16 January 2012

Rekan Intim Kampus Budaya, Jenni Anggita

Jujur, gw belum juga mendapatkan jawaban dari Tuhan atas pertanyaan “mengapa kita dipertemukan di semester akhir?”.
Awal kuliah dulu, kita memang kenal, tapi ya hanya sekadar—mengenal teman sekelas—layaknya judul cerita di buku pelajaran anak-anak SD. Cuma saling tegur sapa, mengucap selamat pagi saat baru masuk kelas, selamat makan di Kansas, dan sampai jumpa saat jam pulang tiba.
Ah! Betapa klisenya hidup kita di kampus budaya. Kalo kata Krisdayanti ‘menghitung hari, detik demi detik, masaku nanti apa kan ada’, semacam mempertanyakan hidup setelah fase ini.

Mungkin Tuhan punya tujuan lain mempertemukan kita di masa-masa akhir begini: sebenarnya gw sangat muak dengan alasan ini, sangat basi. Namun, gw pun tak mengelak apabila pernyataan ini mutlak. Semoga kita bisa saling bersyukur, ya.

Jari kita tidak akan cukup menghitung seberapa lama lorong waktu dan kekosongan-kekosongan ini telah kita lewati. Tugas ini kita beri saja kepada para penggila eksak, biar mereka yang menikmati angka-angka berjalan melingkar di lintasan sarafnya.
Setuju? *tos gelas Es Tehnya Mas Agus* :D
Gw rasa, keintiman kita tidak perlu dipertanyakanlah, ya. Mungkin yang lebih cadas dipertanyakan adalah: kapan wisuda?kapan nikah? Err, ini juga ‘The Truly Klise’.

Jen, lo harus janji sama gw, kalo nanti kita berpisah, yang pisah hanya physically ya, bukan mentally. Raganya mah boleh ke mana-mana, tapi kalo untuk ‘ikatan partner-in-crime’ sebaliknya, sangat diharamkan. Deal! Huh, gw tarik dan buang napas dulu ya sebentar..

Janjian ambil matakuliah, makan bareng, nugas bareng, noilet bareng, ngeceng bareng, naksir bareng, galau bareng, tinggal tidur sekasur aja nih yang belum pernah bareng. Apakah lo pernah merasa lelah menapaki klisenya kehidupan ini? Saat gw merasa demikian, lo adalah obatnya. Pabrik obat generik terkenal mana pun belum punya produk andal semacam ini, gw rasa.
Untung gw bilang hal ini ke lo ya, yang udah kenal luar dalam dan pahit manisnya mulut gw, kalo gw bilang ke cowo, bisa mimisan kali itu anak *hmm, yang ini terlampau GR, I’m sorry my men ;p*

Nggak terasa ya Jen, teman-teman sehidup seperjuangan udah menyandang S. Hum. Mungkin mereka telah siap dengan ‘the real life-nya’. Kalo kata lo, setelah keluar dari kampus dan bukan lagi mahasiswa, kita turun kasta, nggak akan dianggap kaum intelektual lagi, nggak akan seringan biasanya menjawab pertanyaan orang: ‘kuliah di mana?’, karena dulu orang-orang menyebut kita MAHASISWA, apalagi nama kampus kita. Rasa takut pasti ada, manusiawi justru. Setiap orang yang pernah mencicipi bangku panas di level tertentu pasti akan merasakan sisi itu. The grey side..

Apalagi yang kita khawatirkan kalo bukan the comfort zone? Kansas, IKSI, PK, Ipul, Lapak 13, Martabak mie, klaster, pusat perbelanjaan—a.k.a Gedung IX, dan hot issue perseteruan kampus. Di ‘rumah baru’ kita nanti, memang nggak akan setiap detik bisa ketemu mereka, bahkan mereka ini tiada duanya karena Tuhan tidak menciptakan duplikatnya. Namun, satu hal yang harus kita simpan adalah bahwa kita pernah bersama mereka. Gw sangat bersyukur, gw dilempar ke FIB sama Tuhan—kalo kata orang, FIB itu IKJ-nya UI—mungkin ada benarnya.
Belajar menghargai perbedaan yang beragam. Mulai dari mahasiswa yang udah sebulan nggak mandi, nggak ganti baju, jeansnya bolong sana-sini, kaos kumal-kusam, beralas kaki jepit paling murah, rambut gondrong keriting semata kaki, setelan celana pendek, tank top, dan tentunya Hamba Allah—yang pasti kita rindukan, sampai mahasiswa tampilan mas-mas eksekutif muda, rambut klimis, wangi radius satu kilometer, sepatu harga selangit, dan orang-orang yang katanya jijik kalo makan di Kansas, harus kita akui, merekalah pewarna alami kita selama tiga tahun terakhir.

Inget ya Jen, gw akan selalu ada buat lo. Pun setelah kita keluar dari IKJ-nya UI ini. Meskipun kita berdua nggak jarang beda ideologi, beda pendapat, beda pemikiran, yang kadang sampai bikin kita nggak bareng ke mana-mana seperti biasanya—karena kisruh kecil yang nggak penting—hingga beberapa hari, bagaimanapun lo masih best mate gw. Terima kasih banget atas pengertian lo yang luar biasa, kita beda agama, tapi saling toleransi—lo nungguin gw kelar sholat, bahkan ingetin sholat—luar biasa, gw doang nih yang belum pernah nemenin lo ke Gereja :)
Kadang gw heran, kok ada ya orang sesabar dan selembut lo, meskipun sedang dalam keadaan yang seharusnya nggak dilembutin. Gw baru ketemu perempuan macam lo gini yang tertarik sama feminisme setelah beberapa bulan kuliah. Mempertahankan argumen-argumen keperempuanan atas teori-teori yang udah lo ‘amin-i’. Yah, meskipun yaa kadang-kadang sometimes lo terlihat dominant in childish untuk saat-saat tertentu. Gw mah dibikin enak aja, tanpa perlu ngomelin/negur lo secara keras, dan menganggap kalo lo lagi ‘kumat’ begitu sebagai bentuk ujian praktik proses pendewasaan gw. Huahahaha.

Gw memang bukan orang yang bisa mengobati di saat kegalauan maksimal lo datang. Gw hanya ingin menemani di saat lo seperti itu. Nggak selamanya nasihat bisa jadi obat, iya toh? Fuh, lulus di tahun berapa pun karena alasan apa pun, yang terpenting bagi gw adalah bahwa gw punya banyak cerita dari lo yang bisa gw bawa pulang ke ‘rumah baru’ gw nanti jika saatnya telah tiba. Oh iya, tahun ini kita harus menyelesaikan resolusi kita ya: tulisan kita dibikin buku. Entah masih draft, atau masih di otak—syukur syukur siap cetak—we must try it! No offense! *nelen ludah, baca bismillah*

The last, “buat apa wisuda kalo belum ada pendampingnya!” dan semoga jargon (koleksi-seleksi-resepsi) kita lancar jaya tentram damai sejahtera sadayana :D

Shalom,

No comments:

Post a Comment