Sekuntum mawar, takkan pernah mengetahui keindahan 
Jika ia tak menemukan seorang pemuja yang penuh cinta
Kisha yang cantik,
Semoga kamu mulai terbiasa dengan kehadiranku, ya.. Maksudku 
kehadiran surat-suratku. Tapi barangkali menurutmu surat-surat cinta ini
 seharusnya kukirimkan saat kita masih duduk di bangku sekolah menengah,
 saat kita sedang terbakar gairah. Kadang aku kesal jika mengetahui 
bahwa orang-orang semacam kita sudah dinilai tak lagi patut merajut sisi
 romantika. Mengapa itu hanya dimonopoli anak-anak muda saja? Tapi, ah 
sudahlah… Bukankah sudah kukatakan berulang kali bahwa nyaliku baru 
lahir pada saat ini. Lagipula, selalu tak ada kata terlambat untuk 
memulai atau melakukan sesuatu, bukan?
Andai saja kita benar-benar dapat menjejakkan kaki pada waktu yang 
telah lalu, Pasti aku akan memilih untuk pergi ke Sammoa, saat aku masih
 dapat menjumpaimu disana. Jika dibanding kesempatanku hidup di dunia, 
kesempatan kita bersama-sama ternyata singkat sekali. Namun andaikata 
memang singkat, mengapa rindu yang kutanggung sedemikian besar? Apakah 
karena aku telah menyerahkan singgasana hatiku kepadamu, Kisha? Karena 
rindu kepadamu, aku pun jadi merindukan semua-muanya yang pernah 
berkaitan denganmu, yang pernah melekat pada kebersamaan kita. Aku rindu
 tempat kelahiranku, rindu rumahku dulu, rindu pantai tempat kita 
bermain dulu, rindu pada sekolah, guru, pun teman-teman kita dulu.
Sejak aku meninggalkan Sammoa, semua yang kudapat kemudian tak lagi 
sama. Keindahan yang pernah kukecap tak lagi pernah kurasakan. Meski 
telah menempati berbagai rumah yang berbeda, namun rumah paling indah 
dan menyenangkan yang pernah kutinggali hanyalah rumah di Sammoa. Bukan 
hanya karena aku bertetangga denganmu. Tapi semua yang ada disana, 
apapun yang ada di Sammoa, ternyata tidaklah ada menandingi. Terutama 
pantainya, selalu membuatku nyaman. Masyarakatnya, selalu membuatku 
tentram. Meski ayahku bukanlah nelayan seperti kebanyakan, namun aku 
merasa damai membaur dengan kehidupan pesisir. Kami pun tak pernah takut
 pada apapun meski kami adalah golongan minoritas. Kau pun tahu bahwa 
nyaris sebagian penduduk di pulau itu adalah umat Kristiani. Hanya 
kampung Sammoa dan beberapa kampung yang terletak di pesisir lah yang 
memiliki lebih banyak penduduk muslim, termasuk keluargaku. Tapi kami 
benar-benar tak pernah bermasalah dengan perbedaan-perbedaan ini. 
Melihat corak kehidupan di Sammoa, aku jadi tahu betul jawaban – apa 
yang membuat bumi ini menjadi lebih indah, aman, tentram, dan damai. 
Tiada yang lain selain rasa saling menghormati, menghargai, dan 
tolong-menolong.
Masih ingatkah kau, bahwa saat-saat idul fitri dan natal adalah saat 
yang sangat kita tunggu-tunggu? Ibuku akan membuat beragam penganan yang
 hanya ia buat di hari lebaran. Dulu, kita selalu merasa kekenyangan di 
saat-saat seperti ini. Kulihat kau pun senang jika bertandang ke rumahku
 bersama ayah ibumu. Selain dapat mencicipi aneka makanan yang belum 
pernah kau makan sebelumnya, ibuku pun biasanya membawakan beberapa 
bungkusan untuk kau bawa pulang. Kupikir kau hanya doyan makanan-makanan
 sejenis roti dan biskuit ala orang kota. Ternyata kau pun menyenangi 
makanan-makanan kampung, terutama yang khas daerah kami.
Begitu pula di saat natal. Ah, aku rindu mencicipi kue-kue manis 
dengan bentuk lucu-lucu buatan ibumu. Ada banyak toples biskuit yang 
berjajar di meja tamumu. Kadang kau mengambilkan beberapa untukku jika 
aku bermain ke rumahmu. Aku paling suka dengan kue yang diselimuti gula 
halus berwarna putih. Aku pun pernah membantumu menghias pohon natalmu, 
bukan? Seingatku, kau punya pohon natal tinggi yang hampir mencapai 
langit-langit. Saat natal berakhir, kau pernah memberiku sebuah lonceng 
kecil, sisa asesoris pohon natalmu. Katamu, lonceng itu untuk sepedaku 
yang memang tidak memiliki lonceng. Barangkali bagimu sepeda tanpa 
lonceng adalah masalah besar. Aku dapat memakluminya karena kau memang 
seringkali sewot tiap kali kubonceng. Kita selalu terpaksa 
berteriak-teriak jika hendak melintasi atau menyalip orang. Tapi bagiku 
tidaklah bermasalah jika aku harus berteriak-teriak sepanjang jalan asal
 aku memboncengmu. Aku selalu berdebar-debar, terutama jika kau 
berpegangan erat pada pinggangku.
Kita pun seringkali bersepeda menuju laut, terutama sore hari selepas
 pulang sekolah. Aku setia memboncengmu, sedang kau senantiasa 
bersenandung ria sepanjang perjalanan sambil melambai-lambaikan kakimu. 
Kunikmati setiap lagumu meski sesungguhnya aku tak tahu lagu apa itu. 
Kadang kita berhenti sejenak di sebuah warung, membeli satu dua es lilin
 untuk kemudian kita bawa sebagai bekal. Namun kau kerap menghabiskan 
jatahmu sebelum kita sampai. Dan aku tak pernah tega untuk tak memberimu
 jatah es lilinku yang hanya dua.
Bagi kita, bermain di pantai selalu mengasyikkan. Entah itu mencari 
kerang-kerang atau sekedar tidur-tiduran beralaskan pasir. Kau akan 
lebih banyak bercerita, sedang aku lebih senang mendengar. Tak jarang 
kita pun senang berkejar-kejaran. Kau selalu tertawa cekikikan jika 
kukejar, namun kau tak pernah sudi mengejarku. Acapkali kau berenang 
bersama teman-teman perempuanmu di tepi laut. Dari jauh, aku hanya 
mendengar derai tawa diantara kecipak-kecipuk kalian. Sebenarnya aku 
ingin sekali bergabung denganmu, tapi aku tak bisa berenang. Kau bilang 
kau pun tak bisa berenang. Tapi setidaknya kau masih bisa mengambang. 
Sedang aku, kurasa hanya bisa tenggelam.
Ngomong-ngomong soal tenggelam, masih ingatkah kau pada peristiwa 
yang menghebohkan itu? Barangkali kau dapat lupa, tapi aku takkan pernah
 dapat melupakannya. Kau mengajakku untuk pergi ke karang kembar 
(dikatakan karang kembar karena terdapat dua buah karang terjal 
menjulang yang sangat mirip, diantara hamparan karang-karang besar kecil
 yang mencuat di permukaan air laut). Letaknya tujuh puluh meter dari 
bibir pantai. Jika air laut penuh, hamparan karang-karang itu serupa 
pulau di tengah lautan. Namun jika surut, kita dapat berjalan 
menyeberanginya dengan kaki telanjang. Menurut cerita kawan-kawan, 
pemandangan disana jauh lebih indah karena terdapat sebuah gua kecil 
yang menembus karang tersebut. Disana pun terdapat banyak bintang laut 
dan kepiting yang terdampar, terselip diantara batu-batu karang.
Pada hari yang telah kita sepakati, sepulang sekolah, kita bertolak 
menuju pantai. Kebetulan saat itu airnya masih surut. Maka dengan 
bergegas dan berjingkat-jingkat kau menyeberangi daratan yang tersembul 
itu, sedang aku mengikutimu dari belakang. Dari jauh, dua karang hitam 
tersebut berdiri angkuh, menjulang seperti hendak menggapai langit biru.
 Setelah berjalan selama kurang lebih sepuluh menit, sampailah kita 
disana. Suasana terlihat sepi. Hanya terdengar kaokan camar yang terbang
 melintas-lintas. Di saat-saat tertentu, karang kembar biasanya ramai 
didatangi anak-anak. Tapi entah mengapa kali itu suasana begitu sepi. 
Kau bersemangat menuju sebuah lubang yang terdapat pada karang besar di 
sebelah selatan. Lubang itu menyerupai gua dan tembus ke sisi baliknya 
yang kemudian langsung dipertemukan oleh hamparan laut nan luas.
Sementara aku asyik melihat sekitar dan mengagumi kejernihan air laut
 yang menghijau, kau berteriak-teriak girang, memintaku menghampirimu. 
Sepertinya kau menemukan bagitu banyak bintang laut indah yang 
terdampar.  Aku sendiri sebenarnya malas mengikutimu karena aku telah 
terlanjur menemukan tempat yang nyaman untuk duduk-duduk sembari 
memandangi beningnya air laut, mengamati ombak yang memukul-mukul batu 
karang.
Kau tak lagi memanggil-manggilku. Aku pun tak lagi mendengar siul dan
 senandungmu. Suasana yang sepi itu hanya diramaikan oleh suara-suara 
alam yang lambat laun mulai terdengar mistis. Selintas ada semacam 
perasaan khawatir sekaligus takut yang menjalariku. Khawatir kepadamu 
yang tiba-tiba menghilang, juga takut pada suasana dimana kemudian aku 
menyadari aku sedang sendirian. Aku berdiri dan beranjak menuju ke arah 
gua batu karang itu. Sejenak aku merasa ragu karena kau pun tak 
kutemukan disana. Sepi itu semakin mencekam.
Tiba-tiba kudengar teriakanmu, memecah kesunyian. Aku tak tahu dimana
 kau berada, tapi dari arah suara aku menduga kau berada di balik batu 
karang itu. Mendengar teriakanmu, aku sudah membayangkan yang 
tidak-tidak tentangmu. Aku cemas kau terlibat dalam kesulitan.  “Ramu, 
Ramu.. Tolong aku!” Terdengar lagi lengking suaramu. Tak pelak jantungku
 berdegup semakin cepat. Aku benar-benar menjadi sangat khawatir. Aku 
benar-benar telah membayangkan hal buruk terjadi padamu.
Tanpa berpikir lagi, aku menapaki gua yang menganga itu. Hingga 
tembus ke sisi di balik karang, aku tak jua menemukanmu. Kepanikan makin
 menjalariku. Aku memanggil-manggil namamu, tapi tak kunjung ada 
sahutan. Hanya suaraku sendiri yang kudengar bergaung-gaung, menghantam 
karang, bersaing dengan riuh ombak. Aku berdiri di atas salah satu batu 
karang. Tepat di depanku aku sudah bersitatap dengan laut lepas. Mataku 
menyisir tiap-tiap sudut pandang, tapi tak jua kutemukan keberadaanmu. 
Kecemasanku makin memuncak.
Tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang mengambang di lautan. 
Berwarna merah muda, terombang-ambing dipermainkan riak air yang 
bergulung-gulung tenang. Aku langsung teringat kamu. Bukankah kamu 
sedang memakai baju merah muda? Kuamati semakin lekat. Ya, itu benar. 
Yang mengambang itu benar-benar baju merah mudamu! Aliran nafasku mulai 
terasa sesak. Telapak tanganku terasa semakin dingin. Keteganganku 
menjadi-jadi. Bagaimana jika yang mengambang itu adalah kamu? Bagaimana 
jika kamu…. tenggelam dan yang tersisa hanya bajumu? Seribu pertanyaan 
dan dugaan mendera-dera pikiranku. Aku dicekam ketakutan yang hebat. 
Bagaimana jika kamu hilang? Bagaimana jika kamu mati? Bagamana? Apa yang
 harus kukatakan pada ayah ibumu nanti? Aku sungguh tak mau kehilangan 
kamu. Aku belum siap untuk tidak melihat kamu. Air mataku menetes-netes 
berlinangan. Kurasakan bumi ini seperti bergoncang. Langit seperti 
hendak menimpaku. Lautan serasa hendak menggulungku. Apa yang ada di 
benak dan pikiranku hanyalah kamu, kamu, dan kamu! Aku tak lagi bisa 
berpikir apapun selain kamu! Tanpa pikir lebih panjang lagi, aku 
mengambil ancang-ancang di salah satu batu karang yang kuperkirakan 
lebih dekat dengan ‘kamu’ yang mengambang. Tanpa ragu lagi, kuputuskan 
untuk terjun ke bawah, menjemputmu, menyelamatkanmu.
Tubuhku yang ringkih meluncur ke bawah, menceburkan diri. Aku hanya 
berharap bahwa aku masih dapat menggapaimu, menolongmu, menyeretmu ke 
tepian. Aku akan melakukan apapun untuk menolongmu, tak peduli meski aku
 tak bisa berenang sekalipun. Tapi kurasa jika aku memusatkan pikiran 
untuk menggerak-gerakkan kaki dan tanganku, aku pasti berhasil. Bukankah
 seperti itu yang pernah kau katakan padaku? Dulu kau sering 
memaksa-maksa aku untuk belajar berenang. Kau bahkan berjanji untuk 
mengajariku berenang. Tapi aku selalu merasa malas, merasa belum perlu, 
dan sepertinya juga tak akan memerlukannya. Saat itu aku menyadari bahwa
 ternyata aku salah besar.
Kurasakan hawa dingin yang menyergapku saat air laut menyelimutiku. 
Aku terus meluncur ke bawah, menuju dasar laut. Aku benar-benar seperti 
batu yang terlempar ke kedalaman. Sungguh aku tak menduga jika laut yang
 semula kulihat tenang, bersahabat, dan tak dalam ternyata mampu 
menenggelamkanku. mataku berkerjap-kerjap tak bisa melihat apapun karena
 tak terbiasa dengan air asin. Kaki dan tanganku terus gerak-gerak tak 
tentu arah, tak berirama. Ketakutan mulai menjalari seluruh tubuhku yang
 makin kelelahan. Tanganku terus menggapai-gapai ke atas, tubuhku 
terombang-ambing dihempaskan gelombang, tanpa memiliki kesempatan 
sedikitpun untuk menentukan arah. Mulut dan perutku telah penuh dengan 
air yang terasa menjijikkan. Aku sudah tak lagi dapat menguasai diri. 
Kupikir, tamat sudah riwayatku. Namun di saat-saat aku sedang bertarung 
dengan maut, bayanganmu muncul dalam sekelebat-sekelebat. AKu mencoba 
untuk menyebut-nyebut namamu, seolah engkau adalah Tuhan yang hendak 
menolongku dengan keajaiban. Hingga kurasakan tenagaku makin terkuras, 
aku tahu bahwa aku takkan lagi sanggup bertahan. Seketika itu juga, 
semuanya berubah menjadi gelap.
Pendar cahaya yang tiba-tiba menyeruak membuatku silau. Samar-samar 
aku dapat melihat jelas sekitarku. Ada ayah dan ibu di sampingku. 
Kakak-kakakku dan juga adik-adikku merubungiku. Ada juga 
tetangga-tetangga yang kukenal baik. Seorang mantri yang bertugas di 
puskesmas sedang berdiri di pojok ruangan di sisi meja memberesi 
peralatan medisnya. Lamat-lamat aku dapat merasakan sendi-sendi tubuhku 
yang seperti baru saja diremukkan. “Lihat! Ramu sudah sadar!” Aku 
menangkap pekik suara ibu. Seketika orang-orang mendekat mengerumuni 
ranjangku. Aku terbatuk-batuk, dan ayah sigap memegangiku sambil 
mengambilkan segelas air untukku. Saat kuteguk air itu, tenggorokanku 
sakit luar biasa. Rasanya seperti menelan duri dan kau tak bisa 
mengeluarkannya lagi. Melalui orang-orang yang berbisik-bisik itulah 
lamat-lamat kuketahui hal ihwal yang telah menimpaku. Menurut ibu, aku 
telah pingsan selama kurang lebih satu jam. Para tetangga dan nelayan 
itulah yang menolongku, mengangkatku dari lautan yang nyaris 
menenggelamkanku.
Aku langsung teringat semuanya, terutama saat-saat terakhir sebelum 
aku pingsan. Aku teringat kamu. “Kisha, bagaimana dengan Kisha?” aku 
memberondong ibu dengan tak sabar. “Heh, kenapa kau justru 
mengkhawatirkan Kisha? Dia tidak apa-apa. Justru dia yang menolongmu 
dengan segera memanggil orang-orang. Jika ia tak lekas mencari 
pertolongan, kau pasti sudah dimakan paus, tahu!” kata ibu sewot. Ia 
tampak sedikit gemas padaku.
Esok hari, kau menjengukku. Saat muncul dari balik korden kamarku, 
wajahmu memberengut seolah-olah kau sedang amat marah kepadaku. Saat kau
 mendekat padaku, kau langsung mendampratku, menumpahkan kekesalanmu. 
“Dasar bodoh! Apa yang telah kau lakukan? Kau pikir dirimu seorang atlet
 renang hingga nekat menerjunkan diri ke laut seperti itu? Apa kau mau 
bunuh diri? Dasar tolol! Apa jadinya jika aku tak segera melihatmu!” 
Emosimu meletup-letup. Kau bahkan meninju lenganku meski dengan pelan. 
Aku tahu sesungguhnya kau tak berniat benar-benar marah padaku. “Tapi… 
bukankah kau yang… Aku terjun karena melihatmu mengambang… Kupikir kau 
yang tenggelam, makanya aku terjun untuk menyelamatkanmu…” Dengan susah 
payah, aku mencoba untuk menyelamu, membela diriku. “Tenggelam apanya? 
Dasar anak bodoh! Yang kau lihat mengambang itu adalah bajuku! Sewaktu 
aku bermain dan berenang-renang, angin telah menerbangkan bajuku ke 
tengah-tengah. Meski aku lebih pandai berenang daripada kamu, tapi aku 
tak punya keberanian untuk mengambilnya. Kemudian aku bermaksud untuk 
meminjam bajumu tapi aku malu menghampirimu karena aku sendiri tidak 
memakai baju. Makanya aku bersembunyi di balik karang dan memanggilmu 
dari kejauhan. Tapi seharusnya kau tahu dimana aku berada. Siapa 
menyangka jika kau justru nekat terjun ke lautan… Apa kau tidak berpikir
 bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa denganmu? Bukankah kau tahu 
bahwa dirimu sendiri tidak bisa berenang? Huh, gara-gara kamu terpaksa 
aku harus berlari-lari dengan tak mengenakan baju. Tapi mau bagaimana 
lagi? Jika aku tidak segera memanggil orang-orang kau akan mati.” Kau 
terus saja mencerocos tak habis-habis, mengulang-ulang kembali, dan aku 
hanya diam mendengar – seperti biasa.
Ah, betapa tololnya aku ini… Betapa pendeknya pikiranku… Aku merasa 
sedikit bersalah terhadapmu karena telah merepotkanmu begitu rupa. Tapi 
kalau kupikir-pikir, momen yang telah terjadi itu begitu indah, begitu 
dramatis, dan aku tahu ini akan menjadi kenangan indahku. Ada sisa rasa 
manis yang kukecap dari kejadian buruk yang telah menimpaku. Aku senang 
karena ternyata kau begitu mengkhawatirkanku, mencemaskanku. “Memangnya…
 apa kau takut jika aku mati?” tanyaku iseng kepadamu. Sejenak kamu 
terdiam, tak segera menjawab. Aku jadi salah tingkah, sadar telah 
memberimu pertanyaan konyol. “Tentu saja aku takut! Bagaimana kalau 
nanti hantumu terus menghantuiku seumur hidupku?” Jawabmu dengan 
membeliakkan mata. Melihatmu dan mendengar jawabanmu, aku tak dapat 
menahan tawa. Kau selalu berhasil menghiburku dengan caramu. “Lagipula, 
siapa nanti yang akan menjadi temanku?” sambungmu lirih. Kemudian kamu 
tersenyum padaku. Senyum yang manis sekali.
Kisha yang manis,
Meski waktu itu aku tampak sedemikian konyol di depanmu, di depan 
orang-orang, di depan kedua orangtuaku, namun kini kusadari bahwa aku 
harus bersyukur atas kejadian itu. Kurasa aku benar-benar melakukan hal 
tepat dengan menerjunkan diri ke lautan. Andai saja tidak demikian, 
tentu aku tak akan pernah memiliki cerita indah yang kan kubuat sebagai 
kenangan. Asal engkau tahu, tindakanku yang bodoh dan konyol itu memang 
semata-mata kulakukan karena cinta, karena rasa sayangku terhadapmu. 
Karena aku takut kehilangan kamu. Terserah jika kau hendak mengolokku 
dengan sebutan gila. Tapi andai kau pernah mengalami rasa cinta, kau 
akan segera memahami – bahwa cinta itu memang membuat orang waras 
berpikir dan bertindak seperti orang gila. Aku jadi tahu bahwa di 
saat-saat tertentu, aku tak lagi dapat memikirkan apapun selain hanya 
memikirkanmu. Kamulah ratu yang berkuasa atas benak, harapan, dan 
impianku. Andai aku tak terjun ke laut, aku takkan pernah dapat 
membuktikan padamu betapa sesungguhnya anak yang kecil dan ringkih ini 
menyimpan cinta yang sedemikian besar. Saat memikirkanmu, aku tak lagi 
peduli pada hidup ataupun mati. Aku tak lagi peduli pada keselamatan 
maupun kemalangan. Bagiku, melakukan sesuatu untukmu, berkorban apapun 
untukmu, adalah perwujudan nyata dari besarnya cintaku.
Segala apa yang kukatakan ini memang terucap dari seorang lelaki 
berusia empat puluh lima tahun. Ramu kecil takkan dapat merangkai 
kata-kata seperti ini — melainkan hanya sekedar dapat merasakan. Namun 
ketahuilah, bahwa apa yang kuucap dan kuungkap saat ini adalah 
pengejawantahan atas perasaan Ramu kecil yang memendam cinta kepadamu. 
Barangkali saat itu, Kisha kecil pun takkan memahaminya. Lagipula, aku 
pun tak bermaksud untuk terburu-buru mengusikmu. Cukuplah itu semua 
sebagai bagian dari mengenali diriku sendiri. Ketika aku tahu bahwa 
diriku pun dapat menjadi seorang ksatria berkuda putih yang membawakan 
setangkai mawar setelah melewati ladang api yang berkobar-kobar, itu 
sudah membuatku cukup bahagia. Sangat bahagia.
Selain itu, jika aku tak menenggelamkan diri, aku takkan pernah 
merasakan kedekatan yang begitu intim denganmu. Aku sudah merasa sangat 
bahagia ketika kau duduk di sisi ranjangku, menatapku dengan pandangan 
iba dan penuh belas kasih, sesekali mengambil jeruk dan mengupasnya 
untukku. Kau pun membawakan buku-buku cerita barumu yang takkan sudi kau
 pinjamkan jika aku tidak sakit seperti itu. Bukankah itu indah? 
Bukankah itu romantis? Yeah… tak mengapa, meski keindahan dan 
keromantisan itu hanya kurasakan sendiri saja. Saat itu, aku justru 
berharap supaya aku tak lekas pulih. Karena saat aku sehat dan bermain 
denganmu, kau hanya akan berlari-lari mengitariku atau menyuruhku 
mengejar-ngejar kamu. Itu cukup melelahkan. Tapi sekali lagi kutekankan,
 apapun keadaannya, asal bersamamu, semua terasa menyenangkan.
Kisha yang kupuja,
Kini kau tahu seberapa dalam aku telah menancapkan cintaku di dasar 
hatiku, dan itu terjadi sejak awal mula. Apakah kau menilaiku terlalu 
berlebihan? Apakah kau mengira bahwa anak kelas enam tak sepatutnya 
merasakan hal-hal demikian? Mungkin karena kamu memang belum pernah 
merasakannya saat itu. Kau masih belum pernah jatuh cinta. Beruntunglah 
kamu, karena kadangkala cinta itu juga merupakan siksaan. Tapi ayolah, 
Kisha… Bukankah teman-teman kita sudah gemar saling membicarakan lawan 
jenis? Mungkin masalah-masalah seperti ini sepatutnya memang hanya 
berdengung diantara gemerisik bisik-bisik saja. Masih jarang yang 
memiliki nyali dan keberanian seperti yang pernah dilakukan Romi, yang 
telah kuceritakan pada surat sebelumnya. Dan aku, hanya satu diantara 
sekian banyak yang terserak, yang sekedar mampu memendam cintanya 
dalam-dalam, dalam kesenyapan.
Lega rasanya menungkap semua ini, meski aku pun tak berharap apapun 
lagi darimu. Bagaimanapun, kebijakan waktu tetap berlaku. Setelah 
berpuluh-puluh tahun terlewati, hal-hal yang telah kuceritakan kembali 
kini hanya menjadi semacam ulasan kenangan yang menghibur kita yang 
telah beranjak menua. Adakah senyum yang sempat terbersit di bibirmu, 
Kisha? Apakah kau tersenyum karena kekonyolanku? Apakah kau masih 
menertawai kebodohanku? Jika saat ini aku sedang berada di dekatmu, 
tentu aku akan ikut tersenyum dan tertawa bersamamu.
Ah, sialnya, saat ini aku jadi benar-benar merindukan senyummu, Kisha!
Mungkin lebih baik aku tidur sejenak. Siapa tahu aku masih dapat 
menjumpai senyum indah dan tawa renyahmu dalam mimpiku. Aku tak lagi 
berharap apapun pada kenyataan, tapi setidaknya aku masih memiliki 
harapan untuk kembali mengulang masa kecil dan keriangan kita di alam 
mimpi. Apalagi yang tersisa?
Istirahatlah, Kisha. Segarkan kembali pikiranmu. Kumohon jangan 
berpikir dan berprasangka apa-apa dulu terhadapku. Suratku masih amat 
panjang, dan masih banyak yang ingin kuceritakan padamu. Kuharap kau 
masih sudi membaca surat-suratku yang akan datang, dan aku akan 
berterima kasih sekali atas waktu luangmu. Nyamankan tempat tidurmu, 
basuhlah wajah cantikmu, dan aku akan senantiasa berdoa semoga kau 
mendapatkan mimpi terindah seperti yang kau harapkan.
Dari yang memujamu,
A. Ramu
ditulis oleh @bintangberkisah
 
No comments:
Post a Comment