22 January 2012

tomat, ketimun, dan puisi cinta sederhana

Dear Kukila,

Kemarin saya baca di status Facebook kamu, anak bungsumu yang—kamu bilang—senyumnya selalu mengingatkan kamu pada senyum saya itu sakit. Berapa hari tepatnya usia dia sekarang? Semoga dia lekas pulih dan kakaknya yang lincah itu punya teman bermain lagi.

Tadi siang saya makan di warung tempat kita dulu sering makan. Pelayan yang senang menggoda kita tidak bekerja di sana lagi. Kata temannya, sebulan sebelum menikah, dia berhenti bekerja. Kamu masih ingat namanya? Saya mengabadikan namanya di salah satu cerita pendek saya, seperti saran kamu. Dia tokoh utama dalam cerita pendek saya yang dimuat sebuah majalah wanita dua bulan lalu.

Sebagaimana kenangan, warung itu tidak banyak berubah, Kukila. Lukisan air terjun di dinding sebelah kiri, di mana kita sering duduk menyantap makan malam, masih ada. Poster besar Nike Ardilla, penyanyi favorit pemilik warung itu, juga masih ada di posisinya yang dulu. Menunya masih sama. Tidak ada makanan baru dijual di sana. Pelayannya masih tersenyum ketika meletakkan piring berisi nasi campur dengan sepasang irisan ketimun dan tomat di tepinya.

Karena irisan tomat dan ketimun itulah saya tiba-tiba terpikir menulis surat ini. Kamu pasti masih ingat kebiasaan kita dulu. Sesaat seusai mengucapkan terima kasih kepada pelayan, kamu dengan cepat memindahkan irisan tomat dari piring kamu ke piring saya. Tentu saja, saya akan membayarnya dengan memindahkan irisan ketimun saya ke piring kamu. Tadi siang, saya makan sendiri. Saya menggigit irisan ketimun sambil mengingat cara kamu menggigitnya.

Apakah suami kamu juga suka tomat, Kukila? Betapa beruntung siapapun dia yang pernah mencicipi betapa enak jus tomat bikinan kamu. Ada 135 gelas jus tomat yang pernah kamu bikin buat saya selama 6 tahun 7 bulan 5 hari kita pacaran. Saya ingat persis jumlahnya. Saya menulis di catatan harian setiap usai meminum jus tomat bikinan kamu. Jus tomat terakhir, kamu bikin seminggu sebelum cincin laki-laki pilihan ayahmu itu melingkar di jari manismu. Saya belum pernah mengatakannya: itulah jus tomat paling enak yang pernah saya minum!

Oh, iya, di warung kesukaan kita itu, Kukila, kita pernah bertemu nyaris seratus orang bisu. Kamu masih ingat? Mereka melakukan penggalangan dana. Malam itu, warung itu betapa senyap. Cuma kita dan para pelayan yang menggunakan kata-kata. Pengunjung lain bicara menggunakan jari dan mata mereka. Kamu berbisik kepada saya, “alangkah puitis peristiwa ini.”

Saya mau memberitahu kamu bahwa peristiwa yang kamu sebut puitis itulah yang membuat saya menulis sebuah puisi tepat di malam pernikahan kamu. Saya menulis puisi itu di Biblioholic, kafe baca yang kita bikin berdua, tempat yang selalu kamu sebut anak kita. Puisi sederhana itu memenangkan lomba menulis puisi cinta. Puisi itu mengalahkan lebih 6.000 judul puisi cinta lain dari berbagai penyair Indonesia. Separuh hadiahnya, tanpa pernah kamu tahu sebelumnya, saya gunakan membeli novel-novel kesukaan kamu dan menyimpannya di Biblioholic. Separuhnya lagi saya kirim kepada Mama yang selalu menanyakan kabar kamu.

Saya ingin sekali, suatu kali, bisa membacakan puisi itu di hadapan kamu. Saya ingat kebiasaan kamu meminta saya membacakan puisi sebelum tidur. Saya ingat ketika saya ingin sekali dipeluk dan dicium, saya memaksa kamu mendengar saya membaca puisi. Kamu selalu memberi saya hadiah pelukan dan kecupan seusai membaca puisi, seburuk apapun puisi itu.

Saya ingin menuliskan puisi cinta sederhana tentang orang bisu itu di surat ini. Jika kamu mau, saya mau kamu membacakan puisi ini kepada anak bungsu kamu yang sedang sakit. Kakak dan ayahnya boleh mendengarnya, jika mereka mau. Tentu saja, itu akan lebih baik lagi.

Sajak Buat Istri yang Buta
dari Suaminya yang Tuli

Maksud sajak ini sungguh sederhana.

Hanya ingin memberitahumu bahwa baju
yang kita kenakan saat duduk di pelaminan
warnanya hijau daun pisang muda, tetapi
yang membungkus kue-kue pengantin
adalah daun pisang tua. Memang keduanya
hijau, tetapi hijau yang berbeda, Sayang.

Di kepalamu ada bando berhias bunga,
kau merasakannya tetapi mungkin tidak
tahu bunga-bunga itu adalah melati putih.
Sementara di kepalaku bertengger sepasang
burung merpati, juga berwarna putih.

Aku selalu membayangkan, hari itu, kita
seperti sepasang pohon di musim semi.
Kau pohon penuh kembang. Aku pohon
yang ditempati burung merpati bersarang.

Aku lihat, orang-orang datang dan tersenyum.
Mereka berbincang sambil menyantap makanan.
Tapi aku tak dengar apa yang mereka bincangkan.
Maukah kau mengatakannya padaku, Sayang?

Terima kasih mau membaca surat ini—dan puisi sederhana itu.

Peluk rindu,

Aan—yang selalu kamu sebut pohon.



oleh @hurufkecil

diambil dari http://hurufkecil.wordpress.com/

1 comment: