22 January 2012

Survive In 100 Days

If I could get another chance
Another walk another dance with him
I’d play a song that would never ever end
How I’d love love love
To dance with my father again
(Luther Vandros - Dance With My Father)
Selamat malam bapak…
Barusan kami menggelar perayaan 100 hari kepergianmu. Hal yang tak biasa untuk seseorang yang bahkan hari ulang tahun pun tak pernah dirayakan. Dan kau pasti tahu betapa besar penyesalanku tak merayakan hari lahirmu yang terakhir dalam hidupmu. Iya bapak, aku menyesal 27 Agustus tahun lalu aku melupakan hari terpenting untuk orang tuaku.
Bapak…
Bagaimana perjalanan Bapak menuju surga? Muluskah? Atau harus berliku-liku? Yang aku yakini, sekalipun jalan Tuhan tak mudah, tapi Rumahmu di Surga sudah siap. Berjuanglah Bapak, kami pun akan membantu dari sini dengan doa yang tiada henti.
Bapak…
Kaki Bapak sudah tidak sakit kan? Maaf ya Bapak, 6 bulan lamanya Bapak harus menderita tanpa tahu pasti apa yang membuat Bapak merasa sakit. Aku tahu, kau pasti tak mau aku menyalahkan Ibu yang bersikeras merawatmu di rumah. Bapak, aku sungguh menyesal, harusnya aku saja yang langsung membawamu ke rumah sakit. Toh sekiranya memang sudah waktunya kau pulang ke Rumah Bapa, kau tak perlu menderita selama 6 bulan terakhir itu. Setidaknya aku tahu caranya mengurangi rasa sakitmu. Kau meninggalpun aku tak tahu pasti karena apa.
Bapak…
Sekarang Bapak sudah senang kan, bertemu Eyang Kakung dan Putri yang selalu Bapak ceritakan padaku. Sudah bertemu dengan Pakdhe Ton kan? Yang mengajakmu berkeliling Indonesia dengan pesawat terbang. Bapak pasti bahagia bertemu dengan teman-teman lama.
Bapak di sana juga banyak teman ngobrol kan? Bapak, pasti kau juga tahu betapa aku menyesal tak pernah berbicara dari hati ke hati denganmu. Seringnya aku menghindarimu. Aku lupa kalau Bapak sakit, aku tidak mau mencoba mengerti mengapa Bapak menjadi begitu pelupa dan sering menanyakan hal yang sama. Bapak sekiranya bisa kuputar waktu akan kujawab semua pertanyaanmu, entah kau sudah bertanya sejutakalipun akan kujawab.
Bapak..
Kini aku tahu apa arti pesan terakhirmu jauh sebelum kau kehilangan ingatan akan keluargamu. “Aku ga boleh main terus” katamu waktu itu. Dan, mengapa aku harus tahu artinya ketika kau sudah pergi. Sabtu dan Minggu terakhir itu memang waktuku pulang ke Semarang, tapi entah, tak seperti biasanya aku tak ada untukmu. Biasanya aku sempat menyuapimu makan, mengajakmu mengobrol sekalipun kau tak lagi mengenaliku. Tapi hari itu aku asik bermain dengan duniaku sendiri. Harusnya hari itu aku tidak bermain. Harusnya aku untukmu hari itu.
Bapak..
Aku tak menangisi kepergianmu, karena kuyakin Tuhan lebih sayang padamu, yang kutangisi adalah penyesalan-penyesalanku. Semua hal yang belum sempat kulakukan padamu. Tapi kau memang ayah terbaik, kau mengabulkan permohonanku untuk tak pergi sebelum berpamitan padaku. Maaf Bapak, kau harus berjuang dalam sakratul maut selama 6 jam hanya untuk menungguku datang dari Jakarta. Demi aku yang bandel ini kau mau berjuang mempertahankan nafas kehidupanmu. Walaupun akhirnya kau tetap meninggalkanku.
Terima kasih Bapak, selama hampir 25 tahun kau telah menyertaiku. Terima kasih untuk teh manis yang selalu kau buatkan sewaktu aku kecil sebab Ibu tak mau membuatkanku. Terima kasih untuk sepatu hitam cantik hadiah buatku. Terima kasih untuk menjadikan aku perempuan tegar. Terima kasih karena cintamu, aku ada.
Aku janji akan merawat Ibu, mba tik, dan semua kakak-kakakku. Tunggulah kami, suatu hari nanti kita akan berkumpul kembali di Surga. Tunggulah kami….
Malam ini mampirlah barang sebentar di mimpiku ya ;p

Yang sangat merindukanmu; putri kecilmu,
Nia :)

Malam Jumat, 100 hari kepergian bapak.

oleh: @peribiroe
diambil dari: http://theresiafafa.tumblr.com

No comments:

Post a Comment