18 January 2012

Surat Berkedok Puisi


“Kau tahu? Hari ini aku hampir mati.” ucapnya dengan wajah berseri.
Jangankan kamu, aku yang menatap wajahnya setiap pagi, tak kunjung mengerti. Mengapa “andai aku mati besok” menjadi topik pembicaraan favoritnya akhir-akhir ini.
Apakah ia telah lelah? Atau hanya sebuah trend yang sedang ‘happening’ dalam benaknya yang warna-warni.
Langit mengingatkanmu pada alam pikirannya yang selalu berubah, katamu. Lautan, katamu, adalah dadanya.
Bagiku ia lentera. Lentera yang bermimpi menjadi mercusuar.
Bagiku ia kaleidoskop. Kadang bikin pusing tapi seringnya menyenangkan. Padahal ia hanya serpih-serpih warna yang dipantulkan kaca. Sederhana.
Sesederhana caranya merebut sebongkah hati dengan memeluk seulas senyuman.
Bagiku ia pelukan juga telapak tangan sumber ribuan bahkan jutaan usapan untuk siapapun yang ia sayang. Salah satunya usapan di punggung pacarnya yang baru kena tilang.
“Kau tahu? Hari ini aku hampir mati.” Ucapnya sekali lagi, “Lucunya, saat elevator mendadak gelap dan gravitasi menyedotku beberapa tingkat, di dalam benak, justru bayangan Aan Mansyur yang berkelebat.”
Setelah mengucapkan kalimat itu ia diam, mimiknya berubah serius dan menatapku lekat-lekat. Aku hanya bisa balas menatapnya, pun dalam diam.
Tertanda,
Pantulannya
oleh   untuk @hurufkecil

No comments:

Post a Comment