15 January 2012

Untuk Kamu Bidadari Berzodiak Leo

Hay…

Entah sudah berapa kali ribuan sapaan yang engkau terima, dan aku hanya menyapamu dengan hay saja. Maaf ya. Seharusnya, sejak pertama kali aku belajar berbicara, aku seharusnya belajar untuk berbicara denganmu, atau paling tidak menyapamu dengan benar.

Untuk kamu, entah takdir Tuhan apa lagi yang direncanakan olehNya. Semua berawal ketika ku ketik acak nama-mu dalam sebuah kotak pencarian di situs social media. Lucunya, karena iseng, kutemukan dirimu, dirimu yang lucu, raut wajah secerah awan pagi hari, dan senyum mempesona mengalahkan rona langit di sore hari.

Waktu terus berjalan, seiring dengan sang waktu, ternyata jarak yang ribuan kilo ini malah mendekatkan kita pada huruf-huruf yang selalu kita tulis bersama, bergantian. Entah, sejak mengenalmu, sudah berapa banyak luka yang kamu sembuhkan. Mungkin kamu tak mengetahui, bahwa setiap detik senyuman yang kamu pancarkan, menghangatkan kembali benih-benih cinta, yang telah rusak atau bahkan telah mati. Kamu adalah obat dimana setiap millimeter hati ini, ternoda oleh luka-luka yang teramat sangat perih. Hingga goresan itu, tercipta hingga jutaan tahun lagi lamanya.

Untuk kamu, kamu bidadari yang masuk kedalam tubuh wanita lucu dan berzodiak Leo, asal kamu tahu, kamu wanita pertama yang belum pernah aku lihat, namun sudah membuat sang rindu memporak-porandakan isi di dalam kepalaku. Oia, asal kamu tahu juga, tatapan matamu yang hangat, telah mencairkan rasa cinta yang membeku. Dulu, aku merasa hampa, dingin berselimut kesepian. Namun kini, setiap detik dalam hidupku, selalu menunggu dirimu, menanti keluh kesah-mu, saling membagi rasa empati, dan sebuah senyum kecil yang hangat, sehangat kopi di pagi hari.

Kita punya persamaan, kita sama-sama suka hujan. Namun sayang, hujan yang kita suka mempunyai arti yang berbeda untuk kita berdua. Kamu, kamu mencintai hujan, karena hujan membuat hatimu terasa nyaman, setiap nada gemerciknya seakan sebuah nada lagu dengan not-not indah yang saling berpadu yang kamu dengar di telingamu. Kamu itu pecinta hujan yang setia, memandang mereka dengan bola mata bulatmu hingga langit terkuras habis tak berdaya. Sedang aku, aku menyukai mereka, hanya untuk menemaniku, menemani rasa kesedihanku. Aku ingin menyatu dalam hujan, karena setiap butir-butir air mataku yang aku keluarkan, akan mengalir bersama aliran hujan yang membelai wajahku. Air mata kesedihan dari mataku itu akan bersatu dengan jutaan butir air hujan lainnya, maka air mata kesedihanku itu tidak pernah menjadi diriku yang selalu kesepian. Hujan bagiku, adalah okestra terindah yang unik, dengan lantunan melodi kenangan, yang seakan menggiringku pada sebuah cerita yang cukup membuat pahit lidahku, kelu dan mati rasa.

Wahai bidadari bertubuh wanita berzodiak Leo. Kamu adalah pisau belati untuk-ku. Aku tahu walau Aku berlari-lari mengejarmu, menanti dirimu yang bahkan dalam hitungan ribuan tahun, hatimu tak akan bisa aku miliki, karena hatimu telah tertangkap oleh senyuman yang lain. Senyum, yang membuat hatimu berjangkar, serta berlabuh di dalamnya. Senyum yang telah membuat dirimu di hujani oleh jutaan sang rindu. Senyum, yang di setiap detik bersamanya adalah sebuah kebahagian termahal.

Aku ingin bercerita, namun malam terlalu larut untuk ku bekukan dengan perasaan cintaku, yang dingin kembali. Aku lelah, aku menyerah. Tubuhku berkata kepada hatiku, sudah hentikan. Hentikan pengembaraan jiwamu. Cukuplah hanya menyayanginya saja. Cukuplah hanya menjadi hujan untuknya, yang membuatnya merasa nyaman, merasa bahagia, dan merasa di cintai. Cukuplah bagimu, sebagai selimut ketika angin dingin kegalauan menerpanya, atau menjadi payung ketika hujan kesedihan melandanya. Bukankah cita-citamu hanya satu? Menjadi seseorang yang berguna.

Maafkan aku yang telah diam-diam menyukaimu, maafkan aku yang bermain-main dengan ke-munafikan hingga menciptakan rasa sayang kepadamu. Maafkan aku telah menulis surat ini, yang membuatmu sakit, bila kamu tahu bahwa, aku membutuhkanmu lebih dari oksigen untuk aku bernapas, dan hidup.


Oleh: @JimmyKokong

No comments:

Post a Comment