16 January 2012

Time Capsule #2 : Umang-umang

Bogor,  15 Januari 2012

Kepada Kamu,

Yang Sempat Kukagumi.

Hai, apa kabar?  Semoga kamu baik-baik saja. Hmm. Aku tak tahu persis di mana kamu berada sekarang, tapi yang kutahu pasti, kamu selalu ada dalam memoriku – entah hingga kapan.
Tunggu, jangan takut dulu. Aku bukannya hendak merayumu. Jangan pernah berpikir bahwa aku akan mengirimimu surat yang berisikan kata-kata semanis madu. Tidak, caraku tidak begitu. Suratku ini hanya sekedar kapsul waktu yang mungkin mampu membawamu kembali ke masa dulu. Masa-masa di saat kita masih begitu lucu. Masa-masa ketika kau bermain gundu, dan dalam kalbu aku meneriakkan semangat untukmu walaupun kau tak pernah tahu. Dan masa-masa saat aku tahu bahwa kue yang ada di kantin sekolah adalah kue sagu buatan ibumu, setiap hari aku merengek pada ibuku, meminta uang seribu, demi merasakan kue sagumu. Bukankah itu lucu?

Bagiku memutar kembali waktu dalam ingatan adalah hal yang tidak begitu mudah. Namun, kamu membuatnya tidak begitu susah. Misalnya saja, hanya dengan melihat gambar ini, jendela-jendela memoriku membuka, memperlihatkan sekilas tayangan lampau mengenai pertemuan pertama kita

(Sumber gambar: http://www.indofamily.net/pets/index.php?option=com_alphacontent&sort=1&Itemid=96&limit=5&limitstart=565)

 
Ingatkah kejadian itu? Atau... belum ingat? Oh, tolong jangan bingung. Mungkin dengan beberapa usaha, jendela memorimu akan terbuka dan menayangkan kisah kisah yang terjadi hampir 15 tahun yang lalu, mengenai kamu, aku, dan umang-umang itu.  

Ya. Umang-umang yang kamu bawa saat pertama kali Bu Guru menyuruhmu pindah duduk di sebelahku. Entah apa motivasi Bu Guru saat menerapkan aturan itu. Mungkin beliau berharap bahwa dengan mengatur posisi duduk murid secara berpasangan (perempuan-lelaki) akan meminimalisasi kemungkinan murid-murid untuk mengobrol atau menyontek, sebab beberapa murid kelas 1 SD pada masa itu terlihat masih rikuh jika harus berinteraksi dengan teman lawan jenis. Salah satunya aku. Sebenarnya awalnya aku agak kesal dengan aturan Bu Guru itu karena dengan adanya aturan itu, aku terpaksa harus merelakan bangku di sebelahku (yang tadinya diduduki teman perempuan akrabku) untukmu. Ditambah lagi saat pertama kamu duduk di sebelahku, kamu membawa serta teman-temanmu itu. Ya. Sekelompok umang-umang yang bervariasi ukurannya itu kemudian kamu taruh dalam sebuah wadah plastik, di laci meja. 

Seandainya saja kamu melihat air mukaku saat itu, kamu akan mendapati aku yang mematung dengan wajah pucat ketakutan saat melihat teman-temanmu -- yang bagiku lebih menyerupai serangga yang harus dibasmi ketimbang hewan peliharaan. Jujur, waktu itu aku berpura-pura tenang karena aku takut jika kamu menangkap basah aku yang sedang ketakutan, kamu akan dengan sengaja menaruh umang-umang itu lebih dekat padaku, seperti keisengan yang mungkin dilakukan bocah laki-laki pada umumnya terhadap teman lawan jenisnya.

Namun ternyata kamu berbeda. Ingatkah kamu, saat akhirnya aku mulai bisa beradaptasi, aku berusaha mencairkan suasana yang kaku sejak awal dengan bertanya, “Itu apa?” 

Kemudian kamu menjawab pertanyaanku sembari mengeluarkan salah satu temanmu yang berukuran paling besar, “Mau lihat? Ini Kumang.” Jawabmu polos. 

Sontak aku menggeser kursiku mundur beberapa sentimeter dan tanpa sadar, aku memasang wajah cemas. Namun, hal yang terjadi selanjutnya berbeda dari yang aku takutkan. Kupikir kau akan mulai iseng menyodorkan umang-umang itu ke arahku sambil tertawa-tawa, tapi kemudian yang terjadi seingatku, tanpa harus aku berteriak-teriak histeris atau sampai memanggil Bu Guru untuk memaksamu mengamankan teman-temanmu, kamu sepertinya menyadari bahwa aku merasa tidak nyaman dengan teman-temanmu, lalu dengan segera, kamu taruh mereka kembali ke dalam tempatnya, tersimpan rapi, di dalam laci mejamu.Bukankah itu mengesankan?

Berawal dari kejadian itulah aku mulai melihat perbedaanmu, dibanding bocah laki-laki lain. Maafkan jika selama ini aku salah menilai atau terlalu berlebih dalam menilaimu, tapi di mataku waktu itu, bahkan hingga saat ini, kamu adalah anak laki-laki yang kalem, polos, dan pengertian. Bahkan, perlu kamu tahu, saat itu ibuku pun menilai kamu sebagai anak laki-laki yang selalu berpenampilan bersih, pintar, dan tidak pecicilan. Tak heran, walaupun hampir setiap hari ibuku mengeluarkan uang untuk memenuhi keinginanku akan kue-kue sagumu, namun beliau sama sekali tidak keberatan. Beliau justru merasa kagum pada ibumu, yang selalu punya cara untuk memenuhi kebutuhan kamu dan kakak-kakakmu, semenjak kepergian kepala keluargamu.

Kira-kira seperti itulah kesan pertamaku saat kita harus duduk sebangku. Walaupun memang awalnya aku merasa akan berat duduk sebangku dengan anak laki-laki, namun oleh karena yang duduk di sebelahku adalah kamu, aku tak merasakan beban apapun. Sementara teman-teman perempuanku yang lain sering mengeluh karena teman laki-laki yang sebangku dengan mereka bandel atau jahil, aku tenang-tenang saja duduk di sampingmu. Terlebih lagi, aku jadi bisa banyak belajar darimu selama kita duduk sebangku. Maybe I should give a lot of big thanks for you -- a little boy who made me felt like I was the luckiest little girl ever. :)

 Sincerely,

Your Luckiest Childhood Classmate.
 
oleh: @ratnayuke

No comments:

Post a Comment