi dan pagi di delapan puluh lima minggu yang lalu adalah pagi yang indah buatku. Tak ada yang perlu disesali, dji.

Salam hangat dari hati yang pernah kau pinjam.

aku pernah tesesat karenamu, tapi hari ini kamu membantuku menuju jalan keluar.”

pratiwihputri


oleh: @pratiwihputri
diambil dari: http://pratiwihputri.blogspot.com/2012/02/surat-terakhir.html

No comments:

Post a Comment