If I could get another chance
Another walk another dance with him
I’d play a song that would never ever end
How I’d love love love 
To dance with my father again
(Luther Vandros - Dance With My Father)
Selamat malam bapak…
Barusan kami menggelar perayaan 100 hari kepergianmu. Hal yang tak biasa  untuk seseorang yang bahkan hari ulang tahun pun tak pernah dirayakan.  Dan kau pasti tahu betapa besar penyesalanku tak merayakan hari lahirmu  yang terakhir dalam hidupmu. Iya bapak, aku menyesal 27 Agustus tahun  lalu aku melupakan hari terpenting untuk orang tuaku.
Bapak…
Bagaimana perjalanan Bapak menuju surga? Muluskah? Atau harus  berliku-liku? Yang aku yakini, sekalipun jalan Tuhan tak mudah, tapi  Rumahmu di Surga sudah siap. Berjuanglah Bapak, kami pun akan membantu  dari sini dengan doa yang tiada henti.
Bapak…
Kaki Bapak sudah tidak sakit kan? Maaf ya Bapak, 6 bulan lamanya Bapak  harus menderita tanpa tahu pasti apa yang membuat Bapak merasa sakit.  Aku tahu, kau pasti tak mau aku menyalahkan Ibu yang bersikeras  merawatmu di rumah. Bapak, aku sungguh menyesal, harusnya aku saja yang  langsung membawamu ke rumah sakit. Toh sekiranya memang sudah waktunya  kau pulang ke Rumah Bapa, kau tak perlu menderita selama 6 bulan  terakhir itu. Setidaknya aku tahu caranya mengurangi rasa sakitmu. Kau  meninggalpun aku tak tahu pasti karena apa.
Bapak…
Sekarang Bapak sudah senang kan, bertemu Eyang Kakung dan Putri yang  selalu Bapak ceritakan padaku. Sudah bertemu dengan Pakdhe Ton kan? Yang  mengajakmu berkeliling Indonesia dengan pesawat terbang. Bapak pasti  bahagia bertemu dengan teman-teman lama.
Bapak di sana juga banyak teman ngobrol kan? Bapak, pasti kau juga  tahu betapa aku menyesal tak pernah berbicara dari hati ke hati  denganmu. Seringnya aku menghindarimu. Aku lupa kalau Bapak sakit, aku  tidak mau mencoba mengerti mengapa Bapak menjadi begitu pelupa dan  sering menanyakan hal yang sama. Bapak sekiranya bisa kuputar waktu akan  kujawab semua pertanyaanmu, entah kau sudah bertanya sejutakalipun akan  kujawab.
Bapak..
Kini aku tahu apa arti pesan terakhirmu jauh sebelum kau kehilangan  ingatan akan keluargamu. “Aku ga boleh main terus” katamu waktu itu.  Dan, mengapa aku harus tahu artinya ketika kau sudah pergi. Sabtu dan  Minggu terakhir itu memang waktuku pulang ke Semarang, tapi entah, tak  seperti biasanya aku tak ada untukmu. Biasanya aku sempat menyuapimu  makan, mengajakmu mengobrol sekalipun kau tak lagi mengenaliku. Tapi  hari itu aku asik bermain dengan duniaku sendiri. Harusnya hari itu aku  tidak bermain. Harusnya aku untukmu hari itu.
Bapak..
Aku tak menangisi kepergianmu, karena kuyakin Tuhan lebih sayang padamu,  yang kutangisi adalah penyesalan-penyesalanku. Semua hal yang belum  sempat kulakukan padamu. Tapi kau memang ayah terbaik, kau mengabulkan  permohonanku untuk tak pergi sebelum berpamitan padaku. Maaf Bapak, kau  harus berjuang dalam sakratul maut selama 6 jam hanya untuk menungguku  datang dari Jakarta. Demi aku yang bandel ini kau mau berjuang  mempertahankan nafas kehidupanmu. Walaupun akhirnya kau tetap  meninggalkanku.
Terima kasih Bapak, selama hampir 25 tahun kau telah menyertaiku.  Terima kasih untuk teh manis yang selalu kau buatkan sewaktu aku kecil  sebab Ibu tak mau membuatkanku. Terima kasih untuk sepatu hitam cantik  hadiah buatku. Terima kasih untuk menjadikan aku perempuan tegar. Terima  kasih karena cintamu, aku ada.
Aku janji akan merawat Ibu, mba tik, dan semua kakak-kakakku.  Tunggulah kami, suatu hari nanti kita akan berkumpul kembali di Surga.  Tunggulah kami….
Malam ini mampirlah barang sebentar di mimpiku ya ;p
Yang sangat merindukanmu; putri kecilmu,
Nia :)
Malam Jumat, 100 hari kepergian bapak.
oleh: @peribiroe
diambil dari: http://theresiafafa.tumblr.com
No comments:
Post a Comment