17 January 2012

Kelereng, Gadis Bermata Kelereng dan Layang – layang

Ini surat untuk kelereng, gadis bermata kelereng dan layang – layang. Baiklah, aku mulai dari kelereng terlebih dulu…
Halo, apa kabar kelerengku? Kelereng, mungkin kamu tak tahu bahwa aku menangis sore itu, sore di mana aku pulang dengan perasaan bersalah. Ya, aku kalah. Aku tak menepati janjiku untuk tetap bersamamu. Aku mempertaruhkanmu. Padahal, aku sadar bahwa Andi bermain sangat hebat sore itu, sedang sisa kelerengku hanya tinggal kamu. Aku dan Andi sempat berkelahi karena aku tak mau menyerahkanmu pada Andi. Andi takkan pernah menyayangimu seperti aku menyayangimu, pikirku. Kemudian, Papah datang dan berkata: “Berikan kelereng itu pada Andi. Sekarang, kelereng itu bukan milikmu lagi. Kalau kamu tidak menyerahkan kelereng itu, berarti kamu tidak hanya kalah dalam permainan saja, tapi juga kalah oleh egomu sendiri.” Aku tak mengerti apa yang dikatakan Papah, walau tetap menurutinya. Besoknya, aku mencoba merebutmu kembali, tapi ternyata Andi menjatuhkanmu di jalan dan kau hilang.
Kelereng, ini lucu sekali. Aku merasa kamu bersembunyi di mata seorang gadis dan menyapaku: hai!. Warna matanya hijau, seperti warnamu. Aku merasa kamu menatapku dari sana, menatapku seolah – olah aku adalah seorang anak – anak; yang jujur dan tidak pernah menyembunyikan suatu apapun. Kelereng, gadis itu bernama Nindy. Aku dan Nindy sempat merasa sangat bahagia, tapi…. Ah, sekian yang ingin aku sampaikan padamu, aku ingin melanjutkan surat ini untuk Nindy.
Hei, gadis bermata kelereng.
Nin, ini sudah setahun lebih sejak perpisahan kita. Tapi rasanya kau masih sangat dekat sebab anak – anak kecil di sekitar rumahku masih suka bermain kelereng, angin masih setia menerbangkan layang – layang, senja masih kuning muda dan aku masih gemar menyaksikan semuanya.
Nin, apakah kau ingat awal pertemuan kita? Pertemuan yang diawali hal konyol tentang kenanganku dengan kelereng kesayanganku. Aku bilang, matamu seperti kelereng kesayanganku. Kemudian, aku menceritakan kenanganku dengan kelereng tersebut. Aku suka matamu yang berwarna hijau, meskipun karena memakai softlens. Karena meskipun begitu, di matamu, aku begitu leluasa menjadi anak – anak, menjadi apa adanya, menjadi seseorang yang tak pernah menyembunyikan suatu apapun lewat senyuman dan kalimat: tidak apa -apa. Matamu, yang akhirnya sepakat kita namai “mata kelereng”. Kita melewati hari dengan berpelukan, berciuman dan saling membisikkan janji bahwa kita akan terus menerus mengulang kebahagiaan ini sampai melewati selamanya.
Nin, apakah kau ingat “Sore”? Layang – layang yang dulu kita namai karena warnanya kuning muda. Aku, kau dan Sore menghabiskan banyak sore bersama. Kau dan aku percaya, bahwa Sore terkadang sengaja tak terbang agar kau dapat tertawa. Kau suka sekali menertawakanku jika aku tak bisa menerbangkan Sore. Kau berkata: “Aku titipkan jantungku di dada sore. Kau juga. Bisakah kau menerbangkannya begitu tinggi?”
Nin, hidup pernah begitu sempurna ketika kita bersama. Sampai suatu hari, kau datang dengan wajah menanggung mendung, setelah seminggu lebih hubungan kita dihujani pertengkaran – pertengkaran. Kau berkata: “Aku ingin mengakhiri hubungan kita. Aku lelah.” Aku ditelan diam. Aku hanya bisa memperhatikan wajahmu, khususnya matamu. Hari itu, tak ada kelereng di matamu. Matamu hitam, sehingga tiba – tiba aku berani tersenyum lalu berkata: “Baiklah, tidak apa – apa.”
Nin, sore itu aku menggenggam Sore sendirian, Sore yang benar – benar tak mampu terbang setelah airmatamu jatuh menikam tepat di jantungnya: jantung kita.
Nin, sore itu, aku kehilangan kau, kelereng, Sore dan diriku sendiri. Nin, maafkan aku….
#30HariMenulisSuratCinta
Jakarta, 2012

oleh:

diambil dari: http://nugieraditya.wordpress.com

No comments:

Post a Comment