Ardo yang baik,
Angin pesisir berhembus kencang ketika aku bangun, lalu menemukan 
bahwa hari sudah tak lagi terang dan gelap sudah membayang. Aneh sekali,
 rasanya baru beberapa jam saja aku merasa mataku memburam lalu semua 
menjadi hitam. Tak kusangka, airmata masih punya kekuatan untuk 
menghilangkan warna, maka tak heran semuanya menjadi legam.
Kau mungkin bertanya, apa yang aku lakukan pada pukul tiga, mengapa 
aku masih terjaga. Entahlah Ardo, entahlah. Sejak kau pergi  mata selalu
 terjaga, selalu setiap pukul tiga.  Aku tak pernah meminta mataku 
membuka, itu terjadi begitu saja.
Dulu ketika kau masih ada, kita selalu berlari ke pantai selepas 
pukul lima. Untuk melihat nelayan, untuk melihat surya. Aku acap 
bertanya, mengapa kau tak ikut bersama mereka. Kau memang kawan yang 
baik, kau bilang kau ingin menemaniku menikmati pagi. Aku hanya terkekeh
 perlahan, mendorongmu pergi agar kau bisa menangkap ikan.
Angin pesisir belum juga berhenti. Aku membencinya,  membenci suara 
gaduhnya. Dulu, waktu kau ada, kurasa angin pesisir adalah musik yang 
indah. Sekarang aku membencitnya.   Maka aku berusaha memejamkan mata. 
Bukan untuk tidur, tapi untuk berkonsentrasi membayangkanmu membaca 
puisi.
Ah, puisi-puisimu bukan puisi sembarang. Puisi itu adalah sahabatmu 
untuk melaut, menemanimu di kala jenuh. Selepas pulang, kau selalu 
membawa ribuan puisi. Sayang isinya tentang kejenuhan. Tak ada semangat 
di dalamnya. Kau selalu mengeluh bahwa kehidupan nelayan sangat 
membosankan. Kau hanya bertanya  kapan kau bisa meninggalkan laut, lalu 
terbang ke langit. Jawabku, kapanpun kau mau. Kau hanya tertawa kecil, 
menghadiahiku sepotong puisi.
Kau selalu menghadiahiku berpotong-potong puisi. Entah siang, entah 
malam. Pernah aku bertanya-tanya, apakah moyangmu punya pabriknya, 
sepertinya kau selalu bisa memproduksi puisi.  Kau tertawa 
tergelak-gelak, dan berkata, “Tidak, hanya saja kau menjadi alasanku 
membuat mereka.” Kupingku memerah, kurasa itu sepotong puisi juga.
Kulirik jam. Aneh sekali, masih pukul tiga. Inikah relativitas waktu?
 Yang melambat setiap aku mengenangmu. Aku jadi ingat, aku pernah 
bermimpi aneh. Suatu hari ketika kau melaut, aku juga melaut. Perahu 
kita berlayar beriringan perlahan meninggalkan pantai. Aneh sekali, kau 
tak berbicara padaku. Tak membaca puisimu. Aku menangis merajuk bertanya
 mengapa. Jawabmu, “Aku sudah bertemu puisi, mengapa harus merangkainya 
lagi?” Aku menangis lagi, kali ini karena aku merasa kau berbicara 
bahasa lain, dan aku tak mengerti.
Dalam mimpi itu, surya tak kunjung pulang, kita lama sekali ada di 
perahu, membiarkan angin membuat kita bergoyang-goyang.  Itu hanya 
mimpi, tapi aneh, kenapa aku merasa sangat sedih.
Kau melihatku menangis dan mulai membaca puisi. Ketika kau mulai 
membaca, ada satu ikan mendekatimu. Aku bertanya, ikan apa itu, 
bentuknya tak lazim, tak biasa. Dia sama sekali tak menyentuh umpanmu. 
Kau tak berhenti membaca puisi, kau takut ikan itu akan pergi. Aku 
berteriak, tangkap ikannya, tangkap. Kau menoleh, untuk yang pertama 
kali di hari itu. Aku tersenyum. Kau tersenyum.
Ketika kau menoleh, ikan itu masih ada. Kau sadar, ternyata tanpa 
puisi ikan itu tetap di sana. Aneh sekali, masakan ikan itu melompat ke 
perahumu.  Dia menggelepar-gelepar seolah-olah terkena mantra. Aku 
melihatnya tak percaya.
Aku ingat, tiba-tiba saja aku tak bisa berteriak. Seolah-olah ada 
yang mencekik leherku.  Ah Ardo, kukira saat itu aku akan mati. Untung 
itu hanya mimpi. Aku tak mampu berbicara, hanya bisa mengirim pesan pada
 angin,  aku ingin kau tau, kau sudah mendapatkan ikanmu. Menyuruhmu 
berbalik ke bibir pantai.
Kita pulang. Aku lega. Sesak nafasku masih ada, tapi aku lega.
Sesampainya di sana kau melompat turun, tak mengacuhkan ikan yang 
lama-lama menyusut mengecil. Terengah-engah aku bertanya mengapa. Kau 
bilang kau mau menjadi vegetarian, berhenti makan ikan. Tak ada yang 
bisa dilakukan oleh sang ikan kecuali melihat punggungmu berbalik pergi,
 karena sekarang kau menjadi penabur benih. Ikan itu hanya bisa merana, 
menyesalkan segalanya, perlahan-lahan lalu mati. Aneh sekali, ikan itu 
berubah menjadi aku
- @rentalisa 
No comments:
Post a Comment