15 January 2012

Tak Sentuh, Maka Tak Kenal


Saya masih pendatang baru di dunia smart phone, BlackBerry. Walau sudah hampir enam bulan hidup bersamanya. Masih banyak hal dari benda tersebut yang belum saya sentuh atau mengerti. Kadang benda itu membuat saya kagum akan kehebatan otak manusia dalam merancang segala isinya. Namun, tidak jarang juga saya mengutuk lamban hingga error benda tersebut. Tidak bisa menyalahkan benda itu juga, karena bagaimanapun kami berdampingan dan pastilah saya terlalu mengeksploitasinya. Terutama pada saat galau, patah hati, atau sejenisnya. Seperti sekarang.

Kamu, El, membuat saya tidak mau lepas dengan benda ini. Benda yang salah satu fiturnya membuat saya mengenal kamu, membuat semakin tertarik dengan kamu. Karena benda inilah kita terhubung setelah pertemuan sekaligus perbincangan pertama dalam satu forum seminar dan lokakarya. Semua ada dalam benda ini ketika kita membicarakan kucing, rumah, orangtua, kuliah, musik kesukaan, bertukar peduli, dan mengenalkan aktivitas sehari-hari hingga analisis saya tentang kamu. Walau hanya satu kali perjumpaan dengan pembicaraan yang tidak intens, kamu katakana hasil analisis saya nyaris sempurna. Semua yang saya katakan melalui benda ini adalah tepat.
Benda yang hampir dua minggu ini selalu menghubungkan saya denganmu, sekaligus benda laknat yang tak lagi memberi kabarmu. Kamu menghilang. Sudah lebih dari dua puluh empat jam, dan tetap saja terasa aneh. Tapi saya yakin benda itu sudah bekerja sesuai fungsinya secara maksimal bersama sang fitur. Pesan-pesan saya ke kamu semua delivered, tapi tidak di-read. Entah sengaja atau apa? Selalu di-end chat, mungkin.
Mungkin kutukan jika saya terlalu sensitif dan teliti. Hampir dua minggu kita berkomunikasi di hari-harimu sibuk, dan kamu selalu bisa serta meluangkan beberapa menit pada jari-jarimu membalas pesan saya. Di dua puluh empat jam yang lalu, seharusnya kita bertemu di jadwal yang sama: interview volunteer. Tapi mendadak kondisimu semakin drop setelah menggilas project gelang dari pagi ketemu pagi lagi. Kabar terakhir saat itu adalah kamu ke dokter dan sepertinya tidak bisa ikut  interview, karena harus istirahat total. Setelah semua pesan saya hanya di-read, kamu mulai tidak menginggalkan jejak. Benar-benar kabar terakhir saat saya menuju lokasi interview sendirian. Katamu, kamu tetap lakukan interview diantar ibu temanmu dan bla-bla-bla. Penjelasanmu sulit diterima logika saya. Pikiran liar saya menyimpulkan, “Bilang saja nggak mau dan nggak bisa bareng atau ketemu.” Jujur akan membuat segalanya lebih nyaman. Tidak seperti sekarang. Keterbukaan pun seharusnya menyeluruh, bukan hanya di beberapa bagian. Agar tidak ada yang terlewat dan membuat onani batin. Kamu rela karena saya dibuat bersetubuh dengan pikiran sendiri? Dipaksa menyusun berbagai praduga yang tidak menyenangkan. Praduga yang berusaha saya tolak, namun rasanya terjadi saat ini. Ditinggalkan.
Menyebalkan memang ketika ekspektasi tidak sesuai dengan kenyataan. Sementara saya banyak membayangkan kita bertemu kembali dan saling membahas hal yang katamu lebih baik dinyatakan secara langsung. Memprediksikan menjadi hobi saya, sepertinya. Bukan sembarang prediksi, tapi kajian sosial saya cukup matang ditunjang keilmuan yang dipelajari. Karena itu, saya berani prediksikan seperti apa Ibu, yang asli pecinta Bali sejati, berbincang dengan kamu yang pernah empat tahun di Bali. Juga memprediksikan kamu bertemu sepuluh kucing di rumah saya. Bertemu kamu kembali dan menemani kamu bermain bersama Caesar di Dufan juga masuk dalam list bayangan saya. Ya, semua sudah kita bicarakan melalui benda yang sama-sama kita miliki. Sayangnya tidak dilakukan. Saya mau bergerak sejalur, namun kamu memutuskan keluar jalur.
Mungkinkah sejak awal yang terpenting adalah list costumer yang memesan gelang atau kaos hasil karyamu? Bukan list harapan saya. Harapan kita(?). Saya jadi iri pada Katy Perry yang dibuatkan produk konser khusus dari hasil putar otakmu.
Ah, apapun…
Saya senang berkenalan dengan kamu di awal tahun ini. Melalui benda yang sama-sama kita miliki memang tersimpan imaji rasa yang sama. Kita mungkin hanya kembali ke fase anak ABG berumur 12-15 tahun. Dimana rasa mampu dan mudah dimunculkan hanya dengan komunikasi intens. Tulisan memiliki kekuatan yang mampu membawa suasana hingga senyam-senyum sendiri. Saya tidak munafik dan tidak menampik kenyataan. Ya, fase anak ABG itu terjadi di beberapa hari terakhir, saat pembicaraan kita nyaris serius.
Saya tidak menyesal mengenal sosok aktif dan kreatif seperti kamu. Membuat saya tidak merasa aneh karena berkecenderungan mencipta. Baik mencipta pembicaraan hingga mencipta komik foto bersama Kemi, kucing yang selalu saya ceritakan ke kamu. Saya senang bisa bicara banyak dengan kamu melalui benda itu, karena komunikasi kita tidak sekedar sampah postmodern. Tidak bohong jika saya sering menengok benda itu di samping persis saat menulis. Saya juga kirim banyak ‘PING!!!’ untuk kamu. Apakah banyaknya ‘PING!!!’ itu sudah mampu wakilkan harapan yang berkeping-keping?
Saya tidak menyesal menanam percaya hingga memupuk harapan terhadap kamu. Di sanalah saya pernah tidak sepelekan arti sebuah ‘PING!!!’, di sana juga saya belajar untuk berani end chat hingga pertama kalinya menekan tombol alt, shiftkanan, dan del. Lucunya di balik ingatan saya yang sering kali payah, mengenalmu juga menyenangkan karena ingat kembali bahwa Maliq ‘n d’Essential memiliki lagu ‘Beri Cinta Waktu’ di album Free Your Mind. Lagu kesukaanmu yang sedang senang saya dengar kembali. “Setiapku memanggil namamu, tiada lagi hadirmu untukku…”
Gravitasi memang tidak bertanggungjawab pada orang yang jatuh cinta, kata seseorang.
Perkembangan zaman memang gila-gilaan, terutama soal gadget canggih yang mampu hubungkan komunikasi menjadi sedemikian rupa. Tidak saling sentuh, tapi seperti menyentuh. Tidak saling kenal, namun dalam hitungan detik mampu mengenal. Para penciptanya tidak salah dalam mengembangkan kecerdasan otak. Hanya saja penggunanya yang kadang tidak berotak. Melewatkan satu esensi terpenting dalam suatu relasi, yakni pertemuan. Seperti halnya saya dalam duniasmart phone yang masih belum terlalu mengenal dan menguasai, begitu juga saya terhadap duniamu. Mungkin banyak yang belum kita perkenalkan secara mendalam, walau masing-masing merasa sudah cukup. Perjumpaan sekali juga bukan jaminan sudah mampu menyentuh satu sama lain. Di lain kesempatan yang mungkin berbeda kehidupan, kita hanya butuh saling sentuh dan bertemu agar kenal mendalam. Agar tidak ada lagi perasaan pedih dan was-was atas ketidakjujuran.
Jika ada pertemuan kita selanjutnya di beberapa event yang kebetulan sama, moga tidak mengusikmu. Begitu pula dengan saya. Karena kita tau bahwa masing-masing adalah mafia ke-volunteer-an. Hahaha.
Semoga toleransi tubuhmu semakin berjalan baik. Memanusiakan kondisimu lahir batin. Salam untuk paru-parumu, spertinya cukup tegar untuk dihantam asap rokok sejak pagi bertemu pagi. Cuaca juga sedang puber, maka bermain air saat mandi saja. Bukan saat hujan. Salam untuk tiga belas kucingmu. Dengar mereka yang pasti sering mengingatkan kamu untuk jaga kesehatan. Radang tenggorokanmu akan jauh lebih cepat pulih ketimbang… aku. Dengar bisikku kumerindumu… J

Mbak dan Mas pengantar surat, surat ini sudah selesai untuk @lukman1989. Begitu pula dengan end chat.


Oleh --@nisitayas untuk @lukman1989

No comments:

Post a Comment