16 January 2012

Nia Ramadhani dan Ciuman yang Menyelamatkanku

Kepada Nia Ramadhani
Nia, jangan kaget jika membaca surat ini, sebab tak akan kautemukan bekas bibirku di bibirmu. Tapi sebaliknya, bibirmu masih membekas di bibirku dan ingatanku setelah ciuman pertama kita pada saat senja yang tak lebih merah dari bibirmu. Surat ini ingin menceritakan padamu bagaimana ciuman kita menyelamatkanku…
Senja itu, aku sudah terlalu panjang menyusuri kesedihan, setelah sebelumnya mendapati pacarku berciuman dengan laki – laki lain. Ah, sedih sekali rasanya melihat bagaimana mudahnya bibir laki – laki itu menghapus bekas bibirku di bibir pacarku, sekaligus menghapus diri aku dari diri pacarku. Aku tak tahu apa – apa selain berkali – kali mengejek diriku sendiri: laki – laki bodoh! Kemudian memaafkan diriku kembali.
Aku masih berjalan di bawah senja yang merah, meski jatuh hujan tak menyelamatkan airmata yang tumpah. Aku tak boleh menangis, bukankah apa yang digenggam pada akhirnya terlepas juga? Aku cuma harus meyakinkan diri bahwa aku baik – baik saja. Tapi sungguh, setiap simpang jalan seperti menyembunyikan kenangan – kenangan aku dan pacarku, sehingga aku harus siap menerima segala yang tiba – tiba.
Betapa jauh telah kutempuh kesedihan; jalan panjang dengan beribu simpang yang siap menelan aku kapan saja…
Tak terasa, tubuhku telah banyak mengeluarkan keringat dan tenaga, kerongkonganku seperti sumur yang dihujani kemarau; kering dan dahaga. Aku melihat sebuah warung di depan jalan. Barangkali, aku bisa membasahi kerongkonganku di sana. Akhirnya, langkah kaki mengantarkan aku ke warung tersebut. Aku segera membuka kotak minuman, memilah – milih minuman.
Seperti keajaiban kecil, aku mengambil segelas minuman berwarna merah yang di kemasan bagian atasnya ada foto seorang perempuan dengan bibirnya yang merah: Nia. Ya, fotomu seperti tersenyum padaku senja itu, seperti menjelaskan bahwa semua akan baik – baik saja. Matamu, Nia, seperti telaga tenang yang menampung kesedihan dunia. Ah, mengapa aku harus bersedih? Bukankah cinta mengajarkan hal – hal yang baik, merelakan misalnya.
Senja itu, Nia, aku mematahkan sedotan, kemudian menghapus bekas bibir pacarku dengan menempelkan bibirku pada bibirmu yang dingin di bagian atas minuman gelas murahan itu. Ciuman kita yang tak hangat, Nia, menyelamatkan aku senja itu. Terimakasih, Nia, semoga Ardi tidak cemburu.
Jakarta, 2012

oleh: @RadityaNugie
diambil dari: http://nugieraditya.wordpress.com

2 comments: