22 January 2012

Penabur Benih

Ardo yang baik,

Angin pesisir berhembus kencang ketika aku bangun, lalu menemukan bahwa hari sudah tak lagi terang dan gelap sudah membayang. Aneh sekali, rasanya baru beberapa jam saja aku merasa mataku memburam lalu semua menjadi hitam. Tak kusangka, airmata masih punya kekuatan untuk menghilangkan warna, maka tak heran semuanya menjadi legam.

Kau mungkin bertanya, apa yang aku lakukan pada pukul tiga, mengapa aku masih terjaga. Entahlah Ardo, entahlah. Sejak kau pergi mata selalu terjaga, selalu setiap pukul tiga. Aku tak pernah meminta mataku membuka, itu terjadi begitu saja.

Dulu ketika kau masih ada, kita selalu berlari ke pantai selepas pukul lima. Untuk melihat nelayan, untuk melihat surya. Aku acap bertanya, mengapa kau tak ikut bersama mereka. Kau memang kawan yang baik, kau bilang kau ingin menemaniku menikmati pagi. Aku hanya terkekeh perlahan, mendorongmu pergi agar kau bisa menangkap ikan.

Angin pesisir belum juga berhenti. Aku membencinya, membenci suara gaduhnya. Dulu, waktu kau ada, kurasa angin pesisir adalah musik yang indah. Sekarang aku membencitnya. Maka aku berusaha memejamkan mata. Bukan untuk tidur, tapi untuk berkonsentrasi membayangkanmu membaca puisi.
Ah, puisi-puisimu bukan puisi sembarang. Puisi itu adalah sahabatmu untuk melaut, menemanimu di kala jenuh. Selepas pulang, kau selalu membawa ribuan puisi. Sayang isinya tentang kejenuhan. Tak ada semangat di dalamnya. Kau selalu mengeluh bahwa kehidupan nelayan sangat membosankan. Kau hanya bertanya kapan kau bisa meninggalkan laut, lalu terbang ke langit. Jawabku, kapanpun kau mau. Kau hanya tertawa kecil, menghadiahiku sepotong puisi.

Kau selalu menghadiahiku berpotong-potong puisi. Entah siang, entah malam. Pernah aku bertanya-tanya, apakah moyangmu punya pabriknya, sepertinya kau selalu bisa memproduksi puisi. Kau tertawa tergelak-gelak, dan berkata, “Tidak, hanya saja kau menjadi alasanku membuat mereka.” Kupingku memerah, kurasa itu sepotong puisi juga.

Kulirik jam. Aneh sekali, masih pukul tiga. Inikah relativitas waktu? Yang melambat setiap aku mengenangmu. Aku jadi ingat, aku pernah bermimpi aneh. Suatu hari ketika kau melaut, aku juga melaut. Perahu kita berlayar beriringan perlahan meninggalkan pantai. Aneh sekali, kau tak berbicara padaku. Tak membaca puisimu. Aku menangis merajuk bertanya mengapa. Jawabmu, “Aku sudah bertemu puisi, mengapa harus merangkainya lagi?” Aku menangis lagi, kali ini karena aku merasa kau berbicara bahasa lain, dan aku tak mengerti.

Dalam mimpi itu, surya tak kunjung pulang, kita lama sekali ada di perahu, membiarkan angin membuat kita bergoyang-goyang. Itu hanya mimpi, tapi aneh, kenapa aku merasa sangat sedih.

Kau melihatku menangis dan mulai membaca puisi. Ketika kau mulai membaca, ada satu ikan mendekatimu. Aku bertanya, ikan apa itu, bentuknya tak lazim, tak biasa. Dia sama sekali tak menyentuh umpanmu. Kau tak berhenti membaca puisi, kau takut ikan itu akan pergi. Aku berteriak, tangkap ikannya, tangkap. Kau menoleh, untuk yang pertama kali di hari itu. Aku tersenyum. Kau tersenyum.

Ketika kau menoleh, ikan itu masih ada. Kau sadar, ternyata tanpa puisi ikan itu tetap di sana. Aneh sekali, masakan ikan itu melompat ke perahumu. Dia menggelepar-gelepar seolah-olah terkena mantra. Aku melihatnya tak percaya.

Aku ingat, tiba-tiba saja aku tak bisa berteriak. Seolah-olah ada yang mencekik leherku. Ah Ardo, kukira saat itu aku akan mati. Untung itu hanya mimpi. Aku tak mampu berbicara, hanya bisa mengirim pesan pada angin, aku ingin kau tau, kau sudah mendapatkan ikanmu. Menyuruhmu berbalik ke bibir pantai.
Kita pulang. Aku lega. Sesak nafasku masih ada, tapi aku lega.

Sesampainya di sana kau melompat turun, tak mengacuhkan ikan yang lama-lama menyusut mengecil. Terengah-engah aku bertanya mengapa. Kau bilang kau mau menjadi vegetarian, berhenti makan ikan. Tak ada yang bisa dilakukan oleh sang ikan kecuali melihat punggungmu berbalik pergi, karena sekarang kau menjadi penabur benih. Ikan itu hanya bisa merana, menyesalkan segalanya, perlahan-lahan lalu mati. Aneh sekali, ikan itu berubah menjadi aku

- @rentalisa 

No comments:

Post a Comment