22 January 2012

Saat Perpisahan Tiba

Apa kabar, Kisha.

Senang rasanya dapat kembali berjumpa denganmu. Ini adalah surat ke-6 dariku. Tak terasa, sudah nyaris seminggu kita saling bersua, ya… Aku memang telah merencanakan surat-surat ini, terutama sejak aku dapat mengetahui kabarmu dari Hasyim. Setiap malam aku menulis surat-surat untukmu. Saat pagi menjelang, hatiku berdebar-debar membayangkan bahwa beberapa jam lagi kau akan membaca surat-surat yang telah kutulis. Aku berdebar seperti benar-benar hendak berjumpa denganmu, bertatap-tatapan mata. Debar yang juga pernah kurasakan tiap dekat denganmu saat kita kecil dulu.

Ah, perjumpaan memang selalu indah, bukan? Namun sayangnya, perjumpaan selalu berentetan dengan perpisahan. Dan yang lebih disayangkan lagi, jarang sekali manusia yang mempersiapkan dirinya, hatinya, dengan perpisahan – yang justru adalah kepastian. Kita hanya menyiapkan sukacita untuk menyambut perjumpaan. Kalau kupikir-pikir, sebenarnya manusia hidup di dunia hanya untuk mengalami perpisahan. Bagaimana menurutmu, Kisha? Aku berkata demikian mungkin dikarenakan aku telah kerap mengalami perpisahan. Setiap perpisahan, seindah dan selapang dada apapun kita berusaha menerimanya, tetap mengguratkan rasa sakit. Sebenarnya kita tak pernah siap dengan perpisahan. Yang sekedar dapat kita lakukan hanyalah menerimanya mentah-mentah karena kita tak lagi punya pilihan selain menghadapi perpisahan.

Lihatlah kematian. Ia adalah sesuatu yang pasti, sedang kurasa kita tak pernah benar-benar siap untuk menyambutnya, menerimanya. Jika kita memang benar-benar siap, tidak akan ada linangan air mata yang mengiringi kematian, seperti halnya perjumpaan yang kita sambut sedemikian rupa. Mereka yang menyatakan diri siap untuk mati sebenarnya tak pernah benar-benar jujur mengatakan perasaannya. Bagaimana seseorang dapat dengan enteng meninggalkan kehidupan di dunia yang telah menorehkan sejuta kenangan dan rasa? Kita meninggalkan harta kita, anak kita, pekerjaan kita, kehidupan kita, semua yang berarti bagi hidup kita. Kurasa itu bukan hal yang mudah jika kita mencintai itu semua. Tapi itulah resiko mencintai. Saat tiba waktunya perpisahan, kehilangan, rasa sakit yang kita tanggung sungguh meluluhlantakkan.

Tapi kita takkan pernah mengetahui rahasia ini jika kita tak benar-benar mengalaminya sendiri. Mengalami cinta, kemudian perpisahan yang menyakitkan itu. Kita lebih senang dengan pengalaman daripada peringatan yang telah Tuhan katakan jauh-jauh hari sebelumnya, bahwa mencintai dunia dan seisinya adalah sebuah kerugian semata. Tuhan tahu betul pahitnya rasa sakit itu. Dia memperingatkan kita karena Dia begitu mencintai kita, dan tak ingin kita tersakiti. Namun kita memilih untuk menjadi bebal sebelum benar-benar mengecap rasa sakit saat perpisahan — yang adalah keniscayaan, benar-benar terjadi. Dalam perpisahan, selalu ada luka jika ada cinta.

Bagiku, perpisahan yang menyakitkan adalah saat berpisah denganmu, Kisha. Sampai kapanpun, aku takkan berhenti menganggapnya sebagai sebuah tragedi. Betapa tidak, karena aku tak hanya mengalami rasa sakit karena meninggalkanmu, namun juga menghadapi kemelut dalam keluargaku. Entah, apakah aku patut menyalahkan ayahku. Namun jika tidak karena ulahnya, barangkali kita masih akan bersama lebih lama lagi.
Kau masih ingat ayahku, bukan? Aku tahu kau tak terlalu suka padanya. Bagi orang lain, ayah memang dipandang sebagai pribadi yang kurang menyenangkan. Selain perawakannya yang tinggi besar, berkulit gelap, dan raut wajahnya yang terlihat garang, pembawaannya pun ketus dan kasar. Ia hanya mau bicara yang perlu-perlu saja. Jenis manusia seperti ayahku itu tak suka berbasa-basi. Apa yang ada di hatinya, itu yang dikatakannya. Aku ingat bahwa kau selalu enggan main ke rumahku jika ayah ada di rumah. Kau pasti heran, mengapa dunia ini juga melahirkan orang yang bicaranya selalu nyaring dan menyentak-nyentak. Mungkin ayah pikir semua orang di dunia ini tuli, kecuali dia.

Meski demikian, bagi keluarga kami, sejatinya ia adalah seorang ayah yang baik. Setidaknya dengan memiliki lima anak, itu membuktikan bahwa ibuku amat mencintainya. Tidakkah seseorang yang baik itu pasti dicintai? Dan asal kau tahu, ia pun mencintai anak-anaknya sepenuh hati. Namun dikarenakan kemiskinan kami, cintanya tak tersalurkan dengan baik. Ia terpaksa menenggelamkan diri dalam kesibukan pekerjaan yang membosankan sekaligus melelahkan.

Sudah sepuluh tahun ayahku bekerja di pabrik pemotongan kayu. Karena pendidikannya yang rendah, maka ia berlapang dada menerima nasib senantiasa menjadi buruh. Bayaran yang ia terima sangat kecil, padahal ia harus mencukupi keluarganya yang tidak sedikit. Ibuku terpaksa membantu keuangan dengan menerima kue pesanan dan menjahit. Ibumu dulu sering memesan kue pada ibuku, bukan? Jika ibumu yang memesan, aku selalu lebih giat membantu ibu di dapur. Bagi kami keluarganya, kue buatan ibu adalah yang paling enak. Tapi orang-orang pun banyak yang mengatakan demikian. Anak-anak ibu selalu bergembira jika ibu membuat kue. Kami bahkan selalu berebutan, tak jarang bertengkar, karena ibu selalu menyisakan sedikit. Hanya ayah yang jarang menyantap kue-kue bikinan ibu meski ibu telah memisahkannya tersendiri dalam sebuah piring kecil. Bagi ayah, makanan wajibnya hanyalah segelas kopi dan sepiring nasi. Kadang ia merokok, tapi tak terlalu banyak.

Sebenarnya aku tak terlalu dekat dengan ayah. Entahlah, mungkin karena karakternya yang jauh berbeda denganku hingga membuatku sedikit takut padanya. Ayah adalah seorang yang cukup tegas. Jika kami, anak-anaknya, melakukan kesalahan, ia tak segan menghukum. Jika kau pernah merasakan jewerannya, kau pasti takkan pernah melupakannya seumur hidupmu. Aku justru lebih nyaman untuk dekat dengan ibuku.
Namun kadang aku merasa bahwa sesungguhnya ayah lebih menyayangiku daripada saudara-saudaraku yang lain, terutama kedua kakak perempuanku. Mungkin karena aku adalah anak lelaki pertamanya. Dan dibanding kedua kakakku, prestasiku di sekolah jauh lebih memuaskan. Karena aku jarang mengecewakan ayah dalam soal prestasi, tak heran jika ayah selalu lebih mudah mengabulkan permintaanku, terutama untuk membeli buku-buku.

Ayah pun cukup menyayangi kedua adik lelakiku. Saat mereka masih sedemikian kecil, ayah seringkali mengajak mereka ke pasar malam, menikmati berbagai jenis permainan hiburan. Tentu saja tak mengajak semua anak-anaknya, melainkan bergantian. Begitulah nasib jika tak punya banyak uang. Andai kami memiliki uang yang lebih banyak, barangkali ayah akan membawa kami semua bersama-sama ke tempat hiburan yang jauh lebih besar daripada sekedar pasar malam.

Sebenarnya kehidupan kami yang sangat sederhana itu cukup menyenangkan. Namun rupanya Tuhan tak pandang bulu dalam menimpakan cobaan-Nya. Pada akhirnya, kami pun tak luput dari cobaan besar. Awalnya dimulai di suatu hari, ketika kutemukan raut muka ayah yang paling murung dari yang pernah kulihat selepas ia pulang dari bekerja. Tiba-tiba seharian itu ayah menjadi amat pendiam. Ia bahkan tak sedikitpun memberi komentar pada berita-berita di televisi, seperti yang biasa ia lakukan. Ayah memang tak lihai menyembunyikan perasaannya, terutama jika ia sedang bahagia atau sedang bermasalah. Ia seorang yang terlalu apa adanya. Beberapa kali ibu mencoba untuk mencari tahu, apa gerangan yang membuat ayah sedemikian terlihat susah. Namun ayah tetap bungkam, tak juga menceritakannya pada ibu. Ibu jadi ikut-ikutan gelisah. Nalurinya mengatakan ada hal buruk yang sedang menimpa ayah. Malam itu, ayah tidur lebih cepat.

Baru tiga hari kemudian ayah sanggup membagi resah atas permasalahannya pada ibu. Ia ceritakan bahwa ia telah memiliki utang dalam jumlah besar pada seorang rentenir. Ibu sangat kaget, karena kami tak biasa meminjam uang pada rentenir. Meski kami miskin, kami bahkan jarang meminjam uang pada siapapun. Ibu sempat marah karena ayah tak mengajak ibu berunding sebelum memutuskan untuk berhutang. Rupanya akar permasalahannya adalah ayah tergiur dengan bujuk rayu salah seorang teman baiknya yang mengajaknya untuk menginvestasikan sejumlah uang pada sebuah usaha investasi. Jika ayah menginvestasikan sejumlah uang, ia akan menerima  keuntungan tiga kali lipat dalam waktu hanya tiga bulan. Apalagi jika ayah menginvestasikan uang dalam jumlah besar, maka keuntungannya akan terlihat lebih nyata. Kau pasti menilai betapa bodohnya ayahku yang mudah percaya dengan hal-hal konyol seperti itu. Tapi kenyataannya itu benar-benar terjadi dan ayahku memang bodoh. Dengan setia ia mendengarkan temannya yang  bercerita tentang pengalaman keberhasilannya sendiri. Demi lebih meyakinkan, ayah pun diajak serta menemui orang-orang yang telah sukses dengan investasi mereka. Tak memakan waktu lama, ayah benar-benar tergiur. Ayah telah membayangkan, jika ia telah menerima hasil investasinya, ia akan berhenti bekerja dan membuka usaha perabotan seperti yang dicita-citakan sejak lama. Ia benar-benar sudah bosan bekerja di pabrik pemotongan kayu, pun sudah muak karena mereka tak pernah menghargai ayah. Bahkan untuk hari raya pun mereka tak pernah memberikan jatah.

Sebenarnya teman yang menawari ayah ini adalah sahabat ayah sejak lama. Itu sebabnya ayah menaruh kepercayaan yang sedemikian besar padanya. Tanpa pertimbangan lebih jauh, ayah segera mencari pinjaman. Untuk meminjam di bank diperlukan jaminan, sedang kami tak punya apapun sebagai jaminan. Maka tak ada pilihan lain, ayah terpaksa meminjam uang dalam jumlah yang cukup besar pada seorang rentenir.

Singkat cerita, ayah tertipu. Teman yang ia percayai sebegitu besarnya telah tega melarikan uangnya. Ayah mencarinya kemana-mana, namun teman sialan itu benar-benar telah kabur tak meninggalkan jejak. Bahkan keluarganya pun tak ada yang mengetahui keberadaannya. Ayahku yang lugu dan bodoh itu sangat terpukul. Pasalnya, ia sudah terlanjur berhutang, dan kemudian ia harus menerima kenyataan bahwa uangnya telah hilang. Padahal jatuh tempo pelunasan hutang itu sudah semakin dekat. Ayah bingung hendak mencari uang kemana. Hendak meminjam pada tempat ia bekerja pun percuma karena mereka terkenal sangat pelit, terutama pada buruh rendahan seperti ayah. Hendak menjual sesuatu pun takkan bisa menutupi hutang ayah yang nilainya terlampau besar. Ayah dilanda kekalutan. Seketika itu ia tersadar bahwa kini ia adalah orang termiskin dari yang paling miskin di dunia ini.

Dalam waktu dua bulan, kami tak kunjung menemukan solusi. Ayah pun menjadi berubah. Pembawaannya selalu murung, bahkan ia nyaris tak bisa lagi tertawa. Tubuhnya menjadi kurus dalam waktu yang sangat cepat. Ayah hanya makan sedikit. Bahkan kadangkala ia tak menelan apapun. Ayah benar-benar terguncang. Ibu mencoba memberi pengertian anak-anaknya supaya untuk sementara tak mengusik ayah. Kami, anak-anaknya, sudah mulai tahu bahwa keluarga kami sedang dilanda masalah. Sebuah masalah besar.

Saat aku terjaga di tengah malam, seringkali kudengar sayup-sayup isak tangis ayah yang tergugu. Ia menyebut nama Tuhan ratusan kali dengan suaranya yang nyaris parau. Saat berdoa, bendungan emosi yang selama ini ia pertahankan sekuat tenaga ambrol begitu saja. Sempat kuintip ayah di ruang sembahyang kami yang sempit. Kulihat ayah bersujud takzim. Ia tak henti memohon karena keputusasaannya sudah menggerogoti habis harapannya. Melihat dan mendengar tangis ayah, tak jarang aku pun ikut menangis tertahan-tahan, ikut berdoa dalam diam. Aku seolah dapat merasakan beban berat yang sedang dipikul ayah. Tapi kadang aku sempat merasa ragu, apakah Tuhan akan benar-benar menolong orang-orang seperti kami. Aku ragu apakah tangis ayah mampu menggoyahkan bejana keajaiban Tuhan. Jujur saja, kami bukanlah keluarga yang sangat rajin menjalankan perintah agama. Bahkan ayah atau ibu pun seringkali melewatkan jadwal sembahyang karena kesibukan yang tak bisa mereka tinggalkan. Andai kami tidak semiskin ini, barangkali kami akan punya lebih banyak waktu untuk memperhatikan Tuhan. Aku merasa malu sekaligus sangsi karena kami baru benar-benar mendekat pada-Nya hanya ketika kami membutuhkan pertolongan-Nya, saat kami sudah berada di ujung keputusasaan. Apakah menurutmu Tuhan akan mengasihani orang-orang tak tahu diri macam kami?

Tak terasa, bulan berganti dengan teramat cepat. Empat bulan telah berlalu, dan rumah kami mulai kerap didatangi para penagih utusan renternir. Kami telah benar-benar terlambat  dari jatuh tempo pembayaran. Para penagih yang rata-rata bertampang seram itu tak pernah ramah pada kami. Kemampuan mereka hanyalah berkata-kata keras dan menggertak kami. Adik-adikku selalu ketakutan jika mereka datang, bahkan adikku yang paling bungsu selalu menangis tiap kali mereka datang. Tapi tak ada yang dapat kami perbuat selain terus menghiba sambil gemetaran. Tak jarang mereka membuat keributan di rumah kami sehingga kami terpaksa menjadi tontonan para tetangga. Kami benar-benar telah menjadi sasaran empuk bagi para penggemar gosip. Mereka saling berbisik-bisik dan memandang kami dengan sinis. Tiba-tiba kami menjadi orang yang sangat hina karena urusan ini telah menjadi rahasia umum di kalangan tetangga dan kawan-kawan baik keluarga kami. Rasanya benar-benar seperti habis jatuh  tertimpa tangga. Ibu mulai kerap mencucurkan air mata.

Hingga akhirnya, di suatu malam, ayah mengumpulkan kami semua, keluarganya, di ruang tengah. Ia membawa kabar yang mengejutkan kami. Dengan sikap yang sedikit kikuk, ayah mengatakan bahwa sudah tak ada lagi jalan keluar kecuali menjual satu-satunya aset kami, yakni rumah yang kami tinggali. Sepetak rumah yang sempit dan sudah tua milik kami satu-satunya. Dengan uang hasil penjualan rumah, ayah baru dapat melunasi hutang sekaligus memulai hidup baru. Ayah pun memberi kabar bahwa ia sedang mempertimbangkan tawaran salah seorang adik ayah untuk pindah ke Gulama, sebuah kota nun jauh disana, yang sebelumnya bahkan tak pernah  aku tahu. Konon, kota itu jauh lebih ramai dan lebih maju daripada kampung Sammoa. Dan yang terpenting, adik kandung ayah atau pamanku itu telah menyiapkan pekerjaan untuk ayah, yakni sebagai asistennya di sebuah perusahaan pengepakan makanan. Tentu saja pekerjaan ini jauh lebih bergengsi daripada sekedar sebagai buruh pemotong kayu. Kata paman, upah yang akan ayah terima pun jauh lebih baik. Ayah memberi gambaran bahwa kami akan memiliki kesempatan untuk berpenghidupan lebih baik. Disana banyak sekolah maju dan bagus. Pamanku sendiri termasuk orang yang cukup sukses setelah lima belas tahun merantau. Ia pun menyatakan diri sanggup membantu ayah di bulan-bulan awal kepindahan kami disana dengan menampung kami di rumahnya yang besar. Sepertinya ayah melihat ini sebagai kesempatan yang tidak akan bisa ia tolak.

Namun ibu sempat protes. Ia yang seorang wanita tentu merasa berat karena emosinya telah terlanjur terikat kuat dengan riak kehidupan kampung Sammoa. Jika memang hasil penjualan rumah itu masih terdapat sisa untuk kembali memulai hidup baru, mengapa tak mencoba bertahan saja? Katanya. Tapi ayah bersikeras. Ia telah terlanjur kehilangan muka di hadapan orang-orang. Tiada yang lebih baik selain pergi, menyudahi hidup di Sammoa. Namun di balik itu semua, aku menduga bahwa sesungguhnya ayah juga ingin menyudahi pekerjaannya di pabrik pemotongan kayu tersebut. Di Sammoa kesempatan pekerjaan begitu langka. Kalaupun ada, mereka hanya sanggup memberi upah yang rendahnya keterlaluan. Wajar jika ayah berpikir barangkali ia bisa mengadu nasib di tanah lain. Sepertinya ia benar-benar tak sabar untuk mencoba pekerjaan baru yang ditawarkan paman. Siapa tahu keberuntungannya ada disana. Ayah sudah terlanjur bosan dengan penderitaan yang melulu disuguhkan Sammoa untuknya.

Rentenir itu membantu menjualkan rumah kami. Ia memiliki begitu banyak kenalan sehingga membuat rumah terjual dengan cepat. Resikonya, harga yang kami terima teramat murah. Katanya, rumah kami terjual murah karena surat-surat yang tak lengkap. Apa mau dikata, kami terpaksa menerima. Kami hanyalah orang-orang tak berdaya yang selalu menjadi sasaran mereka yang gemar menindas. Dua minggu lagi, kami harus hengkang dari rumah yang telah membesarkan dan menghidupkan kami puluhan tahun.

Dengan tergesa aku memberimu kabar sedih ini. Bagiku, ini lebih dari sekedar kabar sedih. Adalah sebuah kenyataan pahit yang harus kutelan bulat-bulat bahwa aku akan berpisah denganmu. Aku takkan bersamamu lagi, takkan melihatmu lagi. Adakah yang lebih menyedihkan dari sebuah perpisahan yang pahit? Kupikir, inilah saat cintaku telah benar-benar kandas. Sebelum memiliki kekuatan untuk menyampaikan perihal kabar buruk ini, aku telah menguras air mataku habis-habisan. Toh tetap tak mengubah keadaan. Kami tetap akan pindah. Kau mendengarkan kabar yang kusampaikan dengan muka muram. “Tidakkah ayahmu mau menunda setidaknya sampai kenaikan kelas lima bulan lagi? Sebentar lagi kita kelas sembilan, Ramu! Bagaimana dengan sekolahmu?” Kau mencoba berargumen, seolah-olah hanya kau seorang yang memikirkannya. Aku tahu kau pun menyimpan kepedihan. Delapan tahun kita bersama-sama, merajut masa kecil yang indah, bagaimana bisa tiba-tiba berpisah begitu saja? Kita mencoba untuk pura-pura tidak mengerti, tapi kita bisa menolak bahwa itulah yang terjadi. Apa yang bisa kita lakukan?

Dua hari kau tak mau menemuiku. Kesedihanku makin menjadi-jadi. Saat itu, ingin rasanya kukatakan pada ayah bahwa aku tak ingin ikut pindah ke Gulama. Aku tak peduli dengan kehidupan sebaik apapun yang ada disana. Yang kubutuhkan hanya berdekatan dengan Kisha. Tapi aku tak mungkin benar-benar mengatakannya, dan kalaupun aku punya keberanian mengatakannya, ayah pasti takkan mengijinkanku. Sempat aku jadi membenci ayah, membenci keadaan keluargaku yang miskin dan lemah, juga membenci Tuhan. Bukankah ayah sudah bersujud setiap malam dan menghabiskan air matanya? Aku pun telah sekuat tenaga menyambung doa. Namun lihat! Nyatanya kami telah kehilangan rumah. Ayah kehilangan pekerjaan. Ibu kehilangan tetangga. Adik-adikku kehilangan teman sepermainan. Aku kehilangan perempuan yang kucintai! Apakah Tuhan tidak mau mendengar doa kami? Apa Tuhan lupa dengan permohonan kami? Apakah Tuhan pilih kasih? Bukankah katanya Dia selalu mengabulkan doa hamba-Nya? Tiba-tiba saja, aku menjadi sosok yang dikuasai kebencian besar terhadap segala hal. Bahkan aku pun membencimu karena telah bertemu, bermain, menghabiskan waktu, sekaligus menghabisi hatiku.

Sementara kau berdiam dengan kesedihanmu, aku kerap berjalan-jalan sendiri ke pantai, ke bukit mahligai, ke tempat manapun aku suka. Kunikmati sisa-sisa waktuku di Sammoa dengan kesendirian. Pilu rasanya. Seperti inikah rasanya sendiri tanpa kamu? Apakah aku bisa melalui hari-hari ke depan tanpa kamu? Apakah aku dapat membiasakan bermain tanpa kamu? Aku mulai mencoba untuk mengimajinasikan masa depanku yang dalam kesendirian. Yang kulihat disana hanyalah sosok kecilku yang menderita.

Baru beberapa hari kemudian kau mendatangiku. Seperti biasa, kita menghabiskan waktu senggang berdua dengan membaca, banyak mengobrol, atau sekedar berjalan-jalan ke pantai. Aku tak lagi melihat kemurungan di raut wajahmu, seperti yang pernah kulihat sebelumnya. Kau masih menyisakan tawa dan senyum di saat-saat terakhir sebagai bekalku nanti ketika berada dalam kesendirian. Kita benar-benar menikmati hari-hari terakhir itu dengan perasaan yang menyenangkan. Seolah-olah kau melupakan hal kepergianku yang sebentar lagi. Aku pun tak berani menyinggungnya di hadapanmu.

Akhirnya waktu keberangkatan tiba. Ayah menyewa sebuah mobil pikap untuk mengangkut barang-barang kami. Demi menyewa mobil, ia telah mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Padahal yang kami bawa sudah seperlunya. Ibu telah menjual banyak barang demi menambah biaya kepindahan sekaligus memperingan beban bawaaan. Kami telah pula berpamitan dengan para tetangga kiri kanan, para kenalan, handai taulan, termasuk juga dengan keluargamu. Beberapa berbasa-basi mendoakan kami sukses di perantauan. Namun tak sedikit pula yang menampakkan rasa keprihatinan. Padahal kami benci dikasihani.
Kau datang membawa bingkisan kecil terbungkus kertas kado warna biru. Bergegas kau menghampiriku dan memberikan bingkisan istimewa itu. “ini buat kamu, kenang-kenangan dariku. Jangan lupakan aku, ya. Suatu saat nanti kita pasti bertemu. Kalau kau libur, mainlah kesini.” katamu dengan bibir bergetar. Rasanya ingin sekali memelukmu, tapi tidak kulakukan. Aku hanya menatap wajah polosmu, mata beningmu, mencoba menyelami hatimu, dan menerima bingkisan berkertas biru itu. “Dibuka nanti saja,” katamu lagi. Aku hanya tersenyum,kemudian kita bersalaman. Salam perpisahan itu, meski begitu lembut kita lakukan, tetap terasa menyakitkan.

Ayah dan kakak keduaku telah berangkat lebih dulu bersama mobil pikap. Sedangkan aku, ibu, dan saudara-saudaraku lainnya menempuh perjalanan dengan kendaraan umum, dengan bis yang kemudian berganti kapal laut. Kami telah bersiap untuk perjalanan panjang yang melelahkan. Paman Rosihan, tetangga kami yang memiliki mobil, berbaik hati mengantar kami ke terminal. Ia telah siap menunggu kami masuk ke dalam mobil, sedang ibu masih saling berpamit-pamitan, saling berpelukan dengan orang-orang yang mengantar kepergian kami. Ibu tak bisa menahan emosi. Ia tak henti-henti mengusap wajahnya yang berleleran air mata.

Aku cepat-cepat masuk ke dalam mobil. Rasanya aku sudah tak sanggup lagi berlama-lama memandangmu. Aku takut tak sanggup bertumpu pada kakiku sendiri dikarenakan beratnya beban kepedihan yang kurasakan. Kepalaku seperti mendengar suara-suara gaib darimu, “Ramu, jangan pergi! Jangan pergi! Jangan pergi, anak bodoh!” Tapi kau sedang berdiri bersama ibumu diantara orang-orang yang mengantar kepergian kami. Sempat kulihat titik-titik air bening mengaliri pipimu. Hidungmu yang memerah benar-benar tak bisa membohongi bahwa kau pun menelan duka yang mendalam. Apakah kau merasa kehilanganku? Apakah kau akan merindukanku? Apakah kau nantinya akan menyadari cintaku? Dengan susah payah aku menyeret kenangan-kenangan kita demi ketenanganku. Suara mobil butut Paman Rosihan yang begitu berisik menyamarkan keheningan hati yang sesungguhnya kurasakan. Kulihat kau bersama orang-orang yang lain melambaikan tangan. Air matamu semakin deras, aku semakin menjauh. Jauh sekali.

Hingga beberapa jam perjalanan, hanya aku yang begitu sepi. Kucoba untuk memejamkan mata, tapi justru bayangamu bermain-main di pelupuk mata. Tiba-tiba aku merasa sangat lelah. Batinku yang lelah. Ibu sempat heran mengapa aku sedari tadi menyimpan suara. Tapi lambat laun ia paham dengan apa yang kurasakan. “Kau akan menemukan banyak teman baru disana, Ramu.” kata ibu menenangkan. Tapi ibu tak pernah mengerti seberapa besar aku kehilangan.

Dear Kisha,

Begitulah rasanya kehilangan yang menyesakkan. Kupikir barangkali ini adalah mimpi buruk terakhir. Kucoba-coba untuk bersikap seperti ayah, ibu, dan saudara-saudaraku yang lain, menggenggam keyakinan bahwa hari esok pasti akan lebih baik. Mimpi buruk itu tidak akan pernah terjadi lagi. Namun kenyataannya tidak demikian, Kisha. Hidupku ke depan masih teramat panjang, dan kurasakan tiba-tiba aku duduk di salah satu kursi roller coaster kehidupan yang siap meluncur deras. Ternyata apa yang kurasakan saat perpisahan itu hanyalah permulaan.

Kurasa aku harus mengakhiri dulu suratku ini. Aku takut kamu menjadi semakin bosan. Setelah ini, aku akan bercerita padamu bahwa kehidupanku, ternyata pun tak jauh berbeda dengan kehidupanmu, kehidupan orang-orang lain di muka bumi ini. Tidak ada yang mudah. Bukankah saat menginjak dewasa kita kemudian sering mengatakan demikian? Hidup ini memang tidak mudah, Kisha…

Tapi aku berharap semoga kebahagiaan dan ketentraman hidup senantiasa meliputimu setelah ini. Kau punya dua matahari yang menjadi penguatmu. Aku tahu kau akan kuat. Kau pasti akan bahagia. Kadang aku bermimpi dapat mengenal anak-anakmu. Mereka pasti sangat cantik seperti kamu. Aku ingin sekali dapat membelai mereka, kemudian berbisik di telinga mereka bahwa seseorang yang tak dikenal ini pun menyimpan sisa cinta untuk mereka. Semoga kamu tak keberatan, Kisha…

Sampaikan salam peluk hangatku untuk kedua buah hatimu. Beranjaklah untuk berdoa, untaikanlah permohonan-permohonan baik yang sekiranya menenangkan hatimu. Meski dulu aku sempat memandang-Nya sinis, tapi sesungguhnya ia jauh lebih baik dari apa yang kita perkirakan, Kisha… Semoga kebaikan selalu bersemayam di hatimu.


Yang mencintaimu,

A Ramu

@bintangberkisah

No comments:

Post a Comment