18 January 2012

Ksatria Puisi, Hasan Aspahani



Pada mulannya adalah kaki :: Lalu perjalanan dari sepatu ke sepatu
Pada mulannya adalah hati :: Lalu perjalanan dari ragu ke ragu
@haspahani


Entah kenapa dua baris sajak itu paling lekat di kepala saya. Padahal kalau boleh dibilang saya membacanya juga sudah cukup lama, tetapi masih saja terngiang di kepala. Tidak tahu secara persis apa maksud yang ingin di sampaikan dalam dua baris sajak tersebut, tetapi selalu merasa ada makna sangat kuat terkandung di dalamnya. Paling-paling hanya sebatas mengira-ngira. Perasaan ini seperti bulu kuduk yang berdiri ketika sedang berada di tempat-tempat angker. Merasa ada sesuatu, tapi tidak tahu pasti apakah itu. Tapi sangat yakin ada sesuatu. Perasaan yang aneh, namun begitu mengasyikkan. Hingga akhirnya, yah,, dinikmati saja. Kondisinya memang mengasikkan ketika mengira-ngira suatu hal yang kita tak tahu persis apa yang dikirakan oleh penulis.
Saya kira (lagi-lagi saya kira) puisi memang mengajarkan demikian. Puisi tidak menulis titik, tetapi koma. Dia membiarkan para menikmat puisi mencari-cari makna yang bisa dia petik dari puisi itu dengan kebebasan penuh. Merdeka. Menyerahkan sepenuhnya maknanya kepada pembaca. Para pembaca tentunya akan dapat mengambil manfaat apapun dari kebebasannya menafsirkan isi puisi sesuai tingkat pemahamannya.
Mungkin seperti itu transfer imajinasi dari penulis ke pembaca. Berasal dari imajinasi penulis, ditransfer melalui puisi, mengalir menjadi imajinasi pembaca. Seperti itu terkadang cara saya membaca puisi. Atau lebih tepatnya menikmati puisi. Benar, sekedar penikmat puisi. Karena membaca puisi yang gagal saya nikmati akan saya tinggalkan. Sayangnya, sangat sedikit puisi dari bang HAH ini yang saya tinggalkan. Saya begitu menikmati.
Oiya, apa kabar bang Hasan Aspahani?
Maaf, tiba-tiba ngomong ngalor-ngidul seperti orang gak tau diri.
Ato memang saya tidak tahu diri ya?
Bahkan mengucap salam dan memperkenalkan diri saja belum.
Maafkan diri ini bang Hasan.
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Semoga keselamatan dan kesejahteraan senantiasa diberikan kepada bang Hasan dan keluarga dalam menjalani kehidupan puisi.
Nama saya Saiful bang, boleh dibilang saya ini termasuk pengagum bang Hasan. Saya pengunjung setia blog bang Hasan dan beberapa kitab puisi yang ditulis bang Hasan. Meskipun mungkin abang belum mengenal saya, maka anggap saja surat ini juga sebagai salam perkenalan sari saya.
Kita mungkin belum pernah kenal bang, apalagi bertemu di dunia nyata. Di dunia maya pun mungkin bang Hasan juga tidak mengenal saya. Tapi kita pernah bercakap kok, meskipun mungkin abang menanggapinya sepintas lalu. Pasti ngga akan terekam di kepala. Kita bercakap di twitter bang, akun saya @pung_kamaludin. Tapi ya gitu lah, obrolan kita tak lepas dari sekedar hubungan selebtwit dan para followernya. Manalah mungkin selebtwit memfollow semua followernya apalagi benar-benar mengenalnya kecuali hanya beberapa. Wajarlah itu. Tapi itu nggak memupuskan alasan untuk saya agar tidak menulis surat ini kan?
Saya masih ingat benar obrolan pertama kita di twitter. Waktu itu kalau tidak salah bang Hasan sedang memosting kultwit tentang perjalanan bang Hasan sebagai jurnalis. Saya menyimak, lalu nyletuk (dalam bahasa jawa berarti nimbrung). Waktu itu saya bilang meskipun secara formalnya tidak pernah menjadi jurnalis dalam artian yang sebenarnya, namun sempat merasa sebagai jurnalis dalam pengertian sempit versi saya. Saya menganalogikan jurnalis adalah seorang pencari informasi. Apapun itu. Termasuk segala sesuatu tentang seseorang yang waktu itu saya taksir. Haha…
Kutipan yang saya tuliskan:
Merindukan saat-saat jadi jurnalis… so long time ago. when the best news I have to lookin for is you. and always it be.
and now, I’m just the bad reader. too scare to know everything about you. and always it be.
Sok puitis memang, tapi mendapatkan reply dari bang Hasan. “Jadi penyair saja bro”.
Haha.. saya ketawa saja bang, saya tahu bag Hasan sekedar membesarkan hati saya. Tapi meski saya sadar itu “bombongan” tapi masih mampu membuat saya besar kepala. Haha..
Saya kan Cuma penikmat puisi saja bang.
Tapi dari sana timbul semacam titik balik dari diri saya bang.
Saya kembali menulis setelah sudah setahunan males nulis. Hingga kali ini pun saya ikut proyek menulis di 30harimenulissuratcinta.Agenda proyek ini adalah menulis surat cinta kepada siapa saja dengan aturan-aturan tertentu yang ditulis secara regular setiap hari selama 30 hari ke depan. Mungkin bang Hasan juga sudah tahu, proyek ini juga diikuti oleh bang Aan M Mansyur sahabat bang Hasan. Dia juga menjadi salah satu tukang posnya bang.
Ini hari ke-4 bang. Hari ini dijadwalkan menulis surat cinta untuk selebtwit. Maka muncullah nama bang Hasan Aspahani di benak saya. Lalu tergores pula lembaran surat ini untuk abang. Semoga bang Hasan tidak kaget dan keberatan.
Proyek ini saya jadikan wahana menulis kreatif, sarana belajar untuk menulis, learning by doing. Lumayanlah untuk meningkatkan keterampilan menulis dengan langsung mempraktikkannya. Saya juga sadar, kendala utama menulis itu ternyata adalah rasa malas untuk menulis. Yah, siapa tahu nantinya juga seperti bang Hasan yang keren ini dalam nulis puisi atau apa pun.
Oke deh segitu dulu bang. Tidak perlu banyak-banyak nulisnya. Mungkin besok bang Hasan dapet kejutan berupa surat-surat semacam ini dari para penggemar yang lain. Siap-siap saja ya.
Tetaplah menulis bang, sang ksatria puisi.
Saya dengar bang Hasan punya cita-cita mendapatkan nobel. Semoga suatu saat akan dapat mewujudkannya. Kami selalu mendukungmu bang.
Denpasar, 17 Januari 2012
Pengagummu,
@pung_kamaludin

oleh: @pung_kamaludin

No comments:

Post a Comment