16 January 2012

Untuk Kakek Tua di Emperan Masjid Sudirman

Assalamualaikum kakek yang  sering duduk-duduk di emperan mesjid Sudirman Denpasar.
Semoga kesehatan dan kekuatan iman selalu diberikan kepada kakek.
Awalnya memang sedikit bingung  ketika menulis surat ini ditujukan untuk siapa. Tapi Kek, mungkin kakek memang tidak akan membaca surat yang saya tuliskan ini, tapi percayalah, surat ini benar-benar saya tujukan kepada kakek. Maaf jika kakek tidak akan sempat membacanya.
Tidak tahu kenapa, masih dalam rangka proyek #30HariMenulisSuratCinta di hari ke-2 ini saya kepikiran untuk menulis surat kepada  kakek. Ada semacam dorongan psikologis yang terlintas di kepala saya hingga menggerakkan jemari-jemari ini untuk sekedar menulis sepenggal dua penggal kalimat untuk kakek. Kalaupun toh pada kenyataannya surat ini tidak akan sampai kepada kakek, maka anggaplah tulisan ini sebagai semacam bisikan hati saya saja.
Saya memang tidak mengenal kakek, kakek pun sudah pasti tidak akan mengenal saya. Tapi kita  sering ketemu kek, di emperan mesjid Sudirman Denpasar. Maafkan saya jika saya sama sekali tidak pernah menyapa kakek meskipun dalam hati kecil ini begitu mengagumi kakek.
Benar kek, saya mungkin hanya salah satu dari ribuan orang yang mengagumi kakek diam-diam, karena kekaguman terkadang memang tidak perlu dibicarakan. Tapi percayalah, saya pengagum kakek.
Bagaimana kabar kaki kakek yang lumpuh itu? Sudahkan ada perkembangan?
Kakek tahu, kaki kakek yang lumpuh itulah salah satu yang membuat saya kagum kepada kakek. Dengan kaki yang lumpuh itu, kakek masih saja tak berhenti untuk selalu bersimpuh. Dalam perlombaan ini kakeklah juaranya. Saya menjadi sangat heran dengan kaki-kaki sehat kami mengapa tidak pernah bisa menang berlomba berlari menuju mesjid dengan kakimu yang ternyata lumpuh itu. Engkau memang lumpuh, tapi selalu mendahului kami menuju masjid. Untuk alasan ini saya mulai sedikit ragu, apakah  kaki yang membuat kami kencang berlari, atahukah hati yang menggerakkan langkah-langkah kami.
Sengaja kau datang lebih awal kek, sebelum orang-orang datang ke masjid ini. Saya tahu itu. Engkau datang ketika waktu  dhuha, jauh sebelum orang-orang ini menginjakkan kaki di sini untuk sholat jamaah dzuhur.   Lalu engkau berdzikir menunggu jamaah dzuhur. Engkau sengaja datang lebih awal karena kau menyadari keterbatasan yang ada pada dirimu. Kau tahu engkau lumpuh. Sangat susah untuk mengambil air wudhu dengan kondisi seperti ini. Kau tahu engkau sangat repot, tapi tak ingin tambah merepotkan orang-orang disekitarmu. Kau sama sekali tak ingin mengganggu orang lain yang berebut air wudhu.
Engkau lumpuh kakek, sama sekali kaki itu tidak mampu kau gunakan untuk bekerja. Apalagi dengan usiamu yang tua renta. Tapi engkau sama sekali tak pernah menengadahkan tangan untuk meminta. Sedangkan di lingkungan masjid ini kek, engkau juga pasti tahu sendiri, banyak sekali pengemis yang rela menggadaikan harga dirinya untuk sekedar sekeping dua keeping logam. Apalagi kalo tiba waktu Jum’at, banyak sekali para pengemis berbondong-bondong datang mengantri belas kasihan. Kekek bukan seperti mereka. Kalaupun pada akhirnya banyak juga yang memberikan beberapa rupiah sekedarnya kepadamu, itu sama sekali bukan hasil dari jerihpayahmu meminta. Kami tahu itu.
Dan karena satu hal ini pun, saya menjadi sangat malu kek. Saya selalu ingat, hanya  dengan memberikan beberapa rupiah yg sangat kecil, engkau rela mendo’akan kami dengan begitu panjang lebar. Do’amu itu tangga-tangga langit, hanya kemuliaan dan keikhlasan yang dapat sampai kepadaNya. Do’a2mu itu keselamatan, panjang umur, keberkahan, atau apapun yang selalu lebih tinggi nilainya dari kepingan uang tak berarti kami. Lalu pantaskah kami mendapatkannya kek? Do’a itu lebih pantas didapatkan untuk dirimu sendiri. Semoga engkau mendapatkan kemuliaan darinya. Amin.
Kek, saya kagum sekali pada kakek. Sangat.
Kakek selalu mengingatkanku dengan kakekku di rumah. Beliau juga lumpuh. Bahkan lebih parah. Beliau sudah tidak mampu berjalan dengan tongkat sekalipun. Sehari-hari hanya berbaring atau duduk di kamar. Sesekali keluar menggunakan kursi roda. Itupun harus ada yang mendorong dari belakang.
Saya juga kagum pada beliau kek, sangat. Dengan kondisinya yang seperti itu sholatnya ngga terputus. Meskipun ngga sempurnna karena beliau lumpuh, dan terkadang najis juga nggak jauh dari dirinya. Tapi saya yakin Allah pun bisa memakluminya. Karena sekali-kali kewajiban itu tidak untuk mempersulit hambanya bukan?
Dan untuk orang-orang yang istiqomah seperti kalian, kiranya Allah yang lebih tau ganjaran yang pantas didapatkan.
Do’akan kami juga bisa istiqomah seperti itu. Amin…


oleh: @pung_kamaludin
diambil dari: http://wildworldwords.wordpress.com

No comments:

Post a Comment