21 January 2012

Surat Kaleng untuk @mahardika88

Pour milord: Ini (bukan!) surat cinta


Dear kamu,

Ini aku. Masih ingat? Hey, jangan langsung sinis dulu. Aku tidak bermaksud mengirimkan surat cinta atau semacamnya. Paling tidak bukan surat yang berisi pengakuan cinta. Aku hanya ingin meluruskan beberapa hal, melalui corat-coret mini ini. Aku tau kamu sibuk. Tapi luangkan beberapa jenak saja untuk membaca ini, ya? Aku tidak minta lebih.



Kamu mungkin masih ingat, beberapa saat silam aku meminta temanku untuk mengenalkan ku padamu. Melalui Facebook. Norak sekali ya? Haha, sekarang aku hanya bisa menertawakan kenorakanku dulu. Kamu mungkin sekarang tau siapa aku. Mungkin kamu sudah bercerita kepada teman-temanmu tentang kelakuan sintingku; yang benar-benar menelan harga diriku hanya supaya bisa dekat denganmu.



Nah, OK, untuk segala kelakuan memalukan ku tempo hari, aku minta maaf. Aku tau kamu merasa terganggu. Aku tau kamu merasa tidak nyaman. Tapi aku bisa apa waktu itu? Idiom “tergila-gila” itu memang benar adanya. Aku memang mungkin jadi “gila” selama beberapa waktu, bila menyangkut kamu. Saat itu otak dan hatiku lagi perang bharatayudha. Yang satu bilang “iya”, yang lain bilang “tidak”. Nyatanya, aku dulu tetap memenangkan hatiku. Dan sekarang, aku benar-benar menyesal. Seharusnya bukan hati yang menang, tapi otak. Kalau otak yang menang, aku tidak akan harus menanggung malu seperti ini.



Aku tidak menyalahkan kalau saat itu kamu menilaiku sebagai..apa ya, Murah? Gatal? Sok kenal? Sebut sajalah. Aku dulu mungkin memang seperti itu. Apa yang sudah kulakukan padamu? Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk menekan berbagai ingatan memalukan itu jauh ke dalam alam bawah sadarku. Ada saat-saat dimana aku benar-benar berharap terserang dementia, biar luruh lenyap segala ingatan memalukanku tentangmu. Tapi nyatanya, semakin aku berusaha melupakan, semakin aku selalu terbayang kelakuan sintingku yang mengirimimu pesan singkat sampai 4 lembar panjangnya (yang tentu saja tidak begitu singkat) tentang perasaan suka ku padamu, aku yang kerap me-mention twitter mu, aku yang menulis di wall facebook mu, aku yang.. ah… kehilangan harga diri. Aku bahkan menyempatkan diri datang ke LA Lights Indiefest di Sabuga Bandung silam hanya untuk bertemu denganmu. Aku merekam aksimu, omong-omong.



Aku juga sama sekali tidak menyalahkanmu kalau kamu sama sekali tidak menggubrisku. Setelah ku pikir benar-benar, aku pun mungkin juga akan berbuat hal yang sama jika ada orang tak dikenal yang tiba-tiba meminta berkenalan denganku melalui akun jejaring sosial, lalu dengan harapan yang melambung mulai berusaha berhubungan denganku.





Sekarang, tenang saja, aku sudah menemukan akal sehat ku yang dulu kabur entah kemana. Dia ditemukan setelah aku berdiam dalam keheningan total dan bisa menginterogasi hatiku sendiri. Jadi, inilah hasil interogasinya; saat itu memang aku mengatakan “I love you”, entah dengan cara implisit maupun eksplisit. Namun, sesungguhnya itu rasa kagum yang tersamar. Tolong catat kalau “kagum” dan “cinta” jelas berbeda jauh. Ada garis batas tebal berwarna merah manyala di antara keduanya. Karena pada waktu itu aku menutup suara-suara kebenaran dari hatiku, aku salah menilai perasaanku sendiri. Aku kagum padamu. Tidak lebih. Aku ingin berkenalan denganmu, ya. Aku ingin berteman denganmu, ya. Aku ingin dekat denganmu, ya. Aku ingin menjadikanmu sebagai seseorang yang akan kuberikan hatiku, tidak. Aku ingin mengganti seseorang dalam hidupku yang sudah sangat kucintai denganmu, tidak.



Apakah sudah jelas? Ketika aku mulai melihat dengan mata yang sejati, aku mulai paham bahwa seseorang yang kucintai adalah seseorang yang sudah kukenal sejak lama, yang sudah lama ada di dekatku namun aku tidak menyadarinya. Panggil aku kuno, tapi aku tidak mungkin, tidak bisa, mencintai seseorang yang tidak kukenal sebelumnya. Aku memang bukan penganut “love at first sight”, aku penganut setia “witing tresna jalaran saka kulina”. Jadi, tentu saja kamu tidak boleh percaya kalau aku bilang aku (dulu) mencintaimu. Anggaplah pernyataanku dulu itu racauan orang demam. Tidak bermakna.



Dan, bolehkah aku minta tolong? Ubahlah anggapan burukmu tentangku. Percayalah, sesungguhnya aku bukan gampangan, murahan, atau apapun yang menggambarkan kelakuan ku waktu itu. Pada saat itu aku bukanlah aku. Aku hanyalah id yang lepas kendali, tanpa difilter superego. Sekarang superego ku sudah lebih canggih. Bahkan id ku pun sudah tau bahwa aku hanya mengagumimu, bahwa ada seseorang yang sudah kucintai.



Sekarang, masihkah kau terganggu karena ku?

Aku tau temanmu mungkin sudah banyak. Keberatan untuk menambah satu lagi? J



Baiklah, aku rasa cukup. Sudah banyak aku menyita waktumu, di saat mungkin kau memiliki tugas jaga atau tugas menulis status pasien.



Semoga harimu menyenangkan!





PS. Terima kasih sudah menyebut-nyebut Edith Piaf dalam tweet mu tempo hari. Aku sekarang salah satu penikmat lagu-lagunya. Taukah kamu, kamu mungkin orang yang akan kunyanyikan lagu “milord”, tapi bukan orang yang akan kupersembahkan lagu “L’hymne a l’amour”. Semoga itu membantumu mengerti :)

No comments:

Post a Comment