16 January 2012

30 Menit Menjelang Subuh


Jakarta, 30 menit menjelang subuh. 


Saat kamu membaca surat ini, satu yang ku yakini, aku sudah berada jauh dari jangkauanmu, pun dari angan-anganmu. Ku pikir semuanya bisa lebih mudah dengan cara seperti ini. Tapi aku salah.


Melupakanmu ternyata tidak sesulit yang ku bayangkan, Pras. Hanya saja puing kenangan tentang kita membuatku tertahan sedemikian lama di masa lalu. Aku seringkali tersiksa dengan pikiran pertamaku di setiap pagi, semuanya selalu tentang kamu. Hatiku akan berkedut perih sesudahnya. Kemudian gravitasi akan menarikku jauh lebih dalam lagi. Terkadang ia bisa membawaku sampai ke hari pertama saat kita bertemu. Dan bodohnya aku, Pras, aku baru tahu bahwa ada luka yang memang tidak pernah bisa disembuhkan oleh jarak dan waktu.

Sekian lama aku menghilang, menghapus semua jejak yang bisa kau cium dengan intuisimu yang tajam, tapi aku justru kembali melalui surat ini. Di antara kita, ada janggal yang harus ku selesaikan dan banyak cerita yang harus ku urai.


Bisakah kita bertemu dan membicarakannya? Ini hal penting. Sesuatu yang tidak bisa ku tunda lebih lama. Kamu mau kan? Kita bertemu di tempat biasa Sabtu ini, pukul empat sore. Ku tunggu. Usahakan jangan terlambat. 


Salam hangat,
Alya.

***

      Dibacanya sekali lagi surat yang ia terima langsung dari seorang tukang pos. Ia tertegun sebentar, kemudian melihat ke arah istrinya yang sibuk memasak sarapan di dapur. Diremasnya kertas di genggaman tangannya, lalu membuangnya dengan segera ke dalam kantong celana. Hatinya bergetar. Sekarang sudah terlalu terlambat. Ia tak mungkin dan tak mau lagi bermain api. Ia tak mau mengambil resiko pergi menemui selingkuhannya beberapa bulan lalu. Lagi pula, ia sudah memberi perempuan itu sejumlah uang untuk tutup mulut dan menggugurkan kandungannya. 

***




Oleh --@mmychaan

No comments:

Post a Comment