15 January 2012

Untukmu Ibu, Malaikatku

to @SKomariyah


Mungkin ibu takkan pernah membaca surat ini, meski engkau punya akun twitter. Namun, akun twitter-mu yang kau minta aku untuk buatkan hanya sebatas engkau gunakan untuk membaca informasi dari akun-akun portal berita. Engkau tak memintaku mengajari ‘berkicau’ di dunia maya, tak pernah memintaku mem-follow akunmu layaknya ABG jaman sekarang yang sering berkicau, “fooolbeeekk yaaa..”.

Itulah dirimu Ibu, kau lulus dari jurusan Sastra Indonesia, kau haus akan membaca, kau haus akan permainan-permainan aksara, kau cinta pada kata. Dan itu menular ke kedua anakmu, meski tak ada usahamu untuk menularkannya pada aku dan adik perempuanku.

Aku tumbuh dengan membaca novel-novel karya penulis hebat di negeri ini, mulai “Burung-Burung Manyar” nya Romo Mangun, sampai “Di Bawah Lindungan Ka’bah”-nya Buya Hamka, masa luang remajaku sering kuisi dengan menyantap majalah sastra “Horison” yang kau bawa pulang dari sekolah tempatmu mengajar. Lalu, aku mulai menulis sendiri, diam-diam, tanpa kau pernah ketahui.

Masa itu begitu menyenangkan, bu. Aku seakan hidup di dunia yang penuh dengan keindahan, penuh kasih sayang, meskipun waktu itu ekonomi keluarga kita tak bisa dibilang cukup mapan. Namun, waktu itu aku selalu merindukan hangatnya rumah dengan suasana dan aroma tiap ruangnya yang menyamankan.

Sampai pada masa dimana keluarga kita mulai goyah oleh suatu cobaan, cobaan yang datang bertubi-tubi dan berantai tak ada habisnya. Dan kesehatanmu mulai menurun, drastis. Kau terpaksa berhenti mengajar, terpaksa tinggal di rumah sebagai seorang ibu rumah tangga. Pada saat itulah aku mulai kehilangan mainanku, buku dan majalah sastra yang kau bawa.Dan mulai dari situlah aku berubah.

Aku mulai kehilangan selera pada sastra, kutertawai sendiri puisi-puisi dan cerpenku. Aku mulai terpikat pada kesenangan dunia yang melenakan. Semua perubahanku awalnya tak kau ketahui dengan pasti, kau hanya bisa menebak-nebak dan menduga, tak bisa membuktikan tebakan dan dugaanmu meski semuanya benar terjadi. Aku terlalu pintar untukmu waktu itu, berkelit dari setiap tuduhanmu.

Sampai akhirnya, datang suatu masa dimana aku tak bisa lari lagi dari tuduhanmu, dengan mata kepalamu sendiri kau temukan bukti-bukti kebejatanku. Aku tak bisa lagi berbohong darimu, Ibu. Di kamar kosku, aku ungkapkan semua rahasia yang tak seorangpun ketahui waktu itu. Aku pasrah, lemas tak berdaya, menunggu vonis terkejam darimu.

Tapi yang terjadi sungguh diluar nalar dan logikaku sebagai anak muda, kau meraih kepalaku, memelukku dengan erat, menciumiku yang tengah menangis penuh rasa bersalah. Kau meminta maaf padaku, memintaku pulang kembali ke rumah untuk sementara waktu.

Aku menemukan cinta kembali waktu itu, Ibu. Cinta seorang ibu yang tanpa syarat dan tanpa pamrih mengharap balas. Cinta yang aku rindukan bertahun-tahun lamanya.

Kau sembuhkan luka-luka hatiku dengan sempurna, menyalakan kembali semangat hidupku, membuatku merasa menjadi orang yang berguna sampai hari ini. Kau membuatku terperanjat kala memintaku menulis lagi, menulis apapun yang ingin aku tulis. Kau berkata bahwa kau bangga punya anak yang cinta pada sastra seperti ibunya. Setahuku kau tak pernah membaca tulisanku, jangankan membaca, tahu aku menulispun sepertinya tidak. Namun, diam-diam ternyata kau simpan setiap tulisan-tulisanku yang pernah aku lupakan. Kau berkata bahwa kau kagum dengan puisi-puisi dan tulisanku waktu aku masih remaja. Kau ingin agar aku menulis lagi, menulis segala rasa sakit yang pernah aku rasakan, kau bilang bahwa tulisanmu yang akan jadi obat tentang rasa sakitku itu. Dan, ternyata nasehatmu manjur, Ibu. Luar biasa, aku merasa kembali dalam dunia yang aku rindukan selama ini, dunia yang aku rasakan ketika masa remaja. Namun kali ini, dunia itu aku ciptakan sendiri, dengan bimbinganmu yang penuh dengan kesabaran. Dari situlah, kau menumbuhkan semangat baru lagi pada diriku, kau membuatku merasa terlahir kembali. Kau menyiapkan aku untuk kembali bertarung menghadapi dunia lagi.

Aku tahu apapun yang aku lakukan untukmu takkan bisa membalas segala rasa cintamu selama ini, aku tahu bahwa cintamu padaku sepanjang masa. Namun di surat cinta terbuka ini aku ingin dunia tahu bahwa aku mencintaimu ibu, mencintaimu sebagai seorang anak yang ingin berbakti sepenuhnya padamu, sebagai anak yang selalu ingin membahagiakanmu, dan sebagai manusia yang ingin membalas budi atas semua kasih yang kau berikan padaku setulus hati.

Aku cinta padamu, Ibu.

Anak lelakimu.




Mother can we start over?
I wanna be the boy I was back then
Before the world came, made me colder
I wanna feel the way I did back then
With love in my heart.”

(Good Charlotte – Beautiful Place)




No comments:

Post a Comment