17 January 2012

Variatio 3. a 1 Clav. Canone all’Unisono


Untuk Koskenkorva yang terbaring di tumpukan jerami,

Aku tak pernah ingin melupakan dirimu temanku. Mungkin terkadang ketiadaanmu, atau keinginanku yang memisahkan kita dari sebuah pertemuan. Seperti angin dan daun - daun kering yang berguguran tanpa memberi tahu lebih dulu. Boleh Kau sebut juga laksana air yang membeku sebelum jatuh.
Dingin yang melingkupi sebagian bala, dan kabut yang sering muncul di tengah hari buta memang seperti Aku padamu, atau kamu padaku kemudian. Tapi apalah arti sebuah pembaringan tanpa bunga yang ditaburkan atasnya? Atau kelopak mata yang tak terhempar ikan langit, beruang selam, dan tetumbuhan berdaun logam?
Memang, terkadang kita harus bergantung pada langit - langit yang rapuh, dan menggenggam satu sama lain erat dalam telapak tak kasat mata. Itulah yang harus Aku doakan dalam tiap detak waktu, bahwa Kau tak selalu muncul.  Agar Aku juga tak lupa bahwa tanah masih terasa asin, dan rerumputan akan berganti warna empat kali setahun.
“Kenapa jemari yang kuberikan menjadi berkarat?”, katamu lewat bulir – bulir air mata padaku beberapa tahun lalu.
Aku tak pernah, dan tak akan pernah menyangkal bahwa tulisan yang kutulis ini adalah sebuah hasil tanganmu, dan pemilihan setiap kata adalah karena jemarimu yang kurus renta itu menekan kepalaku keras – keras. Juga langkah, juga kaki, juga angkasa, juga suara kidung nyanyi.
Bahwa memang hampir empat hari dalam tujuh: sebagian dari Aku mengabaikanmu sebentar, dan Aku begitu naif untuk menggadaikanmu pada kurcaci – kurcaci kumal. Seperti sudah tercacat dalam darah bahwa tahun – tahun hidup akan mencongkel keluar hatiku dari sela rusuk agar Aku tak lagi bisa menemuimu dalam rasa.
Tapi sampai kini, sampai entah. Aku percaya bahwa dirimulah yang membuatku terjaga dari kegilaan dan kepalaku dari tombak – tombak hujan. Dan Kau juga yang melenyapkan nyawa – nyawa terbakar api tanpa kenal mati.


Aku yang selalu belajar untuk mencintaimu sesering mungkin.


No comments:

Post a Comment