16 January 2012

Hari-2: Seikat Cinta dan Berkantung-Kantung Rindu

“Iya. Tentu saja kita akan selamanya bersama,” kataku pada suatu malam sebelum kepergianku mengejar sesuatu bernama cita-cita. Kelak kita akan tinggal dalam lingkungan yang sama. Dengan suasana yang sudah kita susun berdua sejak jiwa-jiwa kita berucap untuk saling menjaga dan percaya.

Kita pernah punya waktu yang tak terhingga. Juga ruang yang teramat luas untuk saling dekap, saling sayang. Aku pernah memiliki masa yang panjang bersamamu. Masa-masa yang akhirnya ku ingkari dan meninggalkanmu, sayang.

Namun walau begitu, kau tak pernah lelah mengingatkanku pada janji yang kita bangun di atas mimpi-mimpi besar yang akan kita wujudkan bersama dengan lengan masing-masing dan sepasang hati yang tak henti-hentinya saling mengirim doa.

Aku tak pernah tahu bahwa kau benar-benar pergi dariku. Bahkan kau pergi lebih cepat dari kesadaranku akan kehilanganmu. Harusnya kau tak berbuat sejauh itu. Bagaimana mungkin kau pergi tanpa terlebih dahulu mengucapkan sebaris kalimat atau pertanda apapun. Itu sama sekali tak adil. Ok! Aku memang salah karena terlalu sibuk berkutat dengan diri sendiri. Tapi toh aku selalu menyempatkan diri membalas pesan-pesanmu.

Kau tahu sayang, masih kusimpan suara tawa kita dalam kotak pandora yang tak pernah ku buka. Nyaliku ciut, bahkan untuk menyentuhnya sekalipun. Aku terlalu pengecut untuk merasakan pedihnya sayatan kehilangan kamu, lagi. Tidak sayang, lukaku akan kepergianmu empat tahun lalu belum juga menemukan kata kering. Nyerinya mendiami dasar jiwaku.

Empat tahun terakhir aku memilih untuk hidup seorang diri. Untuk hidup hanya dari kenangan-kenangan tentangmu, tentang kita. Bertahun-tahun aku hidup di masa lalu. Tanpa lelah, tanpa keluh. Rasanya ingin ku hentikan waktu di tempatku agar yang tertinggal hanya aku, dan juga kamu.

Mengapa kau harus pergi sejauh itu? Apakah aku tak pantas untuk sebuah permohonan maaf? Aku berusaha membiasakan diri untuk menjalani sisa waktu yang aku punya tanpa kamu dengan susah payah. Ini terlalu berat. Perpisahan yang harus dilalui seorang diri menjadikanku terlihat lemah di hadapan takdir. Kau pikir aku masih sanggup hidup wajar dengan jiwa yang tinggal separuh?

Sayangku, kembalilah. Kembalilah sahabat lawasku. Semarakkan lagi keheningan lubuk. Biarkan ku rangkul sekali lagi tubuh ringkihmu. Tubuh yang membiru oleh paru-paru yang tak ma(mp)u beradaptasi dengan racun yang kau teguk.
Atau, berikan saja separuh racun itu padaku agar kita dapat tetap bersama. Bersama kembali menatap lembayung yang menggantung di langit sore walau dari tempat yang tak lagi sama. Tak lagi di bumi, melainkan surga.

Ah! Andai ada satu cara, tuk kembali menatap senja berdua di bibir pantai seperti dulu. Dengan tawa yang terbawa angin pantai hingga ke tengah samudera. Tawa renyahmu. Aku rindu. Teramat rindu masa-masa hidupmu, sayang!

Ada titipan seikat cinta dan berkantung-kantung rindu melalui doa yang ku kirimkan melalui Tuhan. Sudah kau terima, sayangku, sahabatku?

Untuk: Alm. Khairiah


oleh:
diambil dari: http://perempuansetengahwaras.wordpress.com

No comments:

Post a Comment