Kepada seseorang di Makassar: @aanmansyur a.k.a @hurufkecil
Kamu, yang baru saja merayakan berkurangnya jatah hidup sekali lagi. 
Ya, kamu di sana, yang terpisah oleh lautan di pulau seberang. Namamu? 
Aan Mansyur. Nama depanmu itu persis nama panggilanku. Bagus, setidaknya
 kita mirip.
Apa kabar? Meski baru sekali berjumpa, seolah telah lama kita 
dipertemukan. Entahlah, rasanya akrab setiap kali kutelusuri jejakmu di 
linimasa. Oh ya, akulah yang pertama kali menguntitmu karena jatuh cinta
 pada puisimu di harian terbesar negeri ini pada tahun 2010.
Puisimu itu sebenarnya terlampau sederhana. Tetapi menjadi bermakna 
karena pilihan diksi yang seksi. Menurutku. Hingga aku membayangkan 
jatuh cinta pada lautan aksaramu berkali-kali setiap hari.
Kubayangkan kamu sesosok seniman dengan rambut tergerai gondrong, 
urakan, cuek, mengepulkan asap nikotin tiada henti, dan bergelas-gelas 
kopi pengusir penat atau pemanggil inspirasi. Nyata yang kulihat 
tidaklah demikian. Aan yang tampak membuyarkan semua lamunanku.
Ajarkan aku cara menelanjangi puisi / syair / sajak / atau apalah itu
 namanya. Bagaimana bisa kamu menemukan satu kata yang bisa 
menerjemahkan satu kalimat? Mengapa setiap baitnya mampu membangkitkan 
gairahku? Lantas apakah kau mau bertanggungjawab atas orgasme aksaraku 
hingga ingin rasanya kupecahkan kepalamu. Kemudian kucari segala sebab 
yang menjadikanmu maestro.
Duhai pria dengan avatar tomat dan enggan memakai huruf kapital,
Apakah aku bisa menjabarkan segala tentangmu hanya dalam sebuah surat 
ini saja? Berlembar pun mungkin tak cukup. Oh, baiklah bila ini dianggap
 lebay dan aneh. Tetapi kamulah gerbang pertamaku untuk melangkah masuk 
ke ranah sastra lebih jauh lagi. Sebuah pulau yang tak asing bagiku 
namun tak pernah mau kudekati. Sastra selalu terlihat rumit dalam 
pusaran aksara yang tak lebih dari 30 huruf itu.
Hey Aan,
Aku memang sedang berjuang merayumu dengan kalimat berbelit dan memutar.
 Ingin menguji diriku sendiri apakah pantas kalimatku ini bersanding 
dengan kalimatmu? Begitu saja dan yah, sebenarnya tidaklah rumit. Hanya 
norak.
Ah!
Sebaiknya kusudahi saja surat cinta yang sudah membuatmu mual ini, ya? 
Tak ada gunanya pula aku memecah batok kepalamu. Hanya berisi otak 
berlendir seorang pria kurus berkacamata. Tak lebih. Mungkin kamu 
keturunan Socrates atau Plato. Entah!
Terima kasih karena kamu sudah menjadi guru renangku di kolam dangkal
 bernama twitterland. Setidaknya bila suatu saat aku harus ke lautan, 
tak akan tenggelam siasia.
Depok, Januari 2012.
Seorang penikmat tomat,
An.
ditulis oleh @andiana untuk @aanmansyur
No comments:
Post a Comment