19 January 2012

Manisnya Pengorbanan

Sekuntum mawar, takkan pernah mengetahui keindahan
Jika ia tak menemukan seorang pemuja yang penuh cinta

Kisha yang cantik,

Semoga kamu mulai terbiasa dengan kehadiranku, ya.. Maksudku kehadiran surat-suratku. Tapi barangkali menurutmu surat-surat cinta ini seharusnya kukirimkan saat kita masih duduk di bangku sekolah menengah, saat kita sedang terbakar gairah. Kadang aku kesal jika mengetahui bahwa orang-orang semacam kita sudah dinilai tak lagi patut merajut sisi romantika. Mengapa itu hanya dimonopoli anak-anak muda saja? Tapi, ah sudahlah… Bukankah sudah kukatakan berulang kali bahwa nyaliku baru lahir pada saat ini. Lagipula, selalu tak ada kata terlambat untuk memulai atau melakukan sesuatu, bukan?

Andai saja kita benar-benar dapat menjejakkan kaki pada waktu yang telah lalu, Pasti aku akan memilih untuk pergi ke Sammoa, saat aku masih dapat menjumpaimu disana. Jika dibanding kesempatanku hidup di dunia, kesempatan kita bersama-sama ternyata singkat sekali. Namun andaikata memang singkat, mengapa rindu yang kutanggung sedemikian besar? Apakah karena aku telah menyerahkan singgasana hatiku kepadamu, Kisha? Karena rindu kepadamu, aku pun jadi merindukan semua-muanya yang pernah berkaitan denganmu, yang pernah melekat pada kebersamaan kita. Aku rindu tempat kelahiranku, rindu rumahku dulu, rindu pantai tempat kita bermain dulu, rindu pada sekolah, guru, pun teman-teman kita dulu.

Sejak aku meninggalkan Sammoa, semua yang kudapat kemudian tak lagi sama. Keindahan yang pernah kukecap tak lagi pernah kurasakan. Meski telah menempati berbagai rumah yang berbeda, namun rumah paling indah dan menyenangkan yang pernah kutinggali hanyalah rumah di Sammoa. Bukan hanya karena aku bertetangga denganmu. Tapi semua yang ada disana, apapun yang ada di Sammoa, ternyata tidaklah ada menandingi. Terutama pantainya, selalu membuatku nyaman. Masyarakatnya, selalu membuatku tentram. Meski ayahku bukanlah nelayan seperti kebanyakan, namun aku merasa damai membaur dengan kehidupan pesisir. Kami pun tak pernah takut pada apapun meski kami adalah golongan minoritas. Kau pun tahu bahwa nyaris sebagian penduduk di pulau itu adalah umat Kristiani. Hanya kampung Sammoa dan beberapa kampung yang terletak di pesisir lah yang memiliki lebih banyak penduduk muslim, termasuk keluargaku. Tapi kami benar-benar tak pernah bermasalah dengan perbedaan-perbedaan ini. Melihat corak kehidupan di Sammoa, aku jadi tahu betul jawaban – apa yang membuat bumi ini menjadi lebih indah, aman, tentram, dan damai. Tiada yang lain selain rasa saling menghormati, menghargai, dan tolong-menolong.
Masih ingatkah kau, bahwa saat-saat idul fitri dan natal adalah saat yang sangat kita tunggu-tunggu? Ibuku akan membuat beragam penganan yang hanya ia buat di hari lebaran. Dulu, kita selalu merasa kekenyangan di saat-saat seperti ini. Kulihat kau pun senang jika bertandang ke rumahku bersama ayah ibumu. Selain dapat mencicipi aneka makanan yang belum pernah kau makan sebelumnya, ibuku pun biasanya membawakan beberapa bungkusan untuk kau bawa pulang. Kupikir kau hanya doyan makanan-makanan sejenis roti dan biskuit ala orang kota. Ternyata kau pun menyenangi makanan-makanan kampung, terutama yang khas daerah kami.

Begitu pula di saat natal. Ah, aku rindu mencicipi kue-kue manis dengan bentuk lucu-lucu buatan ibumu. Ada banyak toples biskuit yang berjajar di meja tamumu. Kadang kau mengambilkan beberapa untukku jika aku bermain ke rumahmu. Aku paling suka dengan kue yang diselimuti gula halus berwarna putih. Aku pun pernah membantumu menghias pohon natalmu, bukan? Seingatku, kau punya pohon natal tinggi yang hampir mencapai langit-langit. Saat natal berakhir, kau pernah memberiku sebuah lonceng kecil, sisa asesoris pohon natalmu. Katamu, lonceng itu untuk sepedaku yang memang tidak memiliki lonceng. Barangkali bagimu sepeda tanpa lonceng adalah masalah besar. Aku dapat memakluminya karena kau memang seringkali sewot tiap kali kubonceng. Kita selalu terpaksa berteriak-teriak jika hendak melintasi atau menyalip orang. Tapi bagiku tidaklah bermasalah jika aku harus berteriak-teriak sepanjang jalan asal aku memboncengmu. Aku selalu berdebar-debar, terutama jika kau berpegangan erat pada pinggangku.

Kita pun seringkali bersepeda menuju laut, terutama sore hari selepas pulang sekolah. Aku setia memboncengmu, sedang kau senantiasa bersenandung ria sepanjang perjalanan sambil melambai-lambaikan kakimu. Kunikmati setiap lagumu meski sesungguhnya aku tak tahu lagu apa itu. Kadang kita berhenti sejenak di sebuah warung, membeli satu dua es lilin untuk kemudian kita bawa sebagai bekal. Namun kau kerap menghabiskan jatahmu sebelum kita sampai. Dan aku tak pernah tega untuk tak memberimu jatah es lilinku yang hanya dua.

Bagi kita, bermain di pantai selalu mengasyikkan. Entah itu mencari kerang-kerang atau sekedar tidur-tiduran beralaskan pasir. Kau akan lebih banyak bercerita, sedang aku lebih senang mendengar. Tak jarang kita pun senang berkejar-kejaran. Kau selalu tertawa cekikikan jika kukejar, namun kau tak pernah sudi mengejarku. Acapkali kau berenang bersama teman-teman perempuanmu di tepi laut. Dari jauh, aku hanya mendengar derai tawa diantara kecipak-kecipuk kalian. Sebenarnya aku ingin sekali bergabung denganmu, tapi aku tak bisa berenang. Kau bilang kau pun tak bisa berenang. Tapi setidaknya kau masih bisa mengambang. Sedang aku, kurasa hanya bisa tenggelam.

Ngomong-ngomong soal tenggelam, masih ingatkah kau pada peristiwa yang menghebohkan itu? Barangkali kau dapat lupa, tapi aku takkan pernah dapat melupakannya. Kau mengajakku untuk pergi ke karang kembar (dikatakan karang kembar karena terdapat dua buah karang terjal menjulang yang sangat mirip, diantara hamparan karang-karang besar kecil yang mencuat di permukaan air laut). Letaknya tujuh puluh meter dari bibir pantai. Jika air laut penuh, hamparan karang-karang itu serupa pulau di tengah lautan. Namun jika surut, kita dapat berjalan menyeberanginya dengan kaki telanjang. Menurut cerita kawan-kawan, pemandangan disana jauh lebih indah karena terdapat sebuah gua kecil yang menembus karang tersebut. Disana pun terdapat banyak bintang laut dan kepiting yang terdampar, terselip diantara batu-batu karang.

Pada hari yang telah kita sepakati, sepulang sekolah, kita bertolak menuju pantai. Kebetulan saat itu airnya masih surut. Maka dengan bergegas dan berjingkat-jingkat kau menyeberangi daratan yang tersembul itu, sedang aku mengikutimu dari belakang. Dari jauh, dua karang hitam tersebut berdiri angkuh, menjulang seperti hendak menggapai langit biru. Setelah berjalan selama kurang lebih sepuluh menit, sampailah kita disana. Suasana terlihat sepi. Hanya terdengar kaokan camar yang terbang melintas-lintas. Di saat-saat tertentu, karang kembar biasanya ramai didatangi anak-anak. Tapi entah mengapa kali itu suasana begitu sepi. Kau bersemangat menuju sebuah lubang yang terdapat pada karang besar di sebelah selatan. Lubang itu menyerupai gua dan tembus ke sisi baliknya yang kemudian langsung dipertemukan oleh hamparan laut nan luas.

Sementara aku asyik melihat sekitar dan mengagumi kejernihan air laut yang menghijau, kau berteriak-teriak girang, memintaku menghampirimu. Sepertinya kau menemukan bagitu banyak bintang laut indah yang terdampar.  Aku sendiri sebenarnya malas mengikutimu karena aku telah terlanjur menemukan tempat yang nyaman untuk duduk-duduk sembari memandangi beningnya air laut, mengamati ombak yang memukul-mukul batu karang.

Kau tak lagi memanggil-manggilku. Aku pun tak lagi mendengar siul dan senandungmu. Suasana yang sepi itu hanya diramaikan oleh suara-suara alam yang lambat laun mulai terdengar mistis. Selintas ada semacam perasaan khawatir sekaligus takut yang menjalariku. Khawatir kepadamu yang tiba-tiba menghilang, juga takut pada suasana dimana kemudian aku menyadari aku sedang sendirian. Aku berdiri dan beranjak menuju ke arah gua batu karang itu. Sejenak aku merasa ragu karena kau pun tak kutemukan disana. Sepi itu semakin mencekam.

Tiba-tiba kudengar teriakanmu, memecah kesunyian. Aku tak tahu dimana kau berada, tapi dari arah suara aku menduga kau berada di balik batu karang itu. Mendengar teriakanmu, aku sudah membayangkan yang tidak-tidak tentangmu. Aku cemas kau terlibat dalam kesulitan.  “Ramu, Ramu.. Tolong aku!” Terdengar lagi lengking suaramu. Tak pelak jantungku berdegup semakin cepat. Aku benar-benar menjadi sangat khawatir. Aku benar-benar telah membayangkan hal buruk terjadi padamu.

Tanpa berpikir lagi, aku menapaki gua yang menganga itu. Hingga tembus ke sisi di balik karang, aku tak jua menemukanmu. Kepanikan makin menjalariku. Aku memanggil-manggil namamu, tapi tak kunjung ada sahutan. Hanya suaraku sendiri yang kudengar bergaung-gaung, menghantam karang, bersaing dengan riuh ombak. Aku berdiri di atas salah satu batu karang. Tepat di depanku aku sudah bersitatap dengan laut lepas. Mataku menyisir tiap-tiap sudut pandang, tapi tak jua kutemukan keberadaanmu. Kecemasanku makin memuncak.

Tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang mengambang di lautan. Berwarna merah muda, terombang-ambing dipermainkan riak air yang bergulung-gulung tenang. Aku langsung teringat kamu. Bukankah kamu sedang memakai baju merah muda? Kuamati semakin lekat. Ya, itu benar. Yang mengambang itu benar-benar baju merah mudamu! Aliran nafasku mulai terasa sesak. Telapak tanganku terasa semakin dingin. Keteganganku menjadi-jadi. Bagaimana jika yang mengambang itu adalah kamu? Bagaimana jika kamu…. tenggelam dan yang tersisa hanya bajumu? Seribu pertanyaan dan dugaan mendera-dera pikiranku. Aku dicekam ketakutan yang hebat. Bagaimana jika kamu hilang? Bagaimana jika kamu mati? Bagamana? Apa yang harus kukatakan pada ayah ibumu nanti? Aku sungguh tak mau kehilangan kamu. Aku belum siap untuk tidak melihat kamu. Air mataku menetes-netes berlinangan. Kurasakan bumi ini seperti bergoncang. Langit seperti hendak menimpaku. Lautan serasa hendak menggulungku. Apa yang ada di benak dan pikiranku hanyalah kamu, kamu, dan kamu! Aku tak lagi bisa berpikir apapun selain kamu! Tanpa pikir lebih panjang lagi, aku mengambil ancang-ancang di salah satu batu karang yang kuperkirakan lebih dekat dengan ‘kamu’ yang mengambang. Tanpa ragu lagi, kuputuskan untuk terjun ke bawah, menjemputmu, menyelamatkanmu.

Tubuhku yang ringkih meluncur ke bawah, menceburkan diri. Aku hanya berharap bahwa aku masih dapat menggapaimu, menolongmu, menyeretmu ke tepian. Aku akan melakukan apapun untuk menolongmu, tak peduli meski aku tak bisa berenang sekalipun. Tapi kurasa jika aku memusatkan pikiran untuk menggerak-gerakkan kaki dan tanganku, aku pasti berhasil. Bukankah seperti itu yang pernah kau katakan padaku? Dulu kau sering memaksa-maksa aku untuk belajar berenang. Kau bahkan berjanji untuk mengajariku berenang. Tapi aku selalu merasa malas, merasa belum perlu, dan sepertinya juga tak akan memerlukannya. Saat itu aku menyadari bahwa ternyata aku salah besar.

Kurasakan hawa dingin yang menyergapku saat air laut menyelimutiku. Aku terus meluncur ke bawah, menuju dasar laut. Aku benar-benar seperti batu yang terlempar ke kedalaman. Sungguh aku tak menduga jika laut yang semula kulihat tenang, bersahabat, dan tak dalam ternyata mampu menenggelamkanku. mataku berkerjap-kerjap tak bisa melihat apapun karena tak terbiasa dengan air asin. Kaki dan tanganku terus gerak-gerak tak tentu arah, tak berirama. Ketakutan mulai menjalari seluruh tubuhku yang makin kelelahan. Tanganku terus menggapai-gapai ke atas, tubuhku terombang-ambing dihempaskan gelombang, tanpa memiliki kesempatan sedikitpun untuk menentukan arah. Mulut dan perutku telah penuh dengan air yang terasa menjijikkan. Aku sudah tak lagi dapat menguasai diri. Kupikir, tamat sudah riwayatku. Namun di saat-saat aku sedang bertarung dengan maut, bayanganmu muncul dalam sekelebat-sekelebat. AKu mencoba untuk menyebut-nyebut namamu, seolah engkau adalah Tuhan yang hendak menolongku dengan keajaiban. Hingga kurasakan tenagaku makin terkuras, aku tahu bahwa aku takkan lagi sanggup bertahan. Seketika itu juga, semuanya berubah menjadi gelap.

Pendar cahaya yang tiba-tiba menyeruak membuatku silau. Samar-samar aku dapat melihat jelas sekitarku. Ada ayah dan ibu di sampingku. Kakak-kakakku dan juga adik-adikku merubungiku. Ada juga tetangga-tetangga yang kukenal baik. Seorang mantri yang bertugas di puskesmas sedang berdiri di pojok ruangan di sisi meja memberesi peralatan medisnya. Lamat-lamat aku dapat merasakan sendi-sendi tubuhku yang seperti baru saja diremukkan. “Lihat! Ramu sudah sadar!” Aku menangkap pekik suara ibu. Seketika orang-orang mendekat mengerumuni ranjangku. Aku terbatuk-batuk, dan ayah sigap memegangiku sambil mengambilkan segelas air untukku. Saat kuteguk air itu, tenggorokanku sakit luar biasa. Rasanya seperti menelan duri dan kau tak bisa mengeluarkannya lagi. Melalui orang-orang yang berbisik-bisik itulah lamat-lamat kuketahui hal ihwal yang telah menimpaku. Menurut ibu, aku telah pingsan selama kurang lebih satu jam. Para tetangga dan nelayan itulah yang menolongku, mengangkatku dari lautan yang nyaris menenggelamkanku.

Aku langsung teringat semuanya, terutama saat-saat terakhir sebelum aku pingsan. Aku teringat kamu. “Kisha, bagaimana dengan Kisha?” aku memberondong ibu dengan tak sabar. “Heh, kenapa kau justru mengkhawatirkan Kisha? Dia tidak apa-apa. Justru dia yang menolongmu dengan segera memanggil orang-orang. Jika ia tak lekas mencari pertolongan, kau pasti sudah dimakan paus, tahu!” kata ibu sewot. Ia tampak sedikit gemas padaku.

Esok hari, kau menjengukku. Saat muncul dari balik korden kamarku, wajahmu memberengut seolah-olah kau sedang amat marah kepadaku. Saat kau mendekat padaku, kau langsung mendampratku, menumpahkan kekesalanmu. “Dasar bodoh! Apa yang telah kau lakukan? Kau pikir dirimu seorang atlet renang hingga nekat menerjunkan diri ke laut seperti itu? Apa kau mau bunuh diri? Dasar tolol! Apa jadinya jika aku tak segera melihatmu!” Emosimu meletup-letup. Kau bahkan meninju lenganku meski dengan pelan. Aku tahu sesungguhnya kau tak berniat benar-benar marah padaku. “Tapi… bukankah kau yang… Aku terjun karena melihatmu mengambang… Kupikir kau yang tenggelam, makanya aku terjun untuk menyelamatkanmu…” Dengan susah payah, aku mencoba untuk menyelamu, membela diriku. “Tenggelam apanya? Dasar anak bodoh! Yang kau lihat mengambang itu adalah bajuku! Sewaktu aku bermain dan berenang-renang, angin telah menerbangkan bajuku ke tengah-tengah. Meski aku lebih pandai berenang daripada kamu, tapi aku tak punya keberanian untuk mengambilnya. Kemudian aku bermaksud untuk meminjam bajumu tapi aku malu menghampirimu karena aku sendiri tidak memakai baju. Makanya aku bersembunyi di balik karang dan memanggilmu dari kejauhan. Tapi seharusnya kau tahu dimana aku berada. Siapa menyangka jika kau justru nekat terjun ke lautan… Apa kau tidak berpikir bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa denganmu? Bukankah kau tahu bahwa dirimu sendiri tidak bisa berenang? Huh, gara-gara kamu terpaksa aku harus berlari-lari dengan tak mengenakan baju. Tapi mau bagaimana lagi? Jika aku tidak segera memanggil orang-orang kau akan mati.” Kau terus saja mencerocos tak habis-habis, mengulang-ulang kembali, dan aku hanya diam mendengar – seperti biasa.

Ah, betapa tololnya aku ini… Betapa pendeknya pikiranku… Aku merasa sedikit bersalah terhadapmu karena telah merepotkanmu begitu rupa. Tapi kalau kupikir-pikir, momen yang telah terjadi itu begitu indah, begitu dramatis, dan aku tahu ini akan menjadi kenangan indahku. Ada sisa rasa manis yang kukecap dari kejadian buruk yang telah menimpaku. Aku senang karena ternyata kau begitu mengkhawatirkanku, mencemaskanku. “Memangnya… apa kau takut jika aku mati?” tanyaku iseng kepadamu. Sejenak kamu terdiam, tak segera menjawab. Aku jadi salah tingkah, sadar telah memberimu pertanyaan konyol. “Tentu saja aku takut! Bagaimana kalau nanti hantumu terus menghantuiku seumur hidupku?” Jawabmu dengan membeliakkan mata. Melihatmu dan mendengar jawabanmu, aku tak dapat menahan tawa. Kau selalu berhasil menghiburku dengan caramu. “Lagipula, siapa nanti yang akan menjadi temanku?” sambungmu lirih. Kemudian kamu tersenyum padaku. Senyum yang manis sekali.

Kisha yang manis,

Meski waktu itu aku tampak sedemikian konyol di depanmu, di depan orang-orang, di depan kedua orangtuaku, namun kini kusadari bahwa aku harus bersyukur atas kejadian itu. Kurasa aku benar-benar melakukan hal tepat dengan menerjunkan diri ke lautan. Andai saja tidak demikian, tentu aku tak akan pernah memiliki cerita indah yang kan kubuat sebagai kenangan. Asal engkau tahu, tindakanku yang bodoh dan konyol itu memang semata-mata kulakukan karena cinta, karena rasa sayangku terhadapmu. Karena aku takut kehilangan kamu. Terserah jika kau hendak mengolokku dengan sebutan gila. Tapi andai kau pernah mengalami rasa cinta, kau akan segera memahami – bahwa cinta itu memang membuat orang waras berpikir dan bertindak seperti orang gila. Aku jadi tahu bahwa di saat-saat tertentu, aku tak lagi dapat memikirkan apapun selain hanya memikirkanmu. Kamulah ratu yang berkuasa atas benak, harapan, dan impianku. Andai aku tak terjun ke laut, aku takkan pernah dapat membuktikan padamu betapa sesungguhnya anak yang kecil dan ringkih ini menyimpan cinta yang sedemikian besar. Saat memikirkanmu, aku tak lagi peduli pada hidup ataupun mati. Aku tak lagi peduli pada keselamatan maupun kemalangan. Bagiku, melakukan sesuatu untukmu, berkorban apapun untukmu, adalah perwujudan nyata dari besarnya cintaku.

Segala apa yang kukatakan ini memang terucap dari seorang lelaki berusia empat puluh lima tahun. Ramu kecil takkan dapat merangkai kata-kata seperti ini — melainkan hanya sekedar dapat merasakan. Namun ketahuilah, bahwa apa yang kuucap dan kuungkap saat ini adalah pengejawantahan atas perasaan Ramu kecil yang memendam cinta kepadamu. Barangkali saat itu, Kisha kecil pun takkan memahaminya. Lagipula, aku pun tak bermaksud untuk terburu-buru mengusikmu. Cukuplah itu semua sebagai bagian dari mengenali diriku sendiri. Ketika aku tahu bahwa diriku pun dapat menjadi seorang ksatria berkuda putih yang membawakan setangkai mawar setelah melewati ladang api yang berkobar-kobar, itu sudah membuatku cukup bahagia. Sangat bahagia.

Selain itu, jika aku tak menenggelamkan diri, aku takkan pernah merasakan kedekatan yang begitu intim denganmu. Aku sudah merasa sangat bahagia ketika kau duduk di sisi ranjangku, menatapku dengan pandangan iba dan penuh belas kasih, sesekali mengambil jeruk dan mengupasnya untukku. Kau pun membawakan buku-buku cerita barumu yang takkan sudi kau pinjamkan jika aku tidak sakit seperti itu. Bukankah itu indah? Bukankah itu romantis? Yeah… tak mengapa, meski keindahan dan keromantisan itu hanya kurasakan sendiri saja. Saat itu, aku justru berharap supaya aku tak lekas pulih. Karena saat aku sehat dan bermain denganmu, kau hanya akan berlari-lari mengitariku atau menyuruhku mengejar-ngejar kamu. Itu cukup melelahkan. Tapi sekali lagi kutekankan, apapun keadaannya, asal bersamamu, semua terasa menyenangkan.

Kisha yang kupuja,

Kini kau tahu seberapa dalam aku telah menancapkan cintaku di dasar hatiku, dan itu terjadi sejak awal mula. Apakah kau menilaiku terlalu berlebihan? Apakah kau mengira bahwa anak kelas enam tak sepatutnya merasakan hal-hal demikian? Mungkin karena kamu memang belum pernah merasakannya saat itu. Kau masih belum pernah jatuh cinta. Beruntunglah kamu, karena kadangkala cinta itu juga merupakan siksaan. Tapi ayolah, Kisha… Bukankah teman-teman kita sudah gemar saling membicarakan lawan jenis? Mungkin masalah-masalah seperti ini sepatutnya memang hanya berdengung diantara gemerisik bisik-bisik saja. Masih jarang yang memiliki nyali dan keberanian seperti yang pernah dilakukan Romi, yang telah kuceritakan pada surat sebelumnya. Dan aku, hanya satu diantara sekian banyak yang terserak, yang sekedar mampu memendam cintanya dalam-dalam, dalam kesenyapan.

Lega rasanya menungkap semua ini, meski aku pun tak berharap apapun lagi darimu. Bagaimanapun, kebijakan waktu tetap berlaku. Setelah berpuluh-puluh tahun terlewati, hal-hal yang telah kuceritakan kembali kini hanya menjadi semacam ulasan kenangan yang menghibur kita yang telah beranjak menua. Adakah senyum yang sempat terbersit di bibirmu, Kisha? Apakah kau tersenyum karena kekonyolanku? Apakah kau masih menertawai kebodohanku? Jika saat ini aku sedang berada di dekatmu, tentu aku akan ikut tersenyum dan tertawa bersamamu.

Ah, sialnya, saat ini aku jadi benar-benar merindukan senyummu, Kisha!

Mungkin lebih baik aku tidur sejenak. Siapa tahu aku masih dapat menjumpai senyum indah dan tawa renyahmu dalam mimpiku. Aku tak lagi berharap apapun pada kenyataan, tapi setidaknya aku masih memiliki harapan untuk kembali mengulang masa kecil dan keriangan kita di alam mimpi. Apalagi yang tersisa?

Istirahatlah, Kisha. Segarkan kembali pikiranmu. Kumohon jangan berpikir dan berprasangka apa-apa dulu terhadapku. Suratku masih amat panjang, dan masih banyak yang ingin kuceritakan padamu. Kuharap kau masih sudi membaca surat-suratku yang akan datang, dan aku akan berterima kasih sekali atas waktu luangmu. Nyamankan tempat tidurmu, basuhlah wajah cantikmu, dan aku akan senantiasa berdoa semoga kau mendapatkan mimpi terindah seperti yang kau harapkan.

Dari yang memujamu,

A. Ramu

ditulis oleh @bintangberkisah

No comments:

Post a Comment