15 January 2012

Dear, You (the one I desperately want to tell that I loved)


Dear, You (the one I desperately want to tell that I loved)
Hai..
Rasanya aneh bicara padamu lewat tulisan.. bukan hanya karena ini kali pertama aku menulis surat.. personal, tapi juga karena.. it’s you I was writing for.
It’s been a while, huh?
Kapan terakhir kita bicara? Atau sekedar saling sapa saat berpapasan di koridor kampus?
Apa kabar?
No?
Oke, mari kita mulai lagi.



Aneh.
Aneh rasanya saat aku mati-matian menyuruh otakku untuk merangkai kata yang akan ku tulis untukmu di surat ini justru membelot. Ia kini malah sibuk memutar kembali memori-memori itu.
Memori yang sesungguhnya ingin aku lupakan saja.
Dan kau tahu apa yang lebih aneh?
Sejuta ‘kenapa’ dan ‘kenapa’ sibuk berkeliaran diantara memori-memori itu.
Dan yang paling aneh adalah, aku masih bisa merasakan perasaan itu.
Meskipun rasa sesak yang mengiringinya sudah jauh berkurang dibanding 3 tahun lalu.
Lebih dari 3 tahun lalu sebenarnya.
Waktu begitu cepat berlalu ya?
Dan baru sekarang aku memberanikan diri untuk menulis surat ini untukmu.
Mungkin surat ini memang terlambat, lebih dari 3 tahun terlambat, but somehow I got the feeling that.. it’s just the way it is.
Mungkin memang sudah jalannya aku baru berani menulis surat ini, dan mengutarakan apa yang benar-benar aku rasakan saat itu.
Aku sakit..
Aku sakit hingga dadaku terasa sesak.
Aku pikir terserang penyakit asma itu menyakitkan, namun sakit yang kurasakan mungkin melebihi asma.
Aku menangis.
Aku menangis hingga berhari-hari. (Jangan keburu tak percaya, aku tak menangisimu secara terus menerus, hanya saja dalam beberapa hari mataku berubah seperti kran yang dilepas sumbatnya setiap kali wajahmu terlitas di benakku)
Aku menangis hingga mataku perih dan akhirnya aku memutuskan untuk memejamkannya hingga pagi menjelang.
Iya, jika kau bertanya apakah mataku membengkak pagi hari itu, kau tau apa jawabanku saat Bunda bertanya ada apa dengan mataku??
Aku jawab, “Semalam aku menonton film India..” dan Bunda percaya. Aku rasa bakat aktingku lumayan juga..
Aku hilang.
Aku seperti kehilangan pegangan.
Karena aku kehilangan mu.
Dan tak hanya kau, karibku pun menghilang.
Aku tau iapun sebenarnya tak tega padaku. Tapi toh pada akhirnya dia pergi juga.
Hariku terasa hampa.
Tak ada lagi “Sudah bangun?” tiap pagi di layar kecil telepon genggamku.
Tak ada lagi “Sudah makan?” yang selalu muncul paling tidak 3 kali dalam sehari di layar yang sama.
Tak ada lagi suara tawa unikmu yang selalu membuatku ikut tertawa meskipun aku tak tau apa yang kau tertawakan.
Dingin.
Kita berdua terdiam.
Saat itu aku marah, dan saat itu kau kecewa.
Aku marah karena dengan mudahnya kau mencari penggantiku, sementara kau kecewa karena kau.. kau.. kau menganggapku tak lebih dari seorang karib. Seorang kari yang seharusnya bahagia saat kau menemukan cinta¸ bukannya marah dan membangun pagar pembatas hingga kau tak bisa lagi meraihku.
Aku menghapus namamu dari telepon genggamku.. meskipun beberapa pesan singkat masih aku simpan.
Meskipun pada akhirnya aku mengganti nomorku, masih ada beberapa pesan singkat yang kau kirim tersimpan rapih.
Aku sengaja tidak berteman denganmu di beberapa jejaring sosial, meskipun aku masih saja mencari tau kabarmu lewat teman lain.
Aku sering mengambil jalan memutar saat aku tau kau berada di jalur yang akan ku lewati, itu kenapa kau hampir tak pernah melihatku di kampus.
…karena aku selalu melihat mu.
Tertawa disana dengan beberapa teman baru kita, lalu memutuskan untuk berbalik arah mencari jalan alternative. Saat itu aku sama sekali tak peduli meski kakiku terasa sakit karena berjalan terlalu jauh. Karena dengan sedikit pijatan, kaki-kaki pegalku bisa kembali nyaman.
Namun tidak dengan hatiku.

I loved you.
That was the exact reason why I did those.
I loved you to the point that I was so sure that you were my first love.
I loved you that it was hurt to see you smiling those smile for her.
I loved you that it excruciating to even befriended again with you.
I loved you that it was difficult for me to move on with my life.
I loved you that I developed a trust issues.
I loved you and I never regret that I was.
Because despite the tears shed, the anger bottled up, the ties broken, loving you brought me to him.
The one who stayed. Who offered his shoulders for me to cried on. The one who showed me that the world weren’t so spiteful just because you left.
Him, the one that I love.
Who thought me that..
I loved you.

Sincerely,
Meikaylea.

dikirim @ekyamelia dari http://ekyamelia.tumblr.com/post/15790746479/dear-you-the-one-i-desperately-want-to-tell-that-i

No comments:

Post a Comment