17 January 2012

Cinta Pertama dengan Matahari

Pagi ini, aku menyadari sesuatu. Aku memang tak pernah mencintai kota tempat aku tinggal sekarang. Menyukai pun tidak. Merasa nyaman pun tidak. Aku tak suka panas, macet, dan polusi. Lalu mengapa aku disini? Jangan salahkan aku.

Aku juga tak pernah mencintai jalan yang aku lewati tiap hari ke sekolah. Jauh, dan mahal. Aku menghabiskan 8000 untuk ongkos tol, setiap hari, dan belum untuk bensin. Lalu mengapa aku bersekolah disana? Jangan salahkan aku.

Aku datang dari kota yang sejuk, sepi -namun ramai ketika aku pulang-, dan jarang sekali macet. Kau tahu, kota yang hijau, dipenuhi taman, dan dikelilingi gunung. Kau bisa melihat matahari terbit di gunung ini dan terbenam di gunung satunya. Lalu mengapa aku tidak lagi disana? Jangan salahkan aku.

Setiap pagi, aku terlalu lelah untuk melihat lihat pemandangan ketika berangkat sekolah. Aku masuk ke mobil, lalu melanjutkan tidur yang tertunda, bangun, sudah di depan sekolah. Lelah? Sangat. Belum lagi jika tak bisa tidur nyenyak di mobil aku harus berhadapan dengan guru tata tertib yang menyebalkan. Benar benar awal yang buruk untuk memulai hari.

Aku juga tak pernah melihat matahari tenggelam atau terbenam. Sejujurnya aku tak peduli. Apa yang indah dari melihat matahari terbit di kota yang tidak ada apa apanya kecuali rumah-rumah, jalan layang, dan gedung-gedung pencakar langit?

Sejujurnya pun aku tidak mencintai matahari. matahari itu panas. sungguh, sangat panas. Di kota-rumah-ku dulu, di dataran tinggi, sejuk dan menyenangkan. Aku jauh lebih menyukai hujan, kau tahu, dingin, basah, dan abu-abu.

Tapi pagi ini aku menyadari, cinta pertamaku pada matahari. Aku sudah kesal karena tidak bisa tidur sama sekali. Terkutuklah ujian integral di jam pertama sesudah upacara dan topi yang hilang disaat jadwal upacara. Aku sudah lelah menangisi soal integral. Biarkanlah, integral itu susah, semua juga tahu. Aku memilih melupakan integral dan melihat lihat jalan. Dan saat itulah aku melihatnya -cinta pertamaku- matahari yang menyinari gedung teringgi yang terlihat di jalan yang aku lewati. Sungguh, itu indah sekali.

Kau mungkin bisa melihat matahari terbit mengintip disela-sela gunung, di kota lama-ku. Tapi, sungguh kau takkan pernah bisa melihat pantulan cahaya matahari pertama di gedung pencakar langit disana. Itu, cantik-yang-tak-bisa-dijelaskan-dengan-kata-kata.

Sinar matahari pertama itu tak membuat aku mencintai kota ini, atau mencintai matahari kemudiannya. Aku berharap hujan turun agar upacara dibatalkan, ternyata matahari panasnya keterlaluan. Aku semakin benci matahari karena hujan tak turun hari ini. Aku tak tahu apakah aku akan melihat sinar matahari memantul di dinding gedung pencakar langit lagi. Atau aku tidur lagi. Lihat saja besok.

Aku masih tidak mencintai kota ini, atau suasananya. Aku masih tidak mencintai matahari, yang terik terutama. Aku tidak tahu ini surat benci atau cinta. Tapi sungguh, aku mencintai sinar matahari yang kulihat pagi ini.

Aku tak pernah mencintai matahari sedikit pun sebelum ini, secuil pun. Tapi pada yang satu ini, aku jatuh cinta.



Oleh:

Diambil dari: http://hunnamiraaah.tumblr.com

No comments:

Post a Comment