Kepada Nia Ramadhani
Nia, jangan kaget jika membaca surat ini, sebab tak akan kautemukan  bekas bibirku di bibirmu. Tapi sebaliknya, bibirmu masih membekas di  bibirku dan ingatanku setelah ciuman pertama kita pada saat senja yang  tak lebih merah dari bibirmu. Surat ini ingin menceritakan padamu  bagaimana ciuman kita menyelamatkanku…
Senja itu, aku sudah terlalu panjang menyusuri kesedihan, setelah  sebelumnya mendapati pacarku berciuman dengan laki – laki lain. Ah,  sedih sekali rasanya melihat bagaimana mudahnya bibir laki – laki itu  menghapus bekas bibirku di bibir pacarku, sekaligus menghapus diri aku  dari diri pacarku. Aku tak tahu apa – apa selain berkali – kali mengejek  diriku sendiri: laki – laki bodoh! Kemudian memaafkan diriku kembali.
Aku masih berjalan di bawah senja yang merah, meski jatuh hujan tak  menyelamatkan airmata yang tumpah. Aku tak boleh menangis, bukankah apa  yang digenggam pada akhirnya terlepas juga? Aku cuma harus meyakinkan  diri bahwa aku baik – baik saja. Tapi sungguh, setiap simpang jalan  seperti menyembunyikan kenangan – kenangan aku dan pacarku, sehingga aku  harus siap menerima segala yang tiba – tiba.
Betapa jauh telah kutempuh kesedihan; jalan panjang dengan beribu simpang yang siap menelan aku kapan saja…
Tak terasa, tubuhku telah banyak mengeluarkan keringat dan tenaga,  kerongkonganku seperti sumur yang dihujani kemarau; kering dan dahaga.  Aku melihat sebuah warung di depan jalan. Barangkali, aku bisa membasahi  kerongkonganku di sana. Akhirnya, langkah kaki mengantarkan aku ke  warung tersebut. Aku segera membuka kotak minuman, memilah – milih  minuman.
Seperti keajaiban kecil, aku mengambil segelas minuman berwarna merah  yang di kemasan bagian atasnya ada foto seorang perempuan dengan  bibirnya yang merah: Nia. Ya, fotomu seperti tersenyum padaku senja itu,  seperti menjelaskan bahwa semua akan baik – baik saja. Matamu, Nia,  seperti telaga tenang yang menampung kesedihan dunia. Ah, mengapa aku  harus bersedih? Bukankah cinta mengajarkan hal – hal yang baik,  merelakan misalnya.
Senja itu, Nia, aku mematahkan sedotan, kemudian menghapus bekas  bibir pacarku dengan menempelkan bibirku pada bibirmu yang dingin di  bagian atas minuman gelas murahan itu. Ciuman kita yang tak hangat, Nia,  menyelamatkan aku senja itu. Terimakasih, Nia, semoga Ardi tidak  cemburu.
Jakarta, 2012
oleh: @RadityaNugie
diambil dari: http://nugieraditya.wordpress.com
Lol funny. Thought you dated nia ramadhani, for REAL. XD XD funny
ReplyDelete(simle)
ReplyDelete