16 January 2012

Aku Telah Berjanji untuk Menyayangimu

Dear Kisha,

Apa kabarmu? Semoga hari ini tak terlalu melelahkan, ya… Ini adalah surat kedua dariku. Dan semoga ada sedikit minat bagimu. Saat jarak dan kekosongan merentang begitu lebar diantara kita, rasanya semakin banyak hal yang ingin kuungkapkan. Seringkali aku membayangkan sedang berbicara denganmu, mengungkap banyak hal tentang kisah hidupku, kenangan kita, perasaanku terhadapmu, dan banyak lagi hal lainnya sembari menatap mata cokelatmu yang indah. Tapi kurasa dua puluh empat jam takkan pernah cukup untuk menceritakan segalanya. Kita telah tidak bertemu sekian lama, dan itu membuatku harus menyeret berkarung-karung kisah dan kerinduan  untuk kutumpahkan padamu. Namun lihatlah! Saat ini, ketika aku bahkan hanya sekedar menulis surat tanpa menatap binar matamu, pikiranku serasa tersumbat. Jemariku kaku. Benakku terjebak di antara ruang kekosongan dan keriuhan. Aku bingung apa yang harus kuungkap pertama kali. Kenangan-kenangan tentang kita mendesak-desak ingin diprioritaskan. Hasrat batinku menggedor-gedor ingin didahulukan. Aku serasa gagu. Namun hanya satu yang masih kurasakan jelas. Desir kerinduanku padamu semakin menghangatkan jiwaku, menguatkanku.

Oh ya, bagaimana kabar ibumu? Apakah sudah kau sampaikan salamku pada beliau? Semoga Tuhan masih memberiku kesempatan untuk berjumpa dengannya suatu saat nanti. Ia masih serupa cahaya kemilau di mataku.

Bagaimana pula dengan kabar ayahmu? Apakah ia baik-baik saja? Kuharap demikian. Asal kau tahu, meski telah kuungkap pada surat sebelumnya bagaimana reaksiku saat mengetahui watak asli ayahmu, aku masih memiliki rasa hormat pada lelaki tangguh itu. Apalagi mengingat jasanya yang turut andil atas keberadaanmu di dunia. Aku takkan pernah henti untuk menghormatinya, Kisha. Lepas dari perlakuannya terhadap ibumu, ada begitu banyak hal yang membuatku kagum padanya. Terutama pada caranya mendidik dan menerapkan kedisiplinan, yang dapat kulihat langsung hasilnya melalui dirimu. Jika bukan karena ayahmu, kau takkan jauh lebih hebat dari Kisha yang kukenal dulu. Kisha yang selalu juara kelas, yang aktif di kegiatan apapun, yang disiplin dengan berbagai jadwal, yang selalu menjadi bintang dimanapun ia berada… Terutama di sekolah, kau menjadi bintang yang bersinar sangat terang…

Sejujurnya, saat pertama kali kau masuk sekolah dan berada pada kelas yang sama denganku, akulah murid lelaki yang paling bangga di kelas itu. Siapa yang tidak bangga menjadi orang pertama yang dikenal oleh calon primadona sekolah? Kulihat tatapan-tatapan mata yang mengarah padamu. Murid-murid lelaki yang tak sabar untuk mendekatimu, murid-murid perempuan yang menyimpan perasaan iri terhadapmu. Kau terlihat begitu berbeda di antara kami, anak-anak asli Sammoa. Kami berkulit coklat nyaris gelap, sedangkan kulitmu begitu putih. Baju-baju seragam kami begitu kusam dan kumal, sedangkan baju seragammu begitu putih dan harum. Penampilanmu cukup mentereng. Tak ada seorang pun yang menandingi barang atau peralatan yang kau bawa ke sekolah; mulai dari tas sekolahmu, sepatumu, hingga penghapus dan kotak pensilmu. Segala kepunyaanmu terlihat mewah, sedang kami hanyalah anak-anak yang terbiasa dengan kekurangan, kesederhanaan.

Selain itu, tulisanmu pun jauh lebih bagus. Bahkan paling bagus jika dibanding dengan anak kelas enam sekalipun. Menurutmu, itu semua berkat ketelatenan ibumu dan kegigihan ayahmu. Ibumu begitu sabar melatihmu menulis indah huruf demi huruf, baris demi baris pada buku tulis yang bergaris tipis. Katamu, buku tulis itu khusus untuk belajar menulis. Kau tunjukkan hasil tulisanmu pada ayahmu. Jika menurutnya tulisanmu kurang memuaskan, ia takkan mengijinkanmu bermain atau melakukan aktivitas lain. Aku ternganga karena takjub. Heran, bagaimana mungkin ayah ibumu menyempatkan diri untuk mengajarimu menulis indah. Sedangkan kami, anak-anak Sammoa belajar sendiri sesuka-sukanya karena orang tua kami tak pernah peduli. Mereka terlampau sibuk menghitung uang dan mencari utang. Tak heran jika dalam kelas kami pun masih terdapat banyak murid yang belum bisa menulis.

Namun yang membuatku lebih takjub lagi adalah ketika kau membisikkan padaku bahwa kau pun dapat menulis indah dengan  tangan kirimu. Kemudian kau buktikan itu di depanku. Melihatku bengong dan ternganga, kau justru terkikik. Kemudian kau ambil buah jambu, dan kau kupas dengan pisau di tangan kirimu. Aku bahkan sampai bertepuk tangan dan kau pun kegirangan. Dengan suara lirih kau ceritakan bahwa sesungguhnya kau adalah kidal. Tapi orang tuamu memaksamu untuk menggunakan tangan kanan. Jika kau mangkir, mereka tak segan menghukummu. Ayahmu akan memukulimu dan menguncimu dalam kamar mandi. Itulah sebab mengapa kini kau lihai menggunakan tangan kanan. Tapi kemudian kau bisikkan padaku bahwa keahlian itu adalah rahasiamu yang hanya kau bocorkan padaku. Kau paksa aku untuk berjanji tidak akan menceritakannya pada siapapun, terutama pada ayahmu. Aku sendiri sempat mencoba untuk menirumu menulis dengan tangan kiri, tapi ternyata itu memang benar-benar bukan keahlianku.

Tulisanku sendiri pun sebenarnya masuk dalam kategori buruk. Kau sendiri yang mengatakannya padaku, bukan? Aku ingat dengan wajah lucumu yang memberengut saat pertama kali kau mengetahui tulisanku. Waktu itu kau hendak meminjam catatan IPAku setelah dua hari absen karena sakit. Tapi setelah membuka buku catatanku, kau katakan bahwa kepalamu semakin pusing. Tulisanku dapat membuat demammu kambuh lagi. Kau mengomel panjang lebar; bagaimana bisa anak kelas dua tulisannya seperti ceker ayam? Tapi pada akhirnya kau justru memperdayaku. Kau minta aku mendiktekan satu persatu catatanku. Butuh waktu dua jam untuk menyelesaikan catatanmu. Setelah itu, aku sungguh merasa lelah. Ludahku seperti terkuras hingga tak lagi berminat untuk bicara. Itu karena kamu gemar sekali menjahiliku dengan berpura-pura tidak mendengar. Terpaksa aku harus mengulang berkali-kali. Jika aku tersedak, kau akan terpingkal-pingkal. Kau tak peduli meski suaraku nyaris parau. Kau benar-benar raja tega sejati. Herannya, aku mau saja melakukan apapun sekehendakmu.

Asal kau tahu saja, sejak itu aku bertekad untuk memperbaiki tulisanku. Aku belajar menulis indah dari jam delapan hingga tengah malam. Tapi aku tak mempergunakan buku tulis bergaris tipis karena tak ada satu warung pun yang menjualnya. Terpaksa kugunakan buku tulis biasa yang kemudian kugarisi tipis-tipis dengan penggaris. Butuh waktu yang cukup lama untuk menggarisi buku dan belajar menulis. Tulisanku baru benar-benar bagus saat aku menginjak kelas empat. Memang lambat, tapi bukankah tak ada kata terlambat? Kala kutunjukkan tulisan terbaikku, kau katakan aku hebat.

Selain belajar di sekolah, keluargamu pun mendatangkan guru les ke rumahmu. Guru les itu tak lain adalah Ibu Runi, guru kelas empat kita sendiri. Setiap Jumat pukul tiga sore kau sudah harus duduk di ruang belajar bersama Ibu Runi, sementara ibumu mengawasimu dari ruang tengah. Kadangkala ibumu menyuruhku turut bergabung supaya waktu les bagimu terasa menyenangkan. Tapi setelah beberapa kali kemudian ibuku melarangku datang ke rumahmu pada tiap jadwal lesmu. Katanya, aku tak sepatutnya mengikuti les bersamamu karena aku tak ikut membayar. Dan ibu pun tak punya uang untuk membayar uang les tersebut. Menurut ibu, aku sudah cukup pintar meski tanpa les sekalipun. Apalagi jika aku mau belajar lebih giat lagi, maka aku pasti bisa mengalahkanmu. Kata ibu, seharusnya aku tak boleh kalah darimu. Karena jika aku lebih bodoh darimu, orangtuamu pasti akan menganggapku dan juga keluargaku lebih rendah. Mereka takkan memperbolehkan anak mereka bermain dengan orang-orang bodoh sepertiku, karena mereka menganggap kebodohan itu serupa dengan sejenis virus. Sangat menular. Sejak itu aku berniat untuk menjadi anak pintar. Aku menambah waktuku belajar. Tapi tetap saja aku tak bisa benar-benar mengalahkanmu meski selisih peringkat kita tak terlalu jauh. Kau ranking satu, akulah yang menduduki ranking dua. Akhirnya aku belajar untuk menerima dan memahami kenyataan, semua itu karena aku memang tidak ikut les.

Tapi pernah pula kau membolos dari jadwal lesmu. Saat itu kebetulan sedang diadakan lomba permainan banteng di lapangan voli tak jauh dari sekolah. Banyak anak-anak yang mengikutinya, karena ini memang permainan favorit masa kecil kita di Sammoa. Kau pun sangat ingin berpartisipasi. Apa kau mengingat peristiwa ini, Kisha? Waktu itu kau merasa takut untuk meninggalkan jadwal lesmu. “Bagaimana bisa? Mama tentu takkan mengijinkanku…” Begitu keluhmu. Tapi aku mencoba untuk memprovokasimu. Kamu sudah sangat pintar dan terlalu rajin. Kupikir tidaklah mengapa jika sesekali membolos les. Bahkan kukatakan aku dapat menjamin bahwa kepintaranmu takkan berkurang sedikitpun meski kau membolos les satu hari. Kau mulai ragu. Kau mulai memikirkannya. Dan aku memberikan strateginya. Kuajak kau keluar diam-diam dari rumahmu pada pukul setengah tiga sore.

Strategi itu benar-benar kau lakukan. Sesungguhnya aku takjub dengan keberanianmu. Aku tak menyangka jika kau benar-benar melakukannya. Padahal aku hanya sekedar omong saja. Kau bergegas menyusulku ke rumah. Kita berlari mengendap-endap melalui jalan belakang supaya tak berpapasan dengan Ibu Runi. Sesampai di lapangan, kau ingin bergabung dalam permainan bersama anak-anak lainnya. Tapi kukatakan bahwa jika kau ikut bergabung, ibumu pasti akan dengan mudah menemukanmu. Ia pasti menduga bahwa kau sedang bermain disini, karena semua orang tahu bahwa anak-anak mereka sedang berkumpul di lapangan ini. Kuajak kau untuk sekedar menonton dari pohon mangga rimbun bercabang rendah yang tak jauh dari lapangan. Dengan muka muram, kau terpaksa menyetujui saranku. Aku dan kamu memanjat pohon mangga itu, mencoba bertengger di dahan yang lebih terlindung dari dedaunan. Dahan yang agak tinggi namun cukup kuat untuk menopang dua bocah kecil yang hendak menonton pertandingan Banteng.

Ibumu kebingungan setengah mati mengetahui anaknya menghilang saat jadwal lesnya sedang berlangsung. Seluruh penjuru rumah ia jelajahi namun sama sekali tak menemukan jejakmu. Kemudian ia bergegas ke rumahku, bertemu dengan ibuku dan menanyakan apakah anaknya sedang bermain denganku. Tentu saja ibuku tak tahu karena aku pun tak pamit saat itu. Tapi ibuku sudah menduga bahwa aku pasti sedang berada di lapangan voli bersama anak-anak lainnya. Maka saat itu juga ibuku dan ibumu berjalan bersama menuju lapangan.

Sesampai di lapangan, ibuku dan ibumu mencari-cari kita. Mereka menanyai anak-anak satu per satu tentang keberadaan kamu. Beberapa anak mengatakan bahwa mereka memang sempat melihatku, namun kini mereka tak lagi tahu dimana aku atau kamu berada. Sementara itu, melalui sela-sela cabang dan dedaunan, aku dapat melihat sosok ibuku dan ibumu yang nampak bingung mencari-carimu. Terlebih ibumu, yang terlihat amat cemas. Ia meremas-remas tangannya sendiri. Kuberi tahu kamu tentang ibu kita yang sedang sibuk mencari kita. Akhirnya kau pun dapat menangkap sosok ibumu yang sepertinya hendak mendekat ke arah pohon mangga yang kita panjat. Kau menjadi panik. Gelagatmu gugup, keringatmu bercucuran. Kau nampak ketakutan. Kau mengajakku untuk segera naik ke dahan yang lebih tinggi lagi demi bersembunyi, tapi kukatakan bahwa disini pun cukup aman. Seharusnya kau tak perlu khawatir berlebihan sepanjang kita tidak membuat keributan. Namun kepanikanmu melebihi segalanya. Kau tak menghiraukanku. Dengan terburu-buru, kau berjingkat ke arah dahan yang lebih tinggi. Namun naas, karena kekuranghati-hatianmu, kakimu meleset dari dahan yang seharusnya kau injak. Kau limbung. Keseimbanganmu hilang. Akhirnya kau terjatuh ke bawah, berdebum di tanah. Posisimu yang berada lebih tinggi dariku membuat kejatuhanmu semakin menyakitkan. Apalagi ada banyak batu-batu di bawah. Melihatmu jatuh, aku terpekik kaget. Saat itu juga aku turun ke bawah. Kulihat kau tak tergeletak tak sadarkan diri. Kepalamu mengucurkan darah hingga membasahi tanah. Pelipismu berdarah, lututmu pun berdarah. Kali ini aku benar-benar panik. Aku berteriak sekeras-kerasnya demi mencari pertolongan. Tapi aku juga takut.

Sudah barang tentu ibumu kaget mendengar teriakan panikku. Ia menjadi lebih kaget saat menyadari apa yang terjadi. Anaknya jatuh dari pohon, dan sekarang sedang dikerubungi oleh banyak orang. Mereka beramai-ramai memberi pertolongan. Akhirnya beberapa orang membopongmu pulang.

Aku segera merangsek ke arah ibuku yang ternyata telah siap menyambutku dengan jeweran. Sepertinya ia segera memahami bagaimana sejatinya permasalahan. Ia menggiringku pulang dengan berjuta-juta omelan. Katanya, ia telah menyerah menghadapi kenakalanku yang sudah kelewatan.

Tak lagi disangsikan, aku didera perasaan amat bersalah kepadamu. Ayah dan ibuku telah menceramahiku panjang lebar. Apalagi jika hal yang lebih gawat terjadi padamu, kami harus bersiap-siap untuk bertanggung jawab. Ibuku bahkan menakutiku bahwa jika sampai ayah atau ibumu menuntutku ke pengadilan karena membuat anaknya cacat, aku dapat dipenjara. Membayangkan hal ini membuatku sangat ketakutan. Akankah aku benar-benar dipenjara? Aku sering menonton film-film yang menggambarkan penjara, dan itu benar-benar buruk. Banyak orang yang mati dan menjadi gila di penjara. Penjara adalah tempat terburuk di dunia, dan aku tak mau dipenjara. Aku menangis terisak-isak. Ibu tak menggubrisku. Ayah  menyuruhku untuk segera meminta maaf padamu, terutama pada ayah dan ibumu.

Aku sadar bahwa aku telah membuat malu kedua orang tuaku, terutama di  hadapan keluargamu. Tapi nasi telah menjadi bubur. Yang telah terjadi tak lagi dapat diperbaiki. Maka tak ada lagi yang dapat kami perbuat selain memohon maaf sebesarnya.

Esok harinya, aku ditemani ayah ibuku menjengukmu. Ibu menyiapkan begitu banyak bingkisan makanan untuk keluargamu. Ayah telah memberitahuku berulang-ulang apa yang harus kuucapkan nanti, terutama di depan orang tuamu. Sebenarnya kami semua agak gugup saat menginjak rumahmu. Tapi kami pun tahu bahwa ini adalah perbuatan benar yang memang semestinya kami lakukan.

Kedua orang tua kita bercengkerama di ruang tamu. Aku telah mengatakan permintaan maaf persis seperti yang diminta ayahku pada kedua orang tuamu. Ayahmu menatapku sembari tersenyum. “Tenang saja, nak. Temanmu itu akan segera sembuh. Kau akan bisa segera bermain kembali bersamanya” katanya ramah.  Aku benar-benar merasa lega. Ingin rasanya aku bersujud untuk mengucapkan syukur. Ayah dan ibumu tak marah padaku. Menurut ibumu, setelah diobati di puskesmas lukamu akan segera sembuh. Kau pingsan karena benturan keras sekaligus teramat shock. Tapi luka itu, meski mengalami beberapa jahitan, tidaklah terlalu dalam.

Ibumu mengantarku untuk menemuimu di kamar tempat kau beristirahat. Namun sebelum sampai ke kamarmu, ia sempat mendudukkanku di sebuah sofa. Ia berkata padaku bahwa ia tak pernah marah dan menyalahkanku atas kejadian tempo hari. Tapi ia memohon padaku supaya lain kali tidak mengajak atau mendukungmu melakukan hal-hal yang tidak baik. Ia memintaku untuk berjanji. “Jika kau sayang Kisha, jika kau ingin terus menjadi sahabat baiknya, maka berjanjilah pada mama untuk tidak mengajaknya nakal. Mama percaya padamu karena mama tahu kau anak yang baik. Mama percaya kau pun bisa menjaga dia. Kau sayang dia, bukan?” Ucapannya lembut. Meski demikian, ungkapan dan pertanyaan seperti itu tentu terdengar cukup berat bagi seorang bocah kelas empat yang polos sepertiku. Aku tak bisa menjawab selain “Ya, mama… aku sayang Kisha. Aku berjanji tidak mengajaknya nakal lagi. Aku berjanji untuk menjaganya…”. Aku seolah telah tersihir oleh kebaikan dan kelembutan ibumu, sekaligus direjam rasa bersalahku. Ibumu tersenyum. Ia memberikan segelas jus mangga kepadaku kemudian membiarkanku mengobrol begitu banyak rupa denganmu. Kau sudah dapat tertawa lagi. Tapi aku tak pernah mengungkap perihal perbincangan dan perjanjianku dengan ibumu itu kepadamu, setidaknya sampai saat ini.

Kisha yang kusayang,

Kini kau tahu bahwa aku telah menyayangi kamu sejak semasa kita kecil. Namun demikian, aku akan ceritakan bahwa rasa sayang itu pun mengalami metamorfosis. Rasa sayang yang tumbuh pada bocah lelaki kelas empat itu murni ditujukan untuk seorang sahabat yang paling dekat dengannya. Kasih sayang seorang bocah yang sekedar ingin sahabatnya pun dapat merasakan kegembiraan pada mainan yang sama. Sungguh, kau pasti takkan keberatan dengan kasih sayang serupa itu. Tidakkah kau ingin mengulang kembali masa-masa terdahulu andai saja kesempatan itu ada? Karena aku, jujur saja, sangat ingin!

Tapi kita tak lagi dapat mengecap kenangan-kenangan lalu selain sekedar membicarakannya seperti yang kulakukan saat ini. Cara terbaik untuk memperlakukan kenangan adalah membingkainya dengan indah sementara kita terus maju ke depan. Aku berharap semoga ini adalah cara terbaik yang kulakukan demi membingkai kenangan kita dengan indah. Kau tidak keberatan, bukan?

Kisha tersayang,

Kurasa kau pasti merasa lelah. Istirahatlah. Kadang hidup ini memang cukup melelahkan. Tapi kita hanya memerlukan beberapa waktu untuk memulihkan tenaga demi kembali melangkah ke depan. Andaikata surat ini memang membuatmu lelah, pulihkanlah sejenak tenagamu. Esok aku akan kembali menjumpaimu, dan kita akan kembali bercengkrama seperti dulu, seperti saat-saat yang sering kita lakukan dulu.

Salam rindu selalu,

A. Ramu


dikirim oleh @bintangberkisah

No comments:

Post a Comment