20 January 2012

Kau Mengada Disana

Apakah otak yang minus perangkat memori adalah syarat diri untuk bahagia? Dan apakah itu bahagia?

Pengetahuanku tentang masalalu bisa dibilang payah. Aku tak begitu pandai mengingat detil kejadian yang telah lewat. Mungkin semacam short term memory loss syndrome yang akut. Jika kau coba menceritakan peristiwa beberapa tahun silam niscaya aku hanya sanggup mengiyakan. Pun semisal itu hanya skenario usil ciptaanmu belaka.
Analisator comotan, seorang teman, mencoba menjelaskan keadaan ini. Dia bilang tubuhku membentuk semacam resistensi tertentu sehingga aku gagal mengakses data tentang kejadian masalalu. Hal ini dimungkinkan karena aku mengalami trauma buruk di waktu lalu. Tentu saja aku hanya menertawakannya. Maksudku, aku baik-baik saja, hidupku lurus-lurus saja. Tapi tunggu dulu, apakah seorang anak yang tumbuh beserta pengalaman menyaksikan ibunya sendiri dianiaya fisik secara brutal oleh ayahnya itu sesuatu yang biasa saja? Aku mengiyakan, dulu, sebagai seorang anak kecil dengan pemikiran sederhana bahwa dalam hidup berumah tangga tentu kadang pertengkaran antara keduanya tak terhindarkan. Saat itu aku tidak paham sampai dimana batas kewajaran tentang pertengkaran orang tuaku itu dapat diterima oleh akal sehat, oleh hati nurani, oleh kemanusiaan.
Tapi sungguh aku tidak berupaya meniadakan ingatan tentang apa-apa yang telah aku alami. Aku ‘merasa’ baik-baik saja, aku ‘merasa’ apa yang aku alami juga banyak dialami oleh anak lain, aku ‘merasa’ itu wajar-wajar saja. Sampai di satu titik aku menyadari aku telah kehilangan kenangan masa kecilku. Yang tersisa hanya fragmen-fragmen peristiwa yang tidak berkesinambungan satu sama lain. Tapi tetap saja, aku juga tidak terlalu menyesal dengan kehilanganku yang satu ini. Aku menganggap itu bukan suatu bentuk kehilangan, malah sebaliknya, aku semacam mendapat berkah. Maksudku, untuk apa menyesali kehilangan hal buruk?
Namun di kehilangan masa kecilku itu, ada satu sosok yang selalu mengada disana, tidak begitu jelas nyata, hanya samar-samar saja. Ibuku. Beliau selalu hadir disetiap kenangan masa kecilku yang tak lengkap itu. Tapi beliau hanya diam saja, tanpa gerak, tanpa kata. Aku tak mengerti dengan keputusan diamnya tersebut. Namun kemudian aku menyadari ada pertimbangan-pertimbangan lain yang nalarku tak sanggup mencernanya kenapa dia bisa seperti itu. Tapi bila ada peralihan peran, semisal aku di posisi ibuku, tetap saja pertimbangan apapun yang dipakai ibuku tidak akan pernah aku ambil sebagai pijakan eksekusi. Aku akan tetap melawan meskipun hancur babak belur dan kematian sebagai taruhannya.
Tapi begitulah pilihan ibuku. Saat ini aku tidak berhak lagi untuk mencoba memahami keputusan diam ibuku yang dipeliharanya sampai puluhan tahun, karena pasti aku tidak sanggup memahaminya. Aku cukup menerima segala keputusan ibuku sebagai bagian dari dirinya. Kami berdua sepakat berdamai dengan perjanjian ini sehingga kami bisa melanjutkan hidup bersama. Kalau aku ditanya, apa bentuk kehilangan yang paling aku takutkan, aku dengan yakin bisa menjawab: aku takut kehilangan anakku, aku takut kehilangan ibuku, aku takut kehilangan orang-orang terdekat yang saat ini aku sayangi.
Aku menyayangi ibuku, aku pun yakin ibuku juga menyayangiku meskipun ekspresi rasa sayangnya kadang aneh dan sulit kumengerti.

oleh:
diambil dari: http://thoughtheworldshouldknow.wordpress.com

No comments:

Post a Comment